13. Mungkin Memang Takdir

120 25 2
                                    

Nicholas Müller yang lebih akrab dipanggil Nick tiba-tiba saja diminta untuk menjalani hidup sesuai yang digariskan oleh ayahnya, Robert Müller. Bukan tiba-tiba juga sebenarnya. Ia merasa hidupnya telah disetir oleh sang ayah sejak ia masih kecil. Robert adalah seorang yang terlalu tegas dalam mendidik anak. Bagusnya, Nick tumbuh sebagai laki-laki yang jauh dari kata brengsek. Jeleknya, hidup Nick sebagai putra dari Robert Müller tidak terlalu menarik seperti anak-anak lain.

Mempunyai ayah yang sukses mungkin menjadi mimpi sebagian besar seorang anak. Namun, untuk Nick bagaikan menanggung beban yang besar di pundaknya. Teman-teman sebayanya mungkin iri begitu tahu ayah Nick mempunyai posisi penting di perusahaan Reddeer. Akan tetapi, Nick menganggapnya sebagai malapetaka karena ia dituntut untuk lebih baik daripada ayahnya.

Ia masih bisa terima kalau Robert mendaftarkannya ke kursus gambar di usia yang ke empat tahun, daripada ke pelatihan bulutangkis, olahraga kegemarannya. Ia juga masih bisa terima ketika Robert memaksa Nick melanjutkan studi di bidang desain, alih-alih arsitektur, cita-citanya. Bahkan sampai Robert memasukkannya ke dalam Reddeer untuk menjadi penerusnya pun, Nick masih bisa menjalaninya. Namun, ia tidak sangka bahwa urusan percintaan pun, sang ayah tetap ingin ikut campur.

Di suatu malam, saat mereka sedang makan bersama, Robert membuka topik pembicaraan, “Kau harus menikah dengan anak dari teman baik Ayah.”

Lihatlah gaya bicaranya yang seperti diktator itu. Robert sama sekali tak suka mengajaknya berdiskusi dengan melempar pertanyaan. Setiap kalimatnya selalu berisi perintah yang tidak dapat dibantah.

“Kenapa Ayah mendadak menyuruhku menikah?”

“Kau tahu Ayah sudah tua, mungkin Ayah hanya punya beberapa tahun lagi untuk hidup. Selagi masih sehat, Ayah ingin melihatmu menikah, lalu memberikan kami cucu-cucu yang gemas. Dengan begitu, Ayah bisa menghabiskan sisa hidup dengan rasa bahagia.”

Sekarang, Nick harus memenuhi kebahagiaan Robert yang tidak pernah peduli dengan kebahagiaan anaknya sendiri. “Kalau begitu, aku harap Ayah bersabar sampai aku menemukan orang yang tepat.”

“Maka dari itu Ayah bilang, kau harus menikah dengan anak dari teman baik Ayah. Jadi, kau tidak perlu repot-repot mencari lagi.”

Nick menghela napas, rupanya Robert tidak bisa diberi kata-kata halus. Maka, langsung saja pada intinya, “Ayah akan menjodohkanku? Sejujurnya, aku tidak suka hal-hal seperti itu.”

“Kau bisa mengenalnya lebih dulu.”

“Apa ini pernikahan bisnis?”

Robert terkekeh pelan sambil mengibaskan tangan. “Pernikahan bisnis apanya? Kau terlalu banyak menonton film. Ayahmu ini tidak mungkin mengorbankan pernikahan anaknya sendiri demi bisnis.”

Oh, ya? Sebenarnya hal itu mungkin saja terjadi. “Lalu?”

Robert meletakkan alat makan, menyeka mulutnya, lalu berdeham pelan. “Ayah punya seorang sahabat yang bernama Philip Brunner. Kami tumbuh bersama dari kecil hingga remaja, saat masih tinggal di Iseltwald, kampung halaman Ayah. Susah dan senang kami lewati bersama. Sampai suatu saat kami berjanji untuk menyatukan anak-anak kami, agar bisa terikat sebagai keluarga.”

Ternyata bukan sesuatu yang krusial. Hanya janji bocah ingusan yang tidak mau berpisah dengan teman bermainnya. Meski begitu, Nick tetap mendengarkan kelanjutan dongeng ayahnya.

“Kami sempat putus kontak berpuluh-puluh tahun karena mengejar mimpi masing-masing. Ayah merantau ke Zurich, sementara Phillip ke Interlaken. Lalu, belum lama ini, kami bertemu kembali saat Ayah berkunjung ke Iseltwald. Rupanya, Phillip dan istrinya menetap di sana, tetapi beberapa kali mengunjungi anaknya yang tinggal di Interlaken. Phillip mempunyai seorang anak gadis yang manis seperti ibunya, seusia denganmu. Menariknya lagi, ia juga seorang ilustrator. Ayah merasa bahwa ini adalah takdir. Mungkin janji yang kami buat dulu, memang harus ditepati.”

Let a Good Thing Die [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang