14. Di Atas Kapellbrücke

105 20 0
                                    

"Kau ini apa-apaan?" gerutu Dylan begitu Anna membebaskan bekapannya. Mereka berjalan di sekitar Bürkliplatz tanpa tujuan karena yang terpenting bagi Anna adalah Dylan segera menjauh dari Nick.

"Kau yang apa-apaan? Kau mau bilang pada Nick bahwa aku tidak suka bunga, sementara ia memberiku bunga?"

"Kenapa tidak?"

"Di mana sopan santunmu?"

"Kalau dia memang hendak mengejarmu, setidaknya dia harus tahu hal yang kau suka dan tidak suka."

Langkah Anna terhenti. "Apa? Siapa yang mengejar siapa?"

"Nick sedang mendekatimu. Apa kau tidak sadar?"

Anna mendengkus menganggap perkataan Dylan sebagai omong kosong belaka. Ingin sekali rasanya membalas laki-laki itu dengan pertanyaan yang sama, Alexa sedang mendekatimu. Apa kau tidak sadar? "Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu?"

"Ini," tunjuk Dylan pada bunga dahlia di tangan Anna. "Kemarin dia mengajakmu jalan-jalan berdua saja. Hari ini dia memberimu bunga. Apa namanya kalau bukan sedang mengejarmu?"

Gadis itu tertawa kecil. "Tahu apa namanya? Ini sama saja seperti layanan penggemar. Meluangkan waktu dan memberi hadiah pada penggemar itu hal biasa yang dilakukan seorang idola."

"Jadi, kau suka bunga itu?"

"Ya," sahut Anna yakin.

"Karena Nick yang memberinya?"

"Bisa dibilang begitu."

"Apa karena Nick juga, kau yang sebelumnya alergi bunga mendadak sembuh?"

Anna tersentak. Ternyata laki-laki itu masih ingat. Ia membuang tatapannya dari Dylan, melanjutkan perjalanan. "Tidak juga. Sudah lama alergiku tidak kambuh."

Bohong. Segala cerita tentang Anna yang alergi bunga adalah karangan yang ia buat sendiri di malam perpisahan SMA beberapa tahun silam. Seperti kebanyakan remaja yang datang bersama pasangan ke acara malam perpisahan, begitu juga dengan dua remaja yang tinggal di gedung apartemen yang sama. Mereka tidak perlu repot mencari pasangan lagi, karena setiap hari pun Dylan dan Anna selalu pergi dan pulang sekolah bersama, demikian juga pada malam itu.

Meski begitu, jantung Anna tetap berdebar kencang menunggu Dylan menjemputnya. Berkali-kali ia meneliti riasan wajah, gaun, serta tata rambutnya di cermin, seakan-akan ingin terlihat sempurna di mata laki-laki itu, walau besar kemungkinan bahwa Dylan tidak akan peduli pada penampilannya.

Bel apartemen berbunyi. Gadis itu berlari kecil menuju pintu dan langsung membukanya. Detik berikutnya, ia pun bertemu tatap dengan Dylan yang sedang memamerkan senyum lebarnya. Sesaat, Anna terpana melihat sahabatnya dalam balutan jas hitam, poni yang dinaikkan ke atas, sepatu pantofel mengkilat, dan hal terakhir yang punya andil besar di balik diamnya Anna adalah sebuket bunga yang dibawa Dylan.

"Selamat malam, Nona Brunner. Ini untukmu." Laki-laki itu menyerahkan bunga kepada Anna.

Seperti orang yang sedang dihipnotis, Anna perlahan mengambil buket itu dengan tatapan kosong. Ini kali pertama seseorang memberikannya bunga, dan orang itu adalah Dylan Barth.

"Mau pergi sekarang?"

"Ah, sebentar." Anna melesat masuk apartemennya, mengunci pintu, meninggalkan Dylan di depan yang sedang kebingungan.

Gadis itu bersandar di balik pintu sambil mengatur napasnya yang menggebu. Ia memegangi dadanya yang berdentum-dentum, lalu menatap bunga pemberian Dylan. Wajahnya pasti sudah merah padam. Perbuatan Dylan kali ini sungguh berbahaya, ia harus memberikan peringatan sebelum kena serangan jantung.

Let a Good Thing Die [END]Where stories live. Discover now