3. Aroma

27 5 3
                                    

Arthur's POV.

"Apakah harus pergi belajar lagi? Lagipula aku sudah mengikuti pelajaran sejak usia lima tahun di kastil. Secara privat tentunya."

Aku bertopang dagu dengan kedua paha yang saling bertumpuk, sorot mataku menatap ke luar jendela menikmati embun pagi yang selalu menjadi sarapanku setiap harinya. Padahal kakakku, Aland, dia sudah memintaku untuk menghadap dirinya dan sarapan bersamanya di meja makan.

Sarapan darah? Darah manusia?

Entah mengapa darah manusia tidak pernah menjadi suatu hal yang membuatku tertarik dan tergila-gila.

"Harus. Memangnya kau merasa dirimu sudah sangat pintar? Kau bahkan tidak pernah keluar dari kastil ini." Ucap Chase.

Chase adalah sahabatku sejak kecil. Dia tinggal di sebuah mansion yang terletak di pertengahan daerah. Dia adalah satu-satunya orang yang berbicara denganku dengan sangat akrab meski dia tahu bahwa aku merupakan seorang pangeran, dan hanya dia yang mengetahui dengan jelas kepribadianku serta apa yang kuinginkan.

"Siapa yang bilang aku tidak pernah keluar kastil? Aku olahraga dan berlatih pedang juga berkuda di halaman belakang." Ucapku santai seperti vampir tak berdosa tanpa memalingkan wajah sedikitpun untuk menatap Chase yang aku yakin saat ini sangat kesal dengan jawabanku. Tetapi, memang seperti itu kenyataannya.

Aku mendengar Chase mencebikan bibirnya.

"Ayolah, Arthur. Lagipula kau tahu kan alasan kakakmu memintamu untuk kembali ke akademi."

"Ya, aku tahu."

"Tidak hanya untuk belajar, bukan?"

Aku akhirnya menyerah dengan perbincangan berat pagi hari ini. Chase adalah seseorang yang paling bersemangat di sini untuk memasuki akademi padahal nyatanya dia jauh lebih pandari dariku dan sudah pasti mendapatkan pendidikan seorang bangsawan yang lebih dari cukup. Bahkan dia sudah tiba di kamarku saat aku masih berada di dalam balutan selimut paling hangat dan masih menjelajah dalam mimpi, tetapi dia dengan tidak segannya menyeretku untuk bersiap.

"Ya, aku paham itu, Chase. Tetapi, seharusnya aku tidak perlu ikut menjadi siswa juga." Ucapku yang mungkin sudah seperti rengekan di telinga Chase.

Chase menepuk pundakku, "kakakmu membuatmu menjadi siswa juga itu agar kau dapat mendalami peranmu sebagai wakil direktur di akademi." Jawabnya dengan sabar.

Aku berdiri, melangkah ke arah nakas untuk meraih kalung berliontin pentagon di atas nya dan mengenakannya seperti biasa sembari di dalam hati berjanji untuk tidak melepaskannya lagi, aku berkata, "penyamaran yang mengerikan. Terlalu berat dan terlalu merepotkan untuk dijalani, tapi, ah... mau bagaimana lagi? Sulit melawan keinginan Aland. Aku perlu berkelahi dengannya dulu agar dapat memenangkan keinginanku, kau tahu itu?"

Chase tergelak pelan, "tentu saja aku tahu. Maka dari itu, jangan terlalu banyak berkelahi dengan kakakmu sendiri, Arthur. Ingat, ayahmu tidak menyukai itu."

Aku menolehkan kepala ke arahnya sekilas. "Aku tidak memedulikan ayahku yang marah atau tidak, karena Aland seringkali membuatku muak."

Tok, tok, tok.

Di saat aku sedang asik berbincang dengan Chase, seseorang mengetuk pintu kamar tidurku.

"Ya, ada apa?" Seru ku dari dalam.

"Tuan Muda, Yang Mulia Pangeran Aland bertanya kepada anda apakah anda sudah siap untuk pergi?"

Ah, itu suara asisten pribadiku, Bernard.

"Sedikit lagi, tunggu aku di mobil, Bernard. Aku akan segera turun." Jawabku.

"Baiklah, Tuan Muda."

***<>***

Blood Line DarknessWhere stories live. Discover now