28. Rencana Nick

129 22 0
                                    

Mari kembali ke beberapa waktu lalu.

Anna menekan bel apartemennya beberapa kali sebelum pintu itu dibukakan oleh Joan. Ia sedikit merasa bersalah ketika mendapati raut cemas wanita itu menyambut kedatangannya.

“Maaf, Bu.” Hanya itu yang mampu ia ucapkan. Energi dan pikirannya sudah terkuras habis setelah bertengkar dengan Dylan sore tadi. Ia juga tidak memedulikan penampilan wajahnya yang pasti sudah kacau akibat bersimbah air mata.

“Masuklah. Nick masih menunggumu di dalam.” Joan berkata dengan lembut seolah putrinya akan langsung rapuh kalau ia menggunakan nada tinggi barang sedikit saja.

Anna tertegun ketika melangkah masuk, dan tatapannya bertemu dengan Nick. Di sebelah laki-laki itu, ada ayahnya yang berwajah lelah. Gadis itu membuang tatapan ke bawah ketika Philip menatapnya balik. Ia merasa bersalah dan tidak berani melihat sang ayah.

Ragu-ragu, Anna menghampiri dua laki-laki itu. Philip langsung bangkit berdiri, melewati gadis itu tanpa berkata apa-apa. Joan mengikuti Philip masuk ke kamar, memberi privasi agar Nick dan putrinya bisa berbicara dengan leluasa.

“Sebenarnya, apa yang sedang kau rencanakan?” tanya Anna pelan begitu ia duduk di sebelah Nick.

“Tidak ada.”

Jawaban singkat Nick, membuat kepala Anna berputar cepat menghadapnya. Gadis itu menunggu penjelasan lanjutan.

“Awalnya, aku memang dipaksa ayahku untuk berkenalan dengan putri dari sahabatnya yang tinggal di Interlaken. Siapa sangka, sebelum hari itu tiba, kita sudah bertemu lebih dulu, saat kau dan Dylan datang ke Zurich. Aku langsung mengenalimu saat itu. Kau adalah putri Paman Philip yang sering disebut-sebut ayahku.”

Jadi, sejak pertemuan pertama mereka, Nick sudah tahu. “Kenapa tidak bilang sejak awal?”

“Kalau aku mengenalkan diri sebagai putra Robert, apa kau akan tetap bersikap baik padaku?” Nick lalu tersenyum, “Aku dengar, Paman Philip cukup kesulitan membujukmu.”

Ada benarnya, kalau tahu, ia pasti akan langsung membangun tembok tak kasat mata di tengah-tengah mereka. Ia tidak akan berusaha untuk mengenal Nick lebih jauh. Masa bodoh laki-laki itu adalah idolanya atau bukan, perjodohan ini sudah menyulitkan Anna sejak awal.

Nick menghela napas panjang. Ia akan langsung ke inti pembicaraan. “Kalau boleh jujur, aku sama sekali tidak keberatan dijodohkan denganmu. Itu sebabnya aku datang ke sini.” Laki-laki itu menatap Anna lurus, “Bagaimana denganmu?”

Gadis itu langsung menjawab, “Aku tidak bisa, Nick. Maafkan aku.”

Nick tidak mengira akan langsung ditolak di pertanyaan pertama. Padahal, ia berharap gadis itu setidaknya mau memberikan kesempatan. “Kau tidak mau mempertimbangkannya dulu?”

Anna menggeleng pelan.

Ah, tentu saja. Harusnya Nick tahu. “Apa karena ada orang lain?”

Mata Anna terpaku pada laki-laki itu untuk beberapa saat. “Tidak penting ada orang lain atau tidak, karena aku memang tidak memiliki perasaan seperti itu padamu. Ya, aku mengagumimu. Ya, aku menyukaimu. Namun, tidak lebih dari itu.”

“Kau tidak mau mencobanya? Siapa tahu, perasaan itu bisa berkembang menjadi yang lebih dalam, seperti cinta?” Nick masih mencoba bernegosiasi, tanpa nada yang menuntut.

Senyum tipis tersungging di bibir Anna. “Kita tidak bisa mengembangkan rasa cinta, jika sejak awal dia tidak ada di sana.”

Nick terdiam. Ia jadi bertanya pada dirinya sendiri, apakah ada benih cinta di setiap tatapan dan perhatian yang ia berikan kepada Anna?

“Lagipula, tidak ada orang yang mau hidup dengan pasangan yang tidak mencintainya, bukan?” lanjut gadis itu lagi.

Jawabannya, ada. Benih itu ada. Kalau tidak, ia tidak akan mengajak Anna ke belakang Bundeshaus, tempat favoritnya. Ia juga tidak akan sembarang memberi bunga pada orang yang tidak meninggalkan kesan dalam hatinya. “Kau tidak perlu cemas. Aku rasa, aku bisa belajar mencintaimu.”

“Kata-kataku barusan, bukan tentangku. Itu untukmu, Nick. Apa kau mau hidup dengan pasangan yang tidak mencintaimu?”

Diam kembali menjadi tindakan yang diambil Nick saat ini. Sepertinya, gadis itu yakin bahwa sampai kapan pun, Nick tidak akan pernah menjadi orang yang dicintainya.

Meski menerima kenyataan yang cukup pahit, senyum tulusnya tetap hadir. “Kita tidak bisa mengembangkan rasa cinta, jika sejak awal dia tidak ada di sana.” Nick mengulangi kalimat Anna. “Kalau begitu, bolehkah aku membantu mengembangkan cinta yang sudah ada?”

Kening gadis itu berkerut. “Maksudmu?”

Nick mengumpulkan potongan memori di dalam kepalanya, tentang sahabatnya, Dylan, dengan gadis itu. Dylan sempat menghindar saat Nick bertanya-tanya tentang hubungannya dengan Anna, di dalam kereta menuju Bern. Mereka yang berkejaran di dekat Zytglogge, seperti punya dunia sendiri tanpa peduli sekitar. Tatapan sedih Anna ketika melihat Dylan sedang serius membidik Alexa dengan kamera.

Sebenarnya, Dylan juga tidak mengizinkan gadis itu pergi bersamanya ke Bundeshaus, tetapi ia tidak punya alasan untuk melarang, dan berakhir mendiamkan Anna. Wajah gadis itu pun berubah murung ketika Dylan mengacuhkannya dan lebih memilih untuk mengobrol dengan Alexa.

Laki-laki itu tidur nyaman dengan bersandar pada pundak Anna. Mereka yang menyembunyikan genggaman tangan dalam saku jaket Dylan saat di Kapellbrücke.

Terakhir, yang baru saja terjadi. Dylan yang mengejar Anna. Kemudian, gadis itu kembali ke apartemen membawa aura redup, seolah tidak ada sisa kesenangan lagi dalam dirinya.

Tadinya, ia hanya ingin memperhatikan hal-hal kecil tentang Anna. Namun, yang ia dapatkan justru melebihi ekspektasinya. Nick jadi tahu hal-hal sederhana, tetapi bermakna dalam, yang terjadi di antara dua orang itu.

“Aku selalu merasa ada yang berbeda di antara kau dan Dylan. Entah bagaimana, saat ini aku semakin yakin bahwa firasatku benar.”

Anna mulai merasa panik karena rahasia yang selama ini ia tutup rapat-rapat, seolah mulai mengintip ke permukaan. “Aku tidak mengerti yang kau bicarakan.”

Mata Nick menyusuri setiap sudut wajah gadis itu, tidak menanggapi kalimat Anna barusan. “Kau habis menangis?”

Gadis itu membuang muka.

“Karena aku?”

Ia masih tidak menjawab.

“Atau karena Dylan?”

Sekarang kepala Anna terangkat, kembali melihat Nick yang tersenyum lebar seolah gestur gadis itu sudah cukup menjawab pertanyaan tadi. Tindakan itu sangat menyudutkan Anna.

Bahkan, gadis itu tetap tidak bisa berkutik ketika Nick bertanya lagi, “Dylan tahu tentang perasaanmu?”

Namun, laki-laki itu juga tidak menyerah. Ia bangkit berdiri dan mulai mondar-mandir di ruang tamu. Wajahnya serius memikirkan sesuatu. Sementara Anna hanya bisa melihat dan bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang Nick lakukan.

Beberapa menit kemudian, laki-laki itu duduk kembali. Jari jemarinya bertaut, matanya menatap Anna lurus. “Kau tenang saja, aku akan mencari cara.”

“Mencari cara untuk apa?” tanya gadis itu tidak paham.

“Untuk sementara, skenario ini tetap berjalan. Kita anggap perjodohan tetap dilanjutkan. Ingat, hanya aku yang tahu bahwa kau menolak perjodohan ini. Orangtuamu, orangtuaku, Dylan, semuanya, tidak ada yang boleh tahu.”

“Kenapa begitu?”

“Seperti yang aku katakan tadi, aku akan membantu mengembangkan cinta yang telah ada, antara kau dan Dylan. Kau percaya padaku?” tanya Nick dengan seringainya.

Gadis itu membuka mulut, menutupnya kembali, membuka lagi, lalu tertutup lagi. Ia tidak tahu harus berkata apa.

Sebuah jentikan jari dilayangkan Nick di udara. “Baik, aku anggap kau percaya padaku. Ini pasti akan menarik,” ucapnya antusias.

Let a Good Thing Die [END]Where stories live. Discover now