1. Interlaken di Malam Hari

989 80 2
                                    

Di atas gedung apartemen sederhana, terdengar suara pantulan bola basket pada lantai semen yang basah akibat hujan, yang beberapa jam lalu mengguyur Interlaken, sebuah kota kecil, bagian dari negara Swiss. Sebut saja Dylan, seorang laki-laki berdarah campuran Jerman-China, dengan tubuh tinggi, tetapi tidak terlalu berisi, lengkap bersama kacamata yang bertengger di hidungnya yang runcing.

Dylan melambungkan bola oranye itu dan berhasil memasukkannya ke dalam ring. Ia berlari kecil untuk mengejar bola dan kembali memantulkan benda itu ke lantai beberapa kali.

"Kau sungguh membiarkan aku bermain sendiri malam ini?" tanyanya pada seorang gadis yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri, sedang berkutat dengan tablet di pangkuannya.

Gadis itu mengangkat wajah, lalu menyelipkan sejumput rambut pirangnya yang tertiup angin ke belakang telinga. Ia memasang wajah bersalah. "Sayangnya harus begitu. Bahkan, kurasa malam ini aku harus merelakan jam tidurku."

"Lagi?" Seingat Dylan, beberapa hari belakangan, gadis itu sering menggunakan jam tidurnya untuk menyelesaikan pekerjaan.

"Aku sedang mengerjakan permintaan Nyonya Jones. Ia ingin aku merevisi beberapa bagian yang telah aku desain. Meski sulit membuat hatinya puas, tetapi bayarannya juga bukan jumlah yang kecil. Kau juga tahu itu. Bukankah ia juga pernah menjadi klien-mu? Intinya, aku tidak bisa melewatkan kesempatan ini begitu saja," celoteh gadis itu panjang lebar. Ya, bahkan Dylan yang mengenalkannya pada Nyonya Jones.

Dylan menyandang bola basket di pinggang, kemudian menghampiri dan mengambil tempat di sebelah sahabatnya. "Anna Brunner memang seorang ilustrator paling profesional yang pernah kukenal," goda laki-laki itu dengan seringai kecil.

Anna memutar bola mata, melemparkan pertanyaan dengan nada bercanda. "Apa aku disebut profesional hanya karena tidak tidur? Atau karena mengejar uang?"

"Ah, padahal maksudku, kau profesional karena tidak ingin mengecewakan klien yang sangat percaya padamu. Ternyata bukan begitu, ya?"

"Terserah kau saja," ucap Anna mengakhiri pembicaraan mereka, membiarkan Dylan menertawakannya karena tidak bisa membalas kata-katanya. Matanya kembali beralih pada layar tablet dan mulai menggerakkan pena di atasnya.

Dylan sekilas melirik pekerjaan Anna. "Proyek apa kali ini?" tanyanya penasaran.

"Undangan digital. Anak perempuannya akan menggelar pameran lukisan untuk pertama kali. Karena itu, ia agak cerewet."

"Anak perempuan yang-"

"Benar. Yang sempat dijodohkan denganmu," potong Anna cepat.

"Dijodohkan apanya? Ia hanya mengenalkan kami."

"Tidak. Nyonya Jones berharap kau mengambil langkah. Anaknya juga tertarik padamu, 'kan? Tetapi, kau justru membuang kesempatan emas dengan sikap dingin yang kau buat-buat itu."

Wajar saja Anna mengatakan bahwa Dylan telah membuang kesempatan emas. Perempuan yang sedang mereka bicarakan itu berparas manis, sikapnya juga baik. Ia juga berasal dari keluarga terpandang. Alasan terakhir itu yang membuat Dylan tidak pernah berpikir untuk mencoba menjalin hubungan lebih jauh. Status sosial mereka terlalu jauh.

"Aku hanya tidak siap mempunyai ibu mertua yang akan menceramahiku setiap hari," canda laki-laki itu.

Dylan Barth dan Anna Brunner. Siapa pun yang pernah satu sekolah dengan mereka saat SMA, pasti tahu bahwa keduanya tak terpisahkan. Di mana Dylan berada, di situ juga ada Anna yang selalu merecoki. Di mana Anna berada, di situ juga ada Dylan yang setia mendengar setiap keluh kesah gadis itu.

Keduanya langsung merasa cocok akan satu sama lain saat hari pertama mereka memulai masa SMA, di kelas yang sama. Awalnya, Dylan hanya penasaran tentang buku novel yang dibaca Anna. Pasalnya, buku yang ia pegang adalah salah satu novel romansa remaja yang cukup terkenal saat itu. Berisi tentang manisnya cinta pertama yang bersemi di sekolah. Setidaknya, begitu yang ia dengar dari teman-teman sebayanya semasa SMP. Rasa penasaran itu yang membuat Dylan memulai percakapan mereka.

Yang membuat Dylan penasaran adalah tipe cerita menggemaskan seperti itu tampak tidak sinkron dengan gaya penampilan Anna yang terkesan kelaki-lakian. Potongan rambut mullet, baju oversize, celana jeans hitam, serta sneakers laki-laki. Untungnya Anna punya iris mata berwarna hijau, dinaungi bulu mata lebat dan lentik, sehingga masih menimbulkan kesan cantik pada dirinya. Lantas, seakan belum cukup akan gaya berpakaiannya yang rebel, gadis itu dengan cueknya mengunyah permen karet saat di kelas. Belakangan, laki-laki itu akhirnya tahu bahwa Anna sedang iseng saja mengikuti gaya salah satu perempuan dalam novel itu.

Anna yang tampak acuh tak acuh dengan lingkungan sekitar, Dylan yang ramah dan mudah berteman dengan siapa saja, membuat keduanya akrab karena bisa saling melengkapi. Di tahun kedua, kedekatan mereka mulai menimbulkan pertanyaan dari teman-teman lain. Apa benar mereka hanya sepasang sahabat? Namun, keduanya tidak pernah ambil pusing akan penilaian orang lain. Mereka tetap bermain bersama, ke perpustakaan bersama, duduk berdampingan di kelas, juga pulang bersama karena kebetulan mereka tinggal di satu gedung apartemen.

Lama-kelamaan, orang-orang yang mengenal mereka mulai percaya bahwa persahabatan mereka murni. Padahal, di antara Dylan dan Anna, ada yang diam-diam menaruh hati pada yang lainnya. Tidak ada seorang pun yang tahu akan hal itu.

"Sampai kapan kau mau di sini?" tanya Dylan.

"Sampai ini selesai."

Laki-laki itu mengerutkan kening. "Kenapa tidak pulang saja? Kau bisa mati kedinginan jika semalaman berada di sini, kau tahu?" ocehnya karena mengingat sebentar lagi akan masuk musim gugur, otomatis suhu udara akan semakin menusuk tulang, apalagi gadis itu mengenakan pakaian yang tidak terlalu tebal.

Tangan Anna yang dari tadi bergerak-gerak di atas layar tablet, tiba-tiba berhenti. Ekspresinya berubah kaku. Sesuatu yang mengganggu pikirannya beberapa hari terakhir, terlintas lagi. Kalau boleh jujur, lebih baik ia mati kedinginan, daripada harus pulang sekarang. Namun, ia tidak mengatakan hal itu pada Dylan. Anna belum mau menceritakan kegundahan hatinya. Maka, yang keluar dari mulutnya hanya, "Aku tidak akan lama."

Dylan yang tak menyadari perubahan raut wajah dan nada bicara gadis itu, menghela napas, lalu bangkit berdiri.

"Kau mau ke mana?" Anna menarik ujung lengan sweater milik Dylan.

"Aku ke bawah sebentar untuk mengambil laptop. Kupikir, lebih baik aku menyelesaikan editan hasil fotoku, sembari menemanimu di sini. Aku juga akan membawa selimut untukmu. Apa ada yang kau perlukan? Aku bisa sekalian mampir ke tempatmu."

Begitu mendengar sahabatnya bersedia menemani ia mengerjakan proyek sebelum diminta, membuat senyum Anna mengembang. Suasana hatinya langsung berubah hangat. Ia menggeleng.

"Baiklah. Tunggu aku." Laki-laki itu baru saja hendak melangkah, tetapi pandangannya kembali ke Anna. "Kau mau susu cokelat atau cokelat panas?"

Dengan alis terangkat, Anna bertanya, "Memang kau bisa membawa semuanya? Laptop, selimut, lalu-"

"Susu cokelat atau cokelat panas?"

"Susu cokelat. Tolong jangan terlalu panas."

"Baik." Dylan mengangguk sekali, lalu benar-benar pergi.

Anna memandangi kepergian Dylan dengan wajah datar. Ia menghela napas panjang, lalu menggelengkan kepala kuat-kuat, seolah mengusir pikirannya yang kusut. Tidak, ini bukan saatnya memikirkan hal lain. Ia masih punya pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya.

Let a Good Thing Die [END]Where stories live. Discover now