25. Sebuah Kesepakatan

88 20 0
                                    

“Baik, tahan. Tiga, dua, satu.”

Tepat ketika lampu kilat kamera menyala dengan terang, seorang laki-laki muda, karyawan yang bekerja di studio foto, masuk ke ruangan tempat Dylan sedang melakukan pemotretan.

“Masih lama?” bisiknya pada Dylan.

“Tinggal beberapa pose lagi. Kenapa?”

“Ada yang sedang menunggumu di ruang tunggu.”

“Bukankah ini klien yang terakhir?”

“Bukan klien.”

Dylan mencoba menebak siapa orang yang tiba-tiba datang ke studionya tanpa pemberitahuan. Apa Anna sudah kembali ke Interlaken? “Anna?” gumamnya tanpa sadar.

“Bukan Anna juga. Dia laki-laki.” Seakan menyadari sesuatu, laki-laki muda itu bertanya lagi, “Omong-omong, dia juga sudah lama tidak ke sini. Bagaimana kabarnya?”

Helaan napas terdengar dari Dylan. “Hei, aku ini masih bekerja, kau tahu?” ucapnya sambil melirik singkat klien di hadapan mereka.

“Ah, benar juga. Baiklah, selamat bekerja.” Laki-laki itu menepuk bahu Dylan sebelum meninggalkan ruangan.

Setelah menyelesaikan sesi pemotretan, Dylan hendak menuju ruang kerja, ketika matanya menangkap seseorang yang ia kenal sedang duduk ruang tunggu. Kakinya berbelok ke arah orang tersebut.

“Sedang apa kau di sini, Nick?”

Nick mengangkat wajah dan tersenyum lebar. “Sudah selesai? Aku hampir mati kebosanan karena terlalu lama menunggumu.”

Laki-laki itu ikut tertawa mendengar keluhan Nick yang dilebih-lebihkan itu. “Ayo, kita bicara di ruanganku.”

“Mau minum apa?” tawar Dylan begitu mereka duduk di sofa panjang yang berada dalam ruangannya.

“Tidak perlu, terima kasih. Aku hanya sebentar saja ke sini, lalu akan kembali ke Zurich lagi sebelum malam.”

“Kau datang ke Interlaken hanya untuk menemuiku?” tanya Dylan memastikan.

Lawan bicaranya mengangguk.

Dylan menegakkan punggung dan memicingkan mata. Raut wajahnya berubah serius. “Memangnya ada hal penting yang ingin kau sampaikan, sampai jauh-jauh menemuiku begini?”

“Ya,” sahut Nick tegas.

Laki-laki itu tidak berani bertanya apakah hal yang serius itu berhubungan dengan Anna atau tidak, karena sejujurnya ia tidak siap mendengar informasi apapun tentang mereka berdua.

“Pertama-tama, apa Anna sudah memberitahumu tentang… kami?”

Ternyata benar, ini ada kaitannya dengan gadis itu. “Mm. Ayahmu dan ayah Anna berteman, lalu ingin menjodohkan kalian.”

“Lalu?”

“Lalu?” Dylan mengulangi pertanyaan Nick karena sepertinya bukan jawaban itu yang ditunggu oleh temannya.

Nick mengesah panjang. “Anna belum cerita, ya?”

Oh, tidak. Memangnya apa lagi yang tidak diberitahu oleh gadis itu padanya? Apakah lebih buruk dari berita bahwa mereka dijodohkan?

Melihat Dylan hanya diam dan tampak kebingungan, Nick melanjutkan, “Intinya, sampai saat ini semua berjalan dengan baik, meskipun sempat terjadi kesalahpahaman di awal. Lalu, tidak lama lagi Anna akan ikut denganku untuk tinggal di Zurich.”

Demi Tuhan, Dylan merasa jantungnya sempat berhenti sesaat ketika mendengar kalimat terakhir Nick. “Tinggal di Zurich?” Lagi-lagi ia mengulangi kata-kata Nick. Kali ini untuk memastikan bahwa pendengarannya masih baik.

“Benar.”

“Anna akan menetap di Zurich? Maksudku, selamanya?”

“Tentu saja,” jawab Nick yakin. “Memang terlalu cepat sebenarnya. Namun, aku ingin dia lebih akrab dengan keluargaku. Dia tidak punya kenalan di Zurich. Jadi, harapannya, setelah menikah nanti, ia tidak terlalu canggung untuk berinteraksi dengan keluargaku. Anna juga sudah setuju dengan rencana ini.”

Dylan memandangi Nick beberapa saat. Jadi, pada akhirnya Anna akan menikahi laki-laki ini? Wajar saja sebenarnya. Nick cukup tampan, karirnya bagus. Ia juga menggeluti bidang yang sama dengan Anna. Hobi mereka sama. Nick punya keluarga yang baik dan harmonis. Yang terpenting, Anna sangat mengaguminya.

Kepala Dylan tertunduk lesu. Semua yang dimiliki oleh Nick jelas tidak bisa dibandingkan dengan dirinya. Ia hanya laki-laki yang hidup sebatang kara tanpa keluarga. Tinggal di apartemen sederhana dan mendapat penghasilan dari studio kecilnya.

Dylan bukan tandingan untuk Nick. Maka, meskipun ingin, ia tidak berhak merasa kesal atau marah jika Anna, sahabat terbaik sekaligus orang yang paling ia sayangi, bisa bersanding dengan laki-laki yang jauh lebih baik darinya.

Ia akan bahagia melihat Anna bahagia. Bukannya itu kalimat yang selalu ia pegang?

“Kapan kalian akan menikah?” tanya Dylan pelan.

“Itu—entahlah, belum ada pembicaraan khusus tentang itu.”

“Jadi, kau rela datang jauh-jauh dari Zurich, untuk menyampaikan ini padaku?”

“Ya.”

“Kenapa?” Dylan tidak tahu apa pentingnya ia mengetahui ini semua lewat pembicaraan empat mata dengan Nick. Kalau sekadar ingin cerita, bukankah Nick bisa meneleponnya saja?

“Karena aku tahu pertemanan kalian tidak biasa.”

Tubuh Dylan mematung. Kemarin Alexa, sekarang Nick. Apakah semua orang di dunia ini bisa melihat isi hatinya dengan jelas? Apa selama ini Anna juga bisa melihatnya?

“Begini, sebelum kami membicarakan tentang pernikahan, aku mau semuanya jelas di antara kita. Aku bicara begini sebagai temanmu, sekaligus sebagai calon pasangan Anna. Aku tidak akan melarangmu untuk tetap bersahabat dengan Anna. Aku hanya ingin kalian tahu batasan, demi menjaga perasaanku. Jujur, selama berada di antara kalian, aku bisa saja percaya kalau kalian mengaku sebagai pasangan kekasih karena semua hal yang kalian lakukan pada satu sama lain.”

Laki-laki itu mengusap wajahnya dengan gusar. “Aku harus menjauh dari Anna. Makanya, kau ingin membawa dia ke Zurich. Begitu ‘kan maksudmu?” tanya Dylan sarkas.

“Aku mengerti, mungkin tidak mudah bagimu untuk langsung berpisah dengan Anna yang selalu berada di sisimu hampir setiap hari.”

Tidak, sampai kapan pun Nick tidak akan pernah mengerti. Ini bukan soal mudah atau sulit jika hidup terpisah dengan Anna. Nick tidak akan pernah tahu sekeras apa ia mencoba dan seberapa lama waktu yang dibutuhkan Dylan jika hari itu datang.

Sekarang Nick menggunakan kata ‘berpisah’. Sejak pembicaraan ini dimulai, memang ini inti dari kedatangan laki-laki itu. Nick ingin memisahkan mereka berdua karena khawatir akan persahabatan mereka.

Nick bangkit berdiri, melangkah ke arah jendela, lalu berhenti di sana, melempar pandangan ke luar. Ruang kerja Dylan mendadak menjadi sunyi dan lebih dingin karena kedua laki-laki itu asyik dengan pikiran mereka sendiri tanpa menggubris keberadaan satu sama lain.

“Aku akan menjemput Anna untuk ikut denganku ke Zurich tepat saat Tahun Baru.” Nick akhirnya membuka suara, tubuhnya masih membelakangi Dylan. “Sampai saat itu tiba, kau bebas melakukan apa saja.”

Ia berbalik, menatap lurus ke mata Dylan yang tidak bergerak dari tempatnya. “Aku, temanmu, tidak akan mengganggu. Namun, kalau Anna sudah menginjakkan kakinya di Zurich, aku harap kau menghargai aku sebagai calon pasangan hidupnya.”

“Kau memberiku waktu untuk bersenang-senang untuk merayakan perpisahan dengan Anna?” Suara Dylan masih menyiratkan kekesalan.

Senyum miring terbentuk di wajah Nick. “Anggap saja begitu.” Ia menghela napas, senyumnya hilang. “Maaf, Teman. Aku harus melakukan ini.”

Dylan ikut tersenyum masam. “Haruskah aku berterima kasih?”

Nick tertawa kecil. Ia sadar telah membangunkan macan tidur. Laki-laki itu beranjak menghampiri Dylan. “Aku harap kau menggunakan waktu dengan baik. Aku harus kembali sekarang,” ucapnya tenang, menepuk Dylan singkat, lalu meninggalkan ruangan.

Let a Good Thing Die [END]Where stories live. Discover now