(S3) 1. Prolog

112 13 7
                                    

Seorang lelaki berusia 26 tahun tengah berbaring meratapi nasibnya yang tak pernah berjalan baik. Hidupnya penuh dengan masalah yang terus bertubi-tubi dan tidak pernah bosan hinggap dalam perjalanan hidupnya. Hidup segan mati pun tak mau, itulah yang pemuda itu rasakan selama ini.

Hidup dari kecil tanpa seorang Ibu, ayah yang hanya menjadikannya sebagai pemuas nafsu, dia hanya bisa pasrah menerima keadaan, dia hanya anak lugu yang tidak mengerti akan berjalannya kehidupan. Mengikuti arus layaknya plastik kosong yang hanya mengikuti kemana angin akan membawanya.

Hanya tangisan yang bisa dia curahkan. Tidak ada tempat atau siapapun untuk bercerita tentang keluh kesah akan kehidupan.

Memegangi kedua pipinya, dia hanya bisa meringis merasakan sakitnya bekas pukulan membabi-buta dari seorang lelaki yang pacarnya dia perkosa.

Dia ingin meminta maaf pada kakaknya, tapi bukannya permintaan maaf yang diterima, dia hanya mendapatkan beberapa tinju yang memang sepantasnya dia terima.

"Gawin." Seorang ayah memanggil, membuat tubuhnya menggigil. Bukan karena dingin, tapi karena rasa takut yang hinggap kala sang ayah mengeluarkan setiap kata dari bibirnya. Tak menjawab, pemuda itu berusaha untuk memejamkan matanya.

"Gawin." Ucap ayahnya lagi berusaha untuk memanggil Gawin. Terasa dari belakang, tubuhnya tangan besar melingkar.

"A-apa ayah?" Tanya Gawin akhirnya, mencoba untuk berbicara.

"Tadi kamu siang habis darimana?" Tanya ayahnya tersebut, terdengar lembut, tapi membuat Gawin tak nyaman.

"Habis liat Bang Krist di rumah sakit." Jawab Gawin, dia tak juga mengalihkan wajahnya untuk menatap sang ayah.

"Kenapa kamu melakukan itu? Apa kasih sayang dari ayah enggak cukup buat kamu?"

"Udah ayah, Gawin udah capek." Jawab Gawin berusaha menyingkirkan tangan ayahnya yang melingkar di perut nya.

"Capek?" Tanya ayahnya lagi. Gawin hanya mengangguk, dia tak mungkin melawan ayahnya, karena bagaimana pun sikap ayahnya itu, tetap dia lah yang telah membesarkan Gawin seorang diri.

"Yaudah kalo capek, kamu diem aja ya." Pinta sang ayah, ingin melawan tak bisa, karena tahu akan posisinya. Gawin hanya menerima kala sang ayah dengan perlahan membuka celananya. Menggesekkan penisnya di sela-sela bongkahan pantat Gawin, ayahnya pun dengan perlahan memasukkannya dari belakang. Gawin hanya bisa meringis saja sembari menutup matanya.

Menerima perlakuan bejat sang ayah pada dirinya, dari dulu Gawin tak bisa melawan, karena ayahnya selalu berlindung dibalik kalimat; "Aku yang telah membesarkan mu seorang diri, aku ayahmu, jangan pernah sekalipun berani untuk melawan ayahmu ini," membuat Gawin hanya menerima saja semua perlakuan sang ayah.

Bukan bagian belakangnya saja yang sakit, hatinya pun sakit karena seorang ayah biasanya tidak akan pernah mungkin melakukan hal bejat seperti ini kepada anaknya.

Setelah puas dengan tubuh Gawin, Bunrod tertidur di samping Gawin, sedangkan Gawin hanya termenung masih tetap meratapi jalan hidupnya yang tidak pernah merasakan namanya kebahagiaan. Kebahagiaan memang dia dapat, tapi hanya waktu kecil saja.

Gawin berjalan keluar dari kost, menunduk, dia pun menatap kelamnya langit malam dengan bulan menggantung dan taburan bintang yang seakan menjadi hiasan. Gawin melangkahkan kakinya dengan helaan nafas berat dia lakukan berulang kali, menatap trotoar dengan jalanan yang tidak terlalu sepi, karena waktu sudah menunjukkan jika ini pukul setengah 3 dini hari. Entah kemana dia berjalan, kakinya hanya mengikuti kemana trotoar ini mengarah. Tetesan demi tetesan air mata akan kepedihan mengucur begitu deras.

Mengingat begitu lelahnya kehidupan yang seperti tidak akan pernah menemukan titik dimana dia bisa bahagia. Entah sudah berapa lama dia berjalan, hingga kakinya berhenti di sebuah jembatan tinggi, menatap air laut biru di bawah sana, yang memantulkan cahaya dari bulan, tangan Gawin menggenggam besi besar pembatas jembatan.

Jerk Roommate (S1-S3) [End]Where stories live. Discover now