26. Bertemu Kembali

112 19 1
                                    

Hari demi hari berlalu. Musim pun telah berganti. Ini akhir pekan, tetapi laki-laki itu memilih untuk bekerja di studionya yang sunyi. Tidak terlalu sunyi sebenarnya, karena samar-samar masih terdengar suara tawa anak-anak sedang bermain salju di jalan sempit, berseberangan dengan studio Dylan.

Keceriaan yang tidak dapat menembus dinding ruang kerjanya. Ini semua karena gadis itu. Hampir setiap hari Dylan berkunjung ke apartemen Anna, berharap ada seseorang yang membukakan pintu setelah ia memencet bel beberapa kali, tetapi hasilnya nihil. Gadis itu belum kembali.

Mata legam itu melirik sebuah foto yang terpajang di sudut meja. Wajah Anna yang sedang cemberut, merajuk karena Dylan tidak mengizinkannya minum kopi di Zytglogge waktu itu. Ia ingat sempat berdebat karena gadis itu berkata bahwa wajahnya jelek di sana. Menurut Dylan, wajahnya di sana menggemaskan. Namun, belum sempat mengoreksi, Nick sudah menginterupsi perbincangan mereka.

Ia mengulurkan tangan, mengambil pigura foto. Ia pandangi sesaat, kemudian diusapnya pelan menggunakan ibu jari. Ya, Dylan bisa saja mengirimi pesan atau menelepon Anna. Namun, ia bukan tipe orang seperti itu, apalagi setelah pertengkaran besar mereka. Sesuatu yang diucapkan melalui pesan atau telepon seringkali bukan berupa jawaban jujur karena si penerima pesan punya kesempatan untuk memikirkan kata-kata apa yang akan ia tulis atau katakan kepada lawan bicaranya.

Dylan lebih memilih untuk bicara langsung untuk memperbaiki keadaan seperti semula. Ia ingin melihat Anna, mendengar suaranya, memerhatikan gestur tubuhnya, juga merasakan kehadirannya. Dengan begitu, ia baru bisa memastikan bahwa masalah di antara mereka sudah selesai. Namun, sepertinya gadis itu masih betah tinggal di Iseltwald.

Ibu jarinya berhenti, Dylan tertegun sesaat. Selama ini, laki-laki itu terlalu hanyut dalam setumpuk proyek yang sengaja ia ambil untuk mengalihkan pikiran, sehingga tidak sadar bahwa waktu yang diberikan Nick semakin sempit. Tahun Baru tinggal beberapa hari lagi. Kalau Nick berkata akan membawa Anna ke Zurich ketika Tahun Baru, bisa jadi gadis itu tidak akan pernah kembali lagi ke Interlaken.

“Apakah semuanya memang harus berakhir seperti ini?” ucapnya lirih.

Anna akan menjalani kehidupan baru, sementara Dylan harus melanjutkan hidup tanpa gadis itu. Bahkan mereka belum bicara sampai saat ini. Laki-laki itu memejamkan mata, memijat pelipisnya. Situasi ini buruk sekali.

Tidak, tidak bisa begini. Dengan sekali gerakan, ia menutup layar laptop, menyambar jaket yang tersampir di kursi, serta tidak lupa dengan topi dan syal yang terletak di meja, lalu pergi meninggalkan studio.

Jarinya yang terbungkus sarung tangan, tidak berhenti beraktivitas di ponsel untuk mencari jadwal bus tercepat yang bisa mengantarnya ke Iseltwald. Napasnya sedikit tersengal karena buru-buru menuju halte. Ia tidak yakin apa yang mendorongnya melakukan ini. Yang Dylan tahu, ia harus bertemu Anna sekarang. Tidak boleh ada penundaan lagi kali ini.

***

Tumpukan salju yang menutupi jalan, kini mematri jejak sepatu bot yang dikenakan Dylan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tumpukan salju yang menutupi jalan, kini mematri jejak sepatu bot yang dikenakan Dylan. Hari sudah sore ketika ia sampai di Iseltwald. Tanpa persiapan apa-apa, laki-laki itu mendatangi desa yang sudah lama tidak ia kunjungi. Kalau tidak salah ingat, terakhir kali ia berlibur ke rumah Philip dan Joan, setelah lulus kuliah. Namun, untungnya ia tetap bisa mengingat dengan baik jalan menuju ke sana.

Dylan berdiri di depan sebuah rumah tua yang terbuat dari kayu. Tampak sederhana, tetapi terasa hangat. Di bagian pintu dan jendela sudah terdapat beberapa hiasan Natal. Laki-laki itu menarik napas panjang, seolah sang udara bisa menambah kadar keberaniannya untuk menaiki beberapa anak tangga, kemudian mengetuk pintu tersebut.

Terdengar langkah kaki berlari kecil dari dalam. Tak lama kemudian, tirai yang menutupi jendela tersibak, menampilkan wajah orang yang sudah lama tidak ia lihat. Tubuh mereka membatu, bersamaan dengan tatapan yang bertemu.

Meski terhalang oleh kaca bening, jantung Dylan tetap berdebar kencang. Reaksi yang selalu terjadi setiap Anna berada di dekatnya. Dengan kaku, ia berusaha menarik sudut bibirnya sehingga senyumnya terkesan patah-patah.

Sepasang mata hijau itu mengerjap. “A-apa yang kau lakukan di sini?” tanya Anna, sama sekali tidak berpikir bahwa tamu yang datang adalah Dylan.

Suara lembut Anna sedikit meredam akibat terhalang jendela. Namun, itu cukup menyegarkan telinga Dylan yang merindukan suara gadis itu. “Kau tidak mau membukakan pintu untukku?”

Gadis itu baru sadar akan apa yang ia lakukan. Tergesa, ia memutar kunci, lalu membuka pintu dengan gerakan lambat. “Kenapa kau ada di sini?”

Ia memandangi Anna selama beberapa saat, lalu, “Ada makanan di rumahmu? Kebetulan, aku belum makan.” Dylan menepuk perutnya beberapa kali.

Mata Anna otomatis menyipit mendengar jawaban laki-laki itu, di luar dugaannya.

“Siapa di luar, Ann?” seru Joan dari dalam. Belum sempat Anna menjawab, wanita itu sudah menyusulnya di ambang pintu. “Dylan?”

“Halo, Bibi,” sapa laki-laki itu ramah.

“Kenapa tidak ajak Dylan masuk, Ann?”

“Tidak usah, Bu. Dia hanya mau menumpang makan. Dia laki-laki dewasa, seharusnya bisa mencari makan sendiri,” sahut Anna sebal.

Joan tergelak, sementara Dylan mengulum senyum. Laki-laki itu sempat mengedipkan sebelah mata pada Anna ketika tangannya ditarik Joan untuk segera masuk ke dalam, yang kemudian dibalas gadis itu dengan cibiran sambil melempar tatapan sinis.

Anna duduk bersedekap di hadapan Dylan yang tampak sangat menikmati hidangan yang disajikan ibunya. Laki-laki itu juga sesekali tertawa menanggapi lelucon dari Philip atau Joan yang duduk di kiri-kanannya. Pemandangan di hadapan Anna seperti orangtua sedang menyambut kepulangan anaknya yang sudah bertahun-tahun merantau.

Dengkusan pelan keluar dari bibir Anna. Kalau saja Dylan mengatakan hal-hal menyentuh perihal kedatangannya yang tiba-tiba, sangat mungkin gadis itu akan segera berlari untuk memeluknya. Namun, si bodoh ini justru menanyakan makanan.

“Kenapa? Sudah lama tidak melihat wajah tampan ini?” tanya Dylan tiba-tiba, membuat Anna memalingkan wajah.

“Apa karena sudah lama tidak bertemu, laki-laki ini jadi gila?” Gadis itu menggumam pelan.

Dylan berhenti mengunyah. “Hei, aku bisa dengar, tahu?”

“Habiskan saja makananmu, tidak perlu memedulikanku,” sahut Anna sambil mengibaskan tangan.

“Kalian ini, baru bertemu sudah bertengkar. Dylan, coba cicipi ini. Bibi membelinya tadi pagi.” Joan menengahi, kemudian memutus perdebatan mereka dengan menawarkan beberapa kue kepada Dylan.

“Terima kasih, Bibi,” jawabnya dengan senyum sumringah. Satu hal yang ia suka ketika bersama keluarga Anna, ia masih bisa merasakan kasih sayang seorang ibu dan ayah lewat Joan dan Philip, meskipun mereka tidak ada ikatan darah.

“Ibu tidak menawariku?” gerutu Anna seperti anak kecil.

Wanita itu tertawa kecil sebelum menjawab, “Kenapa kau jadi manja begini?”

“Apa karena sudah lama tidak bertemu, gadis ini jadi manja?” timpal Dylan membalas perkataan Anna.

Gadis itu melotot ke arahnya, membuat Dylan terbahak. Ah, tawa itu. Kapan terakhir kali Anna mendengarnya? Mau tak mau, ia ikut tersenyum. Entah karena tawa itu menular, atau karena ia merasa senang bisa mendengar tawa laki-laki itu.

Hal tersebut hanya terjadi beberapa detik. Tawa Dylan mereda. Senyum Anna memudar. Yang tersisa saat ini hanya dua pasang mata saling bicara. Kata-kata tidak terucap, perasaan terpendam, rindu yang menggunung, semuanya mengalir melalui tatapan dua orang yang dibodohi oleh cinta. Karena, di antara miliaran orang di bumi, hanya Dylan dan Anna yang tidak tahu bahwa mereka saling mencintai.

Let a Good Thing Die [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang