52

477 48 1
                                    

"Dek, abang fikir kau tak akan menginjakkan kaki di rumah ini lagi" Alqan menantap Rani sendu.

"Memang seharusnya begitu, tapi Daryan memaksa ku" Padahal kenyataannya,
Daryan hanya bertanya dan Rani tanpa di paksa mengiyakan begitu saja.

Jangan di tanya mengapa bisa, ia sendiri pun bingung.

Alqan yang mendengar perkataan adiknya itu tentu saja menekan perasaan nya agar tak terlalu tersinggung.

"Kau tak ingin melihat ibu? " Tanya Alqan penuh harap.

"Tidak, di sini saja" Rani membuang muka. Tak ingin menatap wajah abang pertama nya itu.

Alqan menghela nafas pelan. Tak ingin memaksa Rani lebih jauh lagi. Sebab kedatangan adiknya itu saja sudah sangat ia syukuri sebenarnya.

"Daryan bilang kau hamil, abang senang mendengarnya" Rani berusaha untuk tidak menunjukan ekspresi kesalnya.

Lalu ia juga bingung harus merespon bagaimana, haruskah dia mengikuti skenario yang di buat Daryan atau tidak.

"Sudahlah, abang mandi dulu" Alqan berlalu begitu saja. Seolah sadar adiknya itu tak ingin berlama-lama dengannya.

Sedangkan Rani menghela nafas lega, ia menoleh ke samping. Mencebikkan bibir saat Daryan tak kunjung keluar dari balik pintu putih. Tempat di mana ada Elqan, Daryan dan ibunya berada.

Daryan tentu saja sudah mengajak Rani untuk ikut masuk ke kamar Utami. Tapi Rani jelas saja menolak, ia tidak siap.

Terlebih setelah pertengkaran mereka terakhir kali, juga mereka yang sebelum-sebelumnya juga bukan sebagai mana anak dan ibu yang akrab pada umumnya. Tentu saja membuat Rani bingung untuk mengatasi situasi yang pastinya akan canggung.

"Kau ingin pulang" Rani menoleh ke samping dan mendapati Daryan berjalan mendekatinya.

"Kau sudah selesai? " Rani justru balik bertanya.

Daryan mengangguk saja, menatap Rani yang buru-buru berdiri seolah ingin segera menghilangkan dari rumah orang tua nya sendiri.

"Ayo" Rani menarik lengan suaminya itu.

"Tidak pamit dulu"

"Tidak perlu, bang Alqan sedang mandi. Ayo" Ajak Rani kembali, kali ini setengah menarik lengan Daryan.

___

"Tadi ibu menanyai mu"

Pergerakan Rani yang ingin membuka pintu mobil terhenti seketika.

"Ibu bilang kenapa tidak ikut masuk ke kamar ibu bersama ku" Lanjut Daryan saat Rani belum juga bersuara.

"Kau bilang apa" Rani tak menatap Daryan.

Tapi helaan nafas Daryan yang terdengar berat membuat Rani akhirnya menoleh juga pada sang suami.

"Aku bilang kau sedang hamil dan sedikit tidak enak badan" Daryan meringis dengan perkataannya sendiri. "Maaf, aku tidak menemukan alasan yang lain lagi" Lanjutnya kemudian.

Kali ini Rani yang di buat menghela nafas.

"Kau sangat ingin melihat ku hamil ya? " Tanya Rani.

Daryan memilih mengangguk saja mendadak malu dengan keinginannya yang satu ini.

"Kenapa? " Tanya Rani. Ya kenapa? Rani pun jadi penasaran juga.

"Bisa kita naik dulu ke atas? " Daryan membuka pintu mobilnya segera, lalu di ikuti oleh Rani.

Di dalam lift yang perlahan berjalan, Rani menatap pantulan tubuh mereka pada pintu lift.

Di sana Daryan tampak sibuk memperhatikan tangan mereka yang saling bertaut.

"Ayo jelaskan " Tuntut Rani segera begitu pintu apartemen mereke tertutup.

Dadyan mendengus geli saat melihat tingkah Rani yang tak sabaran.

"Duduk dulu" Daryan segera duduk lalu menarik Rani pelan untuk segera mengikutinya duduk.

Namun saat Rani ingin duduk di sebelahnya Daryan segera saja menarik lengan Rani agar istrinya itu berakhir duduk di pangkuan nya.

Daryan tentu saja tersenyum puas lain dengan Rani yang tampak terkejut tapi tak ada niatan untuk protes. Rani justru memperbaiki posisinya dan segera mengalungkan tangannya pada leher Daryan.

"Jadi? " Tanya Rani lagi.

"Ini sebenarnya ide Chika, jangan potong dulu-" Seru Daryan saat Rani ingin mengamuk.

"Tapi setelah aku pikir-pikir lagi. Itu bukan ide yang buruk. Awalnya itu ku jadikan alasan untuk membuat mu tak bisa pergi dari ku, terdengar jahat memang. Tapi aku berharap kau mengerti mengapa aku begitu nekat menggunakan alasan ini. Aku sebegitu putus asa Shafa" Daryan menjeda sejenak. Menatap dalam pada dua manik mata Rani. Rani yang tadinya hendak mengamuk mendadak termangu.

"Mengapa kau tidak ingin aku pergi, terlebih kau ini gay" Daryan mendengus kesal mendengar kalimat terakhir Rani.

"Sudah tidak lagi. Kau tidak ingat kegiatan kita tadi malam, apa perlu ku ingatkan lagi" Ketus Daryan sedikit mengetatkan pelukan nya pada tuh Rani.

"Ish, kau ini" Dengus Rani malu, jemarinya beberapa kali mencubit lengan Daryan.

Yang di cubit terkekeh saja.

"Kau ingin mendengar yang lainnya lagi" Tanya Daryan lalu mengecup pipi Rani sekali.

"Katakan" Rani mencoba terlihat normal meski jantungnya sedang bekerja tak karuan.

" Yang tadi itu alasan yang pertama. Dan untuk alasan yang kedua itu karna aku ingin lebih mengikat mu, katakanlah aku egois Shafa, tapi sungguh aku hanya ingin menghabiskan hidup dengan mu, satu-satu nya alasan ku berani untuk menata masa depan karena ada kau  di dalamnya, aku berani memikirkan keinginan memiliki anak karna kau yang jadi ibunya" Daryan mengakhiri kalimatnya dengan kecupan bertubi-tubi pada seluruh wajah Rani.

Rani tak memprotes, sebeb ia sendiri kehilangan kata-katanya, Rani sungguh tak menduga Daryan akan mengatakan kalimat yang menurut Rani manis.

Sejak kapan suaminya ini jadi pandai merangkai kata begini.

"Sekarang kau terlihat seperti sedang membual" Rani sengaja mendengus kuat.

Daryan yang tadinya asik menyandarkan  kepalanya pada leher Rani seketika mendongak.

"Aku sangat serius dengan perkataan ku" Sungut Daryan tak terima.

Rani terkekeh saja, mengelus rambut Daryan yang sedikit memanjang.

"Aku tidak menyangka kita sampai di tahap ini" Rani berujar pelan, tangannya yang tadi sibuk mengelus rambut Daryan beralih ada pipi suaminya itu dan menepuk-nepuk pelan.

"Sama, aku juga tak menyangka. Tapi aku sangan senang" Balas Daryan di iringi senyum yang kian lebar.

"Lalu bagaimana dengan mantan pria mu itu" Tanya Rani mendadak teringan dengan pria menyebalkan itu.

"Ish, menyebalkan"lanjutnya kesal sendiri. Rani mendorong tubuh Daryan dan berniat turun dari pangkuan Daryan.

Tentu saja Daryan menahan tubuh Rani, mengapa Rani harus membahas itu di saat ia masih ingin berlama-lama bermesraan dengan istri kesayangan ini.

Daryan memang tidak keberatan untuk meluruskan segalanya, tapi mengapa harus di situasi sekarang ini. Rani yang emosian pasti akan membuat meraka tidak saling memeluk lagi.

"Kau tau di saat-saat tertentu aku ingin mencakar wajahnya" Daryan meringis mendengar perkataan Rani yang di sampaikan dengan sangat menggebu-gebu.

"Apa! Kau ingin membela nya? " Sungut Rani saat Daryan tak kunjung bersuara.

"Tentu saja tidak"

"Ah.. Sudahlah, aku ingin ke kamar" Rani melepaskan diri dari kukungan Daryan.

Dan segera meninggalkan Daryan yang semakin meringis saja.

_____




You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 23 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Bersuami GayWhere stories live. Discover now