25. Kenyataan

10 1 0
                                    

Agnes membawa Annabeth ke sebuah ruangan luas seperti aula pesta. Di dalam sana terdapat beberapa patung yang berdiri tersusun rapi di setiap sudut ruangan, namun ditutupi dengan kain putih. Annabeth takjub melihat segalanya, karena tak hanya patung, tapi berbagai macam lukisan yang terpajang di dinding seperti karya seorang seniman hebat. Annabeth berhenti melangkah di tengah ruangan, karena menikmati sekelilingnya yang terlihat begitu luar biasa.

Agnes terus melangkah ke arah meja yang terdapat di dalam ruangan tersebut dan mengeluarkan beberapa buku tebal ke atas meja. Dia menatap Annabeth yang tak henti-hentinya merasa takjub.

Agnes tersenyum tipis. "Suka dengan lukisannya?" Tanya nya, suaranya pun menggema ke penjuru ruangan.

"Sangat suka. Siapa yang membuat lukisan ini?"

Agnes menghela napas panjang. Dia ingin sekali menjawab jujur, namun dia merasa ini bukanlah waktu yang tepat.

"Seorang teman lama."

Annabeth menatap Agnes, melangkah ke arahnya dan duduk bersampingan dengannya. Sementara Agnes membuka terlebih dahulu satu buku dengan sampul tebal terbuat dari kulit yang dipoles rapi menjadi mengkilap. Meski sedikit berdebu, Agnes membukanya perlahan, karena terlihat begitu usang dengan kertas di dalamnya yang nampak rapuh berwarna kekuningan.

"Aku ingin memperlihatkan sebuah sejarah kepadamu." Agnes menatap Annabeth lekat-lekat. "Apakah kau tahu siapa ibumu?"

Raut wajah Annabeth berubah menjadi muram dan sedih. Dia menggelengkan kepalanya perlahan. "Ibuku meninggal setelah melahirkanku, itu yang dikatakan oleh kakakku Leo."

Agnes menelan saliva nya dengan susah payah.

"Kalau begitu, kau harus melihat ke dalam buku ini." Agnes meraih tangan kanan Annabeth dan membuat gadis itu menempelkan telapak tangan kanannya ke lembar pertama buku tersebut sementara itu tangan Agnes menekan punggung tangan Annabeth.

"Pejamkan kedua matamu dan ikuti ke mana buku ini akan membawamu."

Bisikan Agnes membuat tubuh Annabeth terasa mendadak seperti melayang di udara. Namun, anehnya Annabeth masih dapat merasakan sentuhan tangan Agnes di punggung tangan kanannya. Sesekali Annabeth mengernyit, karena merasa perutnya seperti terombang-ambing di udara sebelum akhirnya dia merasa sekelilingnya gelap gulita.

"Buka matamu, Annabeth."

Suara Agnes menggema di dalam kepalanya--membuat Annabeth membuka kedua matanya perlahan dan seiring terbukanya kedua mata indah itu, suasana yang gelap tergantikan oleh suasana sebuah ruangan dengan jendela kaca tinggi dan besar yang membuat cahaya jingga matahari menembusnya dengan kehangatan. Annabeth berada di aula yang sama seperti sebelumnya dirinya bersama Agnes, namun kali ini ada yang berbeda.

Annabeth berdiri sendirian di pinggir aula tersebut dan pandangannya terpaku pada dua orang gadis muda yang terlihat cantik bagaikan bidadari. Salah satunya berambut cokelat tua dan tampak wajah nya sangat jelas di mata Annabeth, iris matanya berwarna cokelat tua senada dengan warna rambutnya. Dia tertawa dan tersenyum bahagia sembari merangkul gadis yang satunya, yang sedang duduk di hadapan sebuah karya patung yang masih separuh jadi. Annabeth mengernyit, wajah gadis yang sedang membuat patung itu membuat dirinya sangat penasaran tak kala memiliki warna rambut yang sama persis dengan dirinya.

Annabeth pun memutuskan untuk melangkah mendekati gadis berambut ginger itu. Rambunya yang digulung rapi dengan anak rambut bergelombang yang tak terikat itu terlihat sangat bersinar di bawah terpaan sinar jingga matahari petang.

"Siapa ini?" Tanya gadis bersmbut cokelat tua.

"Entahlah, aku melihatnya di dalam mimpiku." Kata gadis pembuat patung yang berusaha didekati oleh Annabeth.

Blood Line DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang