12. Kebahagiaan Palsu

110 26 0
                                    

Pemotretan dan kegiatan jalan-jalan di Bern telah usai. Mereka berenam sedang berada dalam kereta untuk kembali ke Zurich. Lagi, Anna memilih kursi dekat jendela, tetapi teman sebelahnya bukan Alexa, melainkan Dylan. Nick, Alexa, Mike, dan Daisy memilih tempat duduk yang berhadapan untuk membahas perintilan acara pernikahan yang berhubungan dengan keluarga mereka. Soal undangan, pakaian keluarga, tempat tinggal untuk saudara yang datang dari luar kota, dan hal-hal semacam itu.

“Tadi kau pergi ke mana?”

Merasa diajak bicara, Anna melepaskan penyuara telinga dan memiringkan tubuh ke arah Dylan. “Hm?”

“Kau dan Nick, tadi pergi ke mana?”

“Bundeshaus.”

Dahi Dylan berkerut bingung. “Bukankah kalian bilang akan pergi ke tempat kerja Nick?”

“Ya, ternyata tempatnya di Bundeshaus.”

“Aku tidak mengerti. Apakah tanpa sepengetahuanku Nick sudah menjadi pejabat pemerintahan atau semacamnya?”

Anna tertawa mendengar penuturan Dylan. Tidak salah juga jika laki-laki itu berpikir demikian. “Tidak, bukan begitu. Tempat kerjanya di belakang gedung Bundeshaus, bukan di dalamnya. Tempat kerja yang dimaksud adalah tempat di mana dia menuangkan ide-ide brilian miliknya.”

“Apa itu tempat yang bagus?”

“Tidak. Tempat itu sangat sangat sangat indah,” ucap Anna antusias, masih di bawah pengaruh magis pemandangan di balik Bundeshaus.

Melihat Dylan hanya menampilkan ekspresi datar di wajahnya tanpa mengucapkan satu kata pun, gadis itu bertanya heran, “Ada apa?”

Laki-laki itu menggeleng pelan. “Aku hanya merasa bahwa memintamu menjadi asistenku dalam proyek ini adalah keputusan yang tepat.” Dylan mengambil napas dalam, lalu membuangnya. “Akhir-akhir ini kau kelihatan murung.”

Tentu saja ia lebih banyak murung. Kepalanya sudah hampir meledak. Dylan juga pasti tahu alasan ia bersikap seperti itu karena masalah yang sedang dihadapinya. Masalah yang belum diceritakannya pada laki-laki itu. Namun, ia bersyukur Dylan tidak pernah mengungkit hal tersebut. Ia benar-benar menghargai keputusan Anna untuk menceritakan semuanya saat gadis itu merasa siap.

“Tapi, sejak ikut proyek ini, kau terlihat lebih ceria. Apalagi kau bisa bertemu dengan idolamu, dan hari ini dia mengajakmu mengunjungi tempat yang kau bilang sangat sangat sangat indah. Aku… aku ikut senang kalau kau merasa bahagia.” Dylan mengukir sebuah senyum hangat ketika mengakhiri kata-katanya.

Tidak ada yang salah dalam perkataan laki-laki itu. Anna sangat senang bertemu Nick. Anna senang diajak ke tempat yang istimewa bagi idolanya. Namun, sesungguhnya yang membuat gadis itu bahagia adalah kenyataan bahwa ia bisa bersama-sama dengan Dylan. Ingin rasanya proyek ini bisa berjalan lebih lama, agar ia mempunyai waktu lebih lama juga untuk berjalan, bercerita, bercanda dengan laki-laki itu. Ia takut kalau hari-hari seperti ini tidak akan datang lagi.

Anna melipat kedua tangan di depan dada. “Ya, aku memang harus berterima kasih padamu karena bisa mengenal Nick. Dia orang baik. Bahkan berkat dia, aku tidak merasa kesepian di saat teman baikku sepertinya sudah menemukan teman baru yang lebih menyenangkan daripada aku.” Gadis itu menyelipkan keluh kesahnya di balik sebuah gurauan.

Alis Dylan terangkat sebelah. “Kau sedang menyindirku?”

“Entahlah, aku hanya punya satu teman baik dalam perjalanan ini,” candanya lagi.

Laki-laki itu memasang wajah bersalah, yang tentu saja membuat Anna harus menahan rasa geli. “Kau tahu, aku tidak pernah bermaksud mengabaikanmu.”

Tawa gadis itu akhirnya lepas juga. “Aku tahu.” Lantas, setelah tawanya selesai, ia berkata lagi, “Kau juga tampak bahagia tadi. Aku ikut senang melihatnya.” Untuk ke sekian kalinya, Anna mengatakan sesuatu yang bertolak belakang dengan isi hatinya. Bagaimana bisa ia berkata seperti itu pada Dylan, sementara sepanjang perjalanan tadi ia sibuk menggerutu dalam hati?

Let a Good Thing Die [END]Where stories live. Discover now