5. Tetesan Darah

26 5 2
                                    

Annabeth's Pov.

Hari pertama benar-benar melelahkan, aku menghabiskan waktu ku di dalam perpustakaan usai dua mata pelajaran selesai. Menunggu mata pelajaran selanjutnya di sore hari tadi, aku memilih untuk menetap di perpustakaan daripada harus kembali ke asrama. Karena, menurutku jalan menuju asrama cukup jauh meskipun hanya terdapat satu jalan setapak lurus yang menjurus kepada gedung asrama.

Sampai aku pun tidak sadar kalau sore hari telah berlalu dan kini waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Di sini jam malam diberlakukan pukul sepuluh malam dan aku baru saja melewatkan jatah makan malamku, karena aku terlalu lelah untuk memikirkan makanan.

Aku hanya ingin beristirahat.

Aku pun segera bergegas membereskan buku-buku milikku, kemudian meraupnya ke dalam dekapanku. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dan ternyata di luar sudah sangat sepi. Tidak ada vampir ataupun manusia yang berjalan berkeliling di koridor-koridor.

Aku mulai sedikit menyesal, karena menolak ajakan Alice untuk kembali ke kamar asrama kami bersama tadi.

Udara dingin benar-benar terasa dan atmosfernya sangat berbeda di tempat ini. Apakah ini pengaruh, karena kami para manusia tidak terbiasa dengan suasana lingkungan yang menyatu sedekat ini dengan vampir. Udara dingin ini seperti menggigit permukaan kulitku sampai aku refleks memeluk diriku sendiri dan semakin mendekapkan buku-buku milikku ke dalam dekapanku.

Dan tibalah aku di gerbang perbatasan yang mengharuskanku untuk berjalan melewatinya sebagai jalan pintas untuk segera tiba di asrama. Namun, pencahayaan di sepanjang jalan setapak ini sangatlah minim. Hanya ada lampu-lampu taman yang bercahaya jingga remang sementara di sisi kanan dan kirinya adalah hutan belantara.

Aku dapat melihat dengan jelas di ujung jalan setapak sana, dengan jarak yang lumayan jauh, namun hanya lurus--sebuah gerbang menantiku. Gerbang yang memperlihatkan area asrama yang masih terang benderang. Hal itu membuatku semakin yakin dan berbuat nekat untuk melintas jalanan tersebut daripada harus memutar lebih jauh lagi, karena di luar sini sudah terlalu dingin sementara diriku hanya memakai seragam.

Seragam kemeja akademi berwarna putih yang dibalut jas kulit separuh beludru berwarna hitam dan rok mini khas siswi akademi yang panjangnya di atas lutut benar-benar tidak mampu membantu diriku mengatasi kedinginan ini.

Aku pun mencebikan bibir dan terpejam erat sesaat sebelum akhirnya mengambil keputusan yang kurasa sudah sangat tepat untuk mengambil langkah di jalan setapak itu. Alhasil, aku pun berjalan melewati jalan pintas itu.

Akan tetapi, setelah berjalan dengan tenang di pertengahan, aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku dari arah semak hutan. Aku berhenti sejenak di bawah cahaya remang lampu, kemudian memberanikan diri menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri.

Hening. Gelap gulita.

Tidak ada siapa-siapa di sana.

Aku pun kembali melanjutkan langkah dengan berusaha menjaga perasaan untuk tetap tenang, namun suara gemerisik hebat di antara semak hutan itu mendadak memecah keheningan di sekitarku.

Aku mematung di tempat, berdiri dengan kaku dan mulai dihinggapi rasa takut. Aku menolehkan kepala ke asal suara dan tiba-tiba seseorang dari arah belakangku membungkam bibirku dengan telapak tangannya.

Sementara dari arah semak yang berbunyi tadi, seseorang menyergap tubuhku dan dengan gesit mengangkat bagian kedua tungkaiku. Mereka membawaku keluar jalur sampai buku-buku milikku terlepas dari dekapanku dan entah tercecer dimana.

Aku meronta, ingin berteriak, tetapi tidak bisa, karena tangan itu semakin erat membungkam bibirku. Dan cengkeraman itu begitu terasa memeluk erat kedua tungkaiku hingga merapat.

Saat itu yang kulihat hanya langit malam yang bertaburan bintang dan juga suara gemerisik dedaunan yang saling bertabrakan.

Mereka membawaku ke dalam hutan.

Aku ingin menangis, di dalam hati senantiasa menjerit dan memanggil nama Leo, namun aku yakin tidak akan ada yang dapat membantu dan mendengarku saat ini juga.

Mereka melempar tubuhku di antara semak dan bebatuan layaknya sebuah barang. Aku dapat merasakan keningku terbentur salah satu batu besar yang ada di sana dan itu sangat menyakitkan sampai pandanganku mendadak terlihat buram serta samar.

Tidak. Aku tidak boleh pingsan di tempat ini. Aku tidak boleh kehilangan kesadaran diriku di saat orang-orang ini ingin melakukan hal buruk padaku.

Aku berusaha bangkit, namun sebuah tangan mencengkeram lengan dan pergelangan tanganku dengan sangat erat.

"Kau mau ke mana, gadis cantik, huh?" Bisiknya dengan sensual dan jahat.

Aku ingin menangis, meronta kembali berusaha mendorong tubuh orang tersebut, namun mereka berdua sangat kuat menahan tubuhku yang masih separuh berdiri dengan pandangan yang kembali mengabur.

"TOLONG! TOLONG AKU!" Aku mulai terisak dan menjerit meminta tolong di saat memiliki kesempatan.

Namun, sesuatu yang panas mendarat di pipiku.

Salah satu dari mereka menamparku dengan sangat keras dan lagi, membuat tubuhku ambruk ke tanah.

"Diam, sialan! Kau merusak kesenangan kami." Desisnya.

Aku merasa sesuatu yang hangat mengalir dari keningku. Kepalaku terasa berkunang-kunang dan pipiku mendadak kebas setelah tamparan itu mendarat.

Kemudian, siksaan itu tidak berhenti di sana. Salah satu dari mereka lagi menarik rambutku hingga wajahku menengadah ke atas. Aku tak sanggup menahan air mataku.

"Jangan, kumohon.." aku terisak, memohon, karena sepertinya yang saat ini menyiksaku adalah para vampir.

"Lihat, dia menangis."

Mereka tertawa cekikikan, namun berusaha menahan dan terdengar mengejek.

"Dengar, gadis cantik. Kami sudah lama tidak bermain dengan gadis manusia dan tentunya kami butuh darah manusia!" Ucapnya dengan penuh penekanan tepat di telingaku tanpa melepas tarikan tangannya pada rambutku.

Aku berusaha menggelengkan kepala ketika dia yang sedang menarik rambutku mulai merobek dua kancing teratas kemeja sekolahku dan menyibak rambutku yang ia tarik itu ke belakang sehingga memperlihatkan leherku yang terbuka bebas.

"Ayo, cepat! Segera lakukan sebelum--"

Pandanganku semakin berkunang dan tak dapat melihat dengan jelas, karena bercampur air mata serta rasa sakit dari kepalaku.

Yang jelas saat itu, vampir yang satunya mendadak berhenti berbicara dan wujudnya menghilang begitu saja sementara vampir yang hendak menyantap darahku mendadak terdiam, karena dia melihat ke belakang.

Entah apa yang saat itu dia lihat, karena dia secara tiba-tiba melepaskan diriku--membuatku terbaring lemah di tanah dan tak berdaya.

Samar-samar aku mendengar suaranya memohon ampun dan setelah itu terdengar suara pukulan yang amat-sangat keras.

Aku bersusah payah ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi, namun ketika aku menggerakan sedikit kepalaku, seseorang yang saat ini terlihat begitu buram di pandanganku, ia bersimpuh di sampingku dan dapat kurasakan tangannya yang sangat dingin menyentuh pipiku yang terasa sakit akibat tamparan keras itu.

Aku refleks meringis dan tak berhenti terisak menangis, "to--tolong.. jangan sakiti aku." Aku memohon lagi dan lagi, karena aku takut kalau ternyata sosok ini adalah seseorang yang lebih jahat dan ingin menghabisiku saat itu juga.

"Sstt... tidak akan ada yang menyakitimu. Aku di sini, kau akan baik-baik saja."

Dia mengusap pipiku yang terasa sakit itu dengan penuh kelembutan. Dan setelahnya aku dapat merasakan dekapan hangat dan aroma campuran kayu manis dengan bunga mawar yang sangat menenangkan.

Kemudian, aku tidak mengingat apa-apa lagi.

***<>***

Untuk part ini segini dulu ya guys! Enjoy!

Jangan lupa vote dan komentarnya ya!

With Love,

Mrs. Black

Blood Line DarknessWhere stories live. Discover now