47

877 53 6
                                    

Rani memandang gusar pada pintu Apartemen, mengutuki pemikiran dangkal nya.

Kepala Rani tertunduk menatap jemari kakinya, mengigit bibir dengan gusar guna menghilangkan keraguan yang menyelimuti hatinya.

"Shafa.."Daryan kehilangan suaranya, terlalu terkejut dengan keberadaan Rani di depan pintu apartemen nya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Daryan kemudian.

"Ti..tidak ada, aku hanya sekedar lewat" sial.. maki Rani dalam hati. Kenapa harus kalimat itu yang keluar dari mulut sialan ini.

Rani merasa harus segera berlalu dari sini, terlalu malu juga menyesakkan untuk menatap wajah Daryan lebih lama lagi.

"Shafa! Tunggu.." Daryan mempercepat langkah mengejar Rani.

"Shafa, maaf..tunggu sebentar saja" Daryan menahan tangan Rani, memaksa wanita yang masih menjadi istrinya itu menatapnya.

"Aku yakin, pasti ada hal yang ingin kau sampaikan pada ku. Tidak ada alasan lain untuk mu berada di sini, tidak ada orang lain yang kau kenal selain aku disini" Daryan berujar sedikit kesal. Merasa jengkel pada Rani yang tampak mengulur waktu.

"Berhenti sok tau, memangnya apa yang kau ketahui tentang ku. Lepaskan tangan mu dari bahu ku" harusnya aku tidak mengatakan ini, bukan..bukan begini seharusnya.

Rani mengutuki diri, ia ingin menangis rasanya.

Gengsi sialan..!! Makinya kemudian..

Daryan yang mendengar perkataan Rani sedikit tersulut emosi, bukan nya mendengarkan perkataan Rani. Ia justru menarik tubuh sang istri agar dapat ia peluk.

Rani mematung, tapi tak ada niat memisahkan diri.

Ternyata benar, ini yang Rani cari selama ini. Pelukkan ini terasa nyaman dan benar.

"Shafa.." panggil Daryan lembut. Ia masih memeluk Rani erat.

"Apa kau tidak lelah, berhenti menghindari ku. Ada banyak hal yang ingin ku katakan" Daryan berbisik pada ceruk leher Rani, membenamkan wajahnya mencari kenyamanan.

Rani tidak mengatakan apa pun, ia takut hanya kalimat bodoh yang akan ia katakan jika membuka mulut.

"Ayo.. masuk ke apartemen kita... Beberapa orang sudah mencuri pandang pada kita" Daryan mengendong Rani. Mengabaikan pekikan Rani yang tampak terkejut.

***

"Jadi? Tidak ada hal lain yang terjadi? Yang benar saja Rani!" Zeea mendengus jengkel.

"Memangnya kau mengharapkan apa?" Balas Rani tak kalah jengkel. Sesungguhnya ia lebih jengkel pada dirinya sendiri.

"Harusnya itu menjadi kesempatan yang baik untuk kalian saling berbicara.. "

"Aku takut Zee, aku takut mengatakan hal-hal yang justru memperumit keadaan. Jadi aku lebih memilih kabur" Ucapnya yang tentunya ia sesali.

"Wah..! Kau benar-benar luar biasa bodoh" Balas Zeea tak habis fikir. Sebenarnya rasa ingin membenturkan kepala sahabatnya itu sangat menggiurkan untuk dilakukan saat ini juga.

Lalu terjadi keheningan untuk sesaat.

"Sebenarnya kau ingin bagaimana? Kau terlalu berlarut-larut, aku saja sudah cukup muak. Terlebih lagi Daryan, jangan sampai suami mu itu juga muak. Jadi tolong tekan sedikit gengsi mu.. Ego mu atau apalah itu. Dan jika di pikirkan lagi ini tidak sepenuhnya salah Daryan. Kalian melakukan pernikahan kontrak. Ini bukan sesuatu seperti kalian saling mencintai lalu menikah dan kau mendapati suami mu berselingkuh dengan pria lain" Zeea menarik nafas, menjeda perkataannya. Memandangi Rani yang tampak merenungi perkataannya.

"Hal yang harus kau ingat lagi, mereka menjadi sepasang kekasih jauh sebelum kau menikah dengan Daryan, jadi siapa yang seharusnya merasa tersakiti.? Hm! Itu hanya masa lalunya Daryan. Dia menolak bercerai dengan mu, itu artinya dia ingin memperbaiki diri juga pernikahan kalian. Atau dia mencintaimu? Siapa yang tahu! Jadi yang harus kau lakukan ran.. Kau harus berusaha juga, jangan membuat Daryan memikirkan semuanya sendiri"bahkan setelah kalimat panjang yang diucapkan Zeea. Rani masih juga membuka mulut. Membuat Zeea menghela nafas panjang.

"Pikirkanlah lagi, aku tidur dulu" Selepas perginya Zeea. Rani menghela nafas panjang. Lalu kepalanya berputar kearah tangga di sana ada Chika yang baru saja datang.

"Kau belum tidur?" Tanya Chika.

Rani mengkerutkan kening. "Kau dari mana?" Tanya Rani mengabaikan pertanyaan Chika.

"Adalah.!" Balas Chika sok misterius. Lengkap dengan senyum pongahnya.

"Tadi siang.. Aku bertemu Daryan" Entah mengapa Rani membicarakan ini. Ia hanya merasa perlu mendengar pendapat sahabatnya yang satu ini.

"Oh.. Ya.!? " Tanya Chika tidak benar-benar terkejut di mata Rani.

"Mengapa aku merasa kau terlihat menjengkelkan ya chik.. "

"Benarkah.? Padahal aku tidak melakukan apa pun, memang kau saja yang tak pernah berprasangka baik pada ku"wajah tengil Chika makin kentara.

" Ok.! Kali ini aku serius. Jadi kau bertemu Daryan, lalu kalian membahas apa saja?"

"Nah.. Itu dia! Kami tidak sempat membahas apa pun, aku lebih dulu kabur"

"Nah.. Ini dia.! Ini dia yang membuat ku malas mendengar cerita mu. Hanya menyulut emosi ku" Ucap Chika lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa.

"Aku bingung Chika?"

"Kau memang selalu bingung, aku tidak heran lagi" Chika menatap langit-langit ruang tamu.

"Tetaplah bingung hingga seseorang memilih mundur" Lanjutnya kemudian.

"Apa maksudmu?" Tanya Rani sedikit terkejut. Menatap Chika yang masih memandangi langit-langit ruang tamu.

"Kau jelas tahu maksudku, baiklah mari akhiri pembicaraan ini. Malam sudah sangat larut" Chika beranjak dari posisinya.

"Hei.. Kau mau kemana? Mulut mu itu! Selalu memancing emosi setiap kali kau membukanya. YA.. KAU.!! AKU BELUM SELESAI BICARA SIALAN"Rani menghempas kan tubuhnya pada sandaran sofa. Setelah Chika menghilang di balik pintu kamar.

" Chika sialan" Bisiknya pelan tapi penuh penekanan.

"Harusnya aku tidak mengatakan apapun pada Chika, tidak pernah ada hal baik yang keluar setiap kali dia membuka mulut" Dengus Rani lalu memejamkan mata. Terlalu malas untuknya pindah ke kamar.

****

Segini dulu ya...













Bersuami GayWhere stories live. Discover now