17. Dia Tahu

117 22 0
                                    

Jam yang melingkar di tangan Dylan menunjukkan pukul sepuluh ketika Nick mengantarnya pulang setelah sarapan bersama. Masih terlalu pagi untuk langsung menuju apartemennya. Lagipula, apa yang akan ia lakukan? Tidak mungkin ia akan melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu oleh kedatangan Nick secara tiba-tiba, karena matanya sangat segar sekarang. Mungkin lebih baik ia ke tempat Anna saja, siapa tahu gadis itu punya ide bagus untuk mengisi akhir pekan mereka.

Laki-laki itu menekan bel apartemen Anna sebanyak dua kali sebelum pintu terbuka. Namun, bukan wajah Anna yang ia temui di belakang pintu, melainkan Joan, ibu Anna. Dylan membungkuk sopan sambil menyapa, "Selamat pagi, Bibi. Apa kabar? Aku tidak tahu Bibi sedang di sini."

Joan tersenyum hangat. "Kabar Bibi sangat baik. Bagaimana denganmu?"

Belum sempat Dylan menjawab, terdengar suara berat dari dalam apartemen, "Dylan, lama tidak bertemu denganmu, Nak." Suara itu semakin dekat dan wajah Phillip pun muncul. "Ayo, masuk! Kenapa mengobrol di luar?"

Dylan duduk berhadapan dengan Philip di meja makan berbasa-basi sebentar, sementara Joan membuat teh untuk mereka berdua.

Kemudian, laki-laki itu bertanya, "Paman dan Bibi sudah lama berada di sini?"

"Baru tiga hari. Ann tidak memberitahumu?" jawab Joan sambil membawakan teh yang telah diseduhnya dan siap dihidangkan.

"Dia tidak mengatakan apa-apa."

"Anak itu mungkin masih marah padaku, makanya dia tidak mau kau bertemu dengan kami," ucap Philip dengan nada lelah.

"Kalian bertengkar?"

Philip mengangguk lemah. "Kami sedang mengatur perjodohan antara Ann dengan putra dari sahabat dekatku. Ann sama sekali tidak suka gagasan itu."

Dylan cukup terkejut mendengar pernyataan Philip. Anna sama sekali tidak pernah bicara padanya tentang perjodohan yang sedang dibahas saat ini. Padahal gadis itu selalu bercerita apapun padanya tanpa ada yang ditutupi. Namun, untuk kali ini ia justru mendengar dari ayahnya, bukan Anna sendiri.

Philip memandangi anak laki-laki yang sudah dianggapnya sebagai anak kandung itu cukup lama dengan tatapan yang tidak dapat Dylan artikan. "Apa kau bisa membantuku?"

"Bantu apa?"

"Tolong bujuk anak itu untuk memenuhi permintaanku kali ini. Mungkin dia lebih mau mendengarmu."

Tidak langsung menyanggupi permohonan Philip, laki-laki itu tampak berpikir sesaat. "Anna tidak pernah menyinggung soal ini. Aku tidak yakin dia mau mendengar pendapatku."

Dylan tidak mengerti apa alasan Anna menyembunyikan hal perjodohan itu darinya. Ia sudah berusaha memancing agar Anna mau bercerita, ketika mereka sedang duduk di pinggir sungai tepat setelah Dylan bertemu Philip dan Joan. Namun, gadis itu memilih bungkam dan mengalihkan pembicaraan.

Padahal masalah ini cukup mengganggu pikiran gadis itu. Mereka sudah sangat lama mengenal satu sama lain. Dylan tidak butuh banyak teori untuk mencari tahu alasan dibalik anehnya sikap Anna belakangan ini. Anna yang mendadak tidak bisa dihubungi selama berhari-hari. Anna yang sering mencuri waktu untuk merenung di sela-sela perjalanan mereka. Anna yang semalam melihatnya dengan tatapan kosong setelah menerima telepon dari Philip. Anna yang sekarang entah berada di mana, meninggalkan ponselnya, dan membuat Dylan khawatir bukan main.

Semakin bertambahnya waktu, semakin bertambah pula rasa cemas menggerogoti hati Dylan. Kepalanya berputar cepat, matanya setajam elang untuk mencari gadis itu. Peluh yang mulai membasahi kepalanya, tidak lagi ia hiraukan. Suaranya hampir serak karena tidak berhenti menyerukan nama Anna, meski dibantu oleh Alexa.

Let a Good Thing Die [END]Where stories live. Discover now