19. Kejutan untuk Anna

83 21 0
                                    

Langkah gontai sudah cukup mengisyaratkan bahwa gadis itu sama sekali tidak bersemangat menuju apartemen. Pagi tadi, Anna dan Dylan kembali ke Interlaken dengan kereta. Ia masih tidak banyak bicara dan belum mau membuka omongan tentang perjodohan ini pada sahabatnya. Untung saja, setelah sampai, mereka harus berpisah karena gadis itu sudah janji akan bertemu klien, seperti yang ia katakan pada Nick kemarin. Sekarang, ia baru merasa tubuhnya mulai lelah karena belum sempat beristirahat dari perjalanannya selama beberapa hari dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk membahas proyek yang sedang ia kerjakan dengan klien.

Lift berbunyi, disusul dengan suara pintu yang bergeser otomatis. Anna menghela napas sebelum menggeret koper masuk ke dalam lift. Ia menekan tombol angka 3, kemudian menunggu hingga pintu tertutup.

Anna menekan bel setelah sampai di depan unit tempat tinggalnya. Philip membukakan pintu dengan wajah berseri-seri, yang dibalas gadis itu dengan ekspresi yang sama.

"Selamat datang, Ann. Bagaimana perjalanan dinasmu? Menyenangkan?" tanya Philip mengambil alih koper sambil membelai rambut Anna.

Gadis itu membalas dengan sebuah tawa kecil karena ayahnya menggunakan istilah perjalanan dinas yang terdengar terlalu resmi. Lalu, ia mengangguk. "Kami mendapat klien yang sungguh baik, juga teman-teman baru."

Lantas, matanya berpindah pada sang ibu yang baru datang dari arah dapur dan masih menggunakan celemek. Tangan Anna terulur, memeluk Joan hangat.

"Ah, anak Ibu sudah pulang. Padahal hanya beberapa hari, tapi Ibu rindu sekali padamu." Joan menghadiahkan sebuah kecupan di pipi gadis itu sebagai penutup ucapannya.

"Aku juga rindu Ibu. Apa Ibu sedang memasak sesuatu? Aku lapar sekali," sahut Anna manja.

"Ya, Ibu membuat beberapa menu makanan kesukaanmu karena kita akan kedatangan tamu. Kau mandi saja dulu, sambil menunggu masakannya matang. Tamu kita juga sebentar lagi akan sampai."

Rasanya, ia tidak perlu bertanya siapa tamu yang dimaksud. Tanpa memperpanjang, Anna menuruti Joan untuk segera bebersih, demi menyambut tamu agung dari Zurich.

Kalau dipikir-pikir, Anna memang tidak pernah menanyakan hal-hal yang bersangkutan dengan putra Robert. Alasannya, karena segala sesuatu tentang orang itu sama sekali tidak penting baginya. Ia bahkan tidak penasaran bagaimana rupa laki-laki itu. Namanya saja, Anna tidak tahu.

Bunyi mesin pengering rambut menggema di dalam kamar. Gadis itu sudah selesai mandi dan harus berpenampilan baik. Benar, penampilan baik, bukan cantik, sebagai tanda bahwa ia menghormati tamunya, bukan untuk menarik perhatian sang tamu. Anna bisa melihat dari cermin bahwa Joan sedang duduk di kasur, memerhatikannya. Mungkin ibunya sedang jadi mata-mata, takut Anna nekat berbusana aneh-aneh, meski hal itu memang sempat terlintas di benaknya.

Omong-omong, karena kurang dari satu jam lagi ia dan putra Robert akan segera bertemu, tidak ada salahnya jika ia bertanya-tanya sedikit, "Apa Ibu dan Ayah pernah bertemu dengan putra Robert sebelumnya?"

"Belum. Bertemu Robert pun baru satu kali, ketika dia sedang berada di Iseltwald."

Anna mengangguk-anggukan kepala. Ia mematikan mesin pengering rambut, kemudian menata rambutnya agar sedikit bergelombang dengan alat catok. "Apakah Robert tampan?"

"Kenapa pertanyaanmu begitu?" Joan balik bertanya dengan wajah heran.

"Kalau pria itu tampan, bisa jadi akan menurun ke anaknya yang akan kita temui hari ini."

Joan terkekeh geli. "Menurut penilaian Ibu... hmm, lumayan. Karena bagi Ibu, laki-laki tampan itu hanya ayahmu." Wanita itu mengerling main-main, membuat Anna tertawa kecil.

Ibunya bisa berkata seperti itu karena mencintai ayahnya. Maka, kalau ada laki-laki lain, setampan apapun, akan jadi kasat mata. Sama dengan Anna, baginya laki-laki tampan itu hanya Dylan.

Bel apartemen berbunyi, membuat Joan dan Anna terkesiap. "Ibu, apakah dia sudah datang? Bukankah ini lebih cepat daripada yang dijanjikan? Aku bahkan belum merias wajahku," repet Anna panik. Apakah sekarang waktunya telah tiba?

"Kau tenang saja. Biar Ibu yang mengatasinya. Berdandanlah dengan santai. Pastikan kau tampil memesona," ucap Joan sebelum meninggalkan gadis itu.

Telinga Anna kurang menangkap percakapan antara orangtuanya dan tamu yang datang. Namun, mendengar nada ramah Philip dan Joan, hampir bisa dipastikan bahwa benar orang itu adalah putra Robert yang sudah ditunggu-tunggu.

Setelah selesai memulas riasaan tipis di wajah, gadis itu bangkit berdiri, menilai penampilannya dari puncak kepala sampai ke ujung kaki melalui cermin. Satu tarikan napas panjang, senyum manis mengembang, menandakan bahwa ia akan segera menyambut tamu itu.

Ketika Anna membuka pintu kamar, tiga pasang mata otomatis mengarah padanya. Satu. Dua. Tiga. Senyum gadis itu hanya bertahan tiga detik begitu melihat siapa laki-laki yang duduk di ruang keluarga, selain Philip. Kelopak matanya turun saat menemukan bahwa orang itu tidak memasang ekspresi terkejut seperti Anna sekarang, melainkan sedang menyunggingkan senyum canggung.

Philip berdiri dari sofa, mengayunkan tangan memanggil Anna. "Ann, kemarilah! Ini Nicholas, putra Robert." Kemudian, pria itu ganti menoleh ke arah Nick. "Ini putriku-"

"Apa ini?" sela Anna dengan nada dingin.

Hening tercipta sungguh menegangkan ketika gadis cantik itu membuka suara.

"Kalian sengaja merencanakan ini semua?" Tatapannya menohok setiap pasang mata, menuntut penjelasan. Tiba-tiba saja ia merasa paling bodoh karena menjadi satu-satunya orang yang tidak mengerti situasi sekarang.

Tentu saja ia bukan satu-satunya. Kini Philip dan Joan saling berpandangan, mencari tahu kesalahan apa yang mereka perbuat sampai sikap putrinya berubah seperti itu.

Nick bangkit berdiri menghadap Anna. "Aku tahu, kau pasti terkejut. Tapi, jangan salahkan mereka. Orangtuamu tidak tahu soal ini. Tolong, beri aku waktu untuk menjelaskan."

Jadi, ini rencana Nick? Semua sikap baik dan perhatiannya pada Anna selama perjalanan mereka kemarin, rupanya sembari menunggu hari ini tiba? Ketulusan Nick yang ia rasakan, apakah itu semua juga demi melaksanakan perintah Robert? Padahal Anna sangat mengagumi laki-laki di hadapannya sekarang, tetapi sepertinya Nick hanya menganggap ia sebagai lelucon.

Gadis itu melipat kedua tangan di depan dada. "Aku pikir, tadi kita sudah berpisah di stasiun. Aku jelas melihatmu naik kereta dengan tujuan ke Zurich. Lalu, tiba-tiba kau muncul di apartemen kami. Kalau kau sengaja mengaturnya untuk memberiku kejutan, selamat, kau berhasil. Aku memang terkejut. Tapi sayangnya, aku tidak suka kejutan."

Kata-kata yang telah dirangkai dalam kepala Nick menguap begitu saja. Ia tidak menyangka bahwa akan menemukan Anna dengan sorot mata kecewa, terlebih lagi, ia penyebabnya. Nick merasa, bukan dirinya, laki-laki yang Anna tunggu untuk datang hari ini.

Desahan lelah keluar dari bibir merah muda milik Anna. "Maaf, aku tidak bisa bicara sekarang," ucap gadis itu, suaranya melunak.

Pikiran Anna berkecamuk. Ia bahkan tidak menyangka bagaimana bisa ia semarah itu dan berkata-kata tajam pada Nick. Mungkin karena sejak awal ia tidak menginginkan hari ini tiba. Kemudian, ketika yang muncul adalah seseorang yang dikenalnya, ia jadi melampiaskan kekesalannya pada Nick.

Dengan langkah lebar, ia menuju pintu apartemen, membukanya cepat. Lalu, bersamaan dengan datangnya suara Nick, "Anna, tunggu!" wajahnya langsung berhadapan dengan seseorang yang sudah ada di balik pintu, Dylan.

Mata laki-laki itu langsung tertuju pada Nick yang ada di belakang Anna. Alisnya berkerut dalam. "Nick?"

Kepala gadis itu tertunduk ketika Dylan melemparkan pandangan penuh tanya. Lantas, seperti yang selalu dilakukannya setiap kali masalah datang, sekarang pun Anna memilih untuk lari dan menghindar. Namun, kali ini Dylan tidak akan membiarkannya melakukan hal itu.

Let a Good Thing Die [END]Where stories live. Discover now