3. Sogokan

270 49 3
                                    

Selesai mematut dirinya di depan cermin, Anna mengambil jaket di lemari, lalu memakainya. Meski di luar sedang hujan rintik-rintik, tetapi hal itu sama sekali tidak menghentikan niatnya untuk pergi ke kafe yang akan dijadikannya tempat bekerja sementara. Ia memasukkan tabletnya ke dalam tas dan bergegas keluar kamar.

"Mau ke mana Ann?" tanya Joan, ibu Anna, ketika sedang menikmati risotto buatannya sendiri, bersama dengan sang suami, Philip.

"Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan," jawabnya sambil mengambil sepatu di rak dengan tergesa.

"Pulang jam berapa?" tanya Joan lagi.

"Belum tahu."

"Kami sengaja mengunjungimu ke sini, tapi ternyata kau jarang di rumah." Kali ini, ayahnya yang bicara. Raut wajahnya menyiratkan kekecewaan.

"Aku kira Ayah sudah tahu alasannya," ucap Anna tanpa melihat ke arah sang ayah sama sekali. Sahutan yang bahkan lebih dingin dari es itu cukup membuat Philip tak melanjutkan pembicaraan lagi.

Suasana tegang selama beberapa detik diputus oleh Joan. "Kau tidak makan dulu sebelum pergi? Ibu sudah membuatkan risotto kesukaanmu."

Risotto ibunya memang paling enak dari risotto mana pun. Ia selalu menjadi orang yang makan dengan lahap setiap kali ibunya membuatkan makanan khas Italia itu, apalagi jika perutnya sedang kosong seperti sekarang. Namun, ia sedang malas duduk semeja dengan ayahnya.

"Tidak. Aku sedang buru-buru." Anna sudah siap pergi, ketika langkahnya dihentikan oleh Joan.

"Ann, tunggu sebentar."

Anna menurut dan berbalik badan. Ia melihat ibunya membuka lemari dapur dan mengeluarkan dua kotak makan, kemudian mengisinya dengan makanan favorit putrinya.

"Bawa ini. Satu untukmu, satunya lagi untuk Dylan. Mampirlah ke tempatnya sebelum kau pergi." Joan mengulurkan kedua kotak makan itu dengan senyuman tulus. Ia mengerti hubungan antara Anna dan Philip sedikit bermasalah. Maka, ia tidak mau bersikap seolah memihak ke salah satunya. Bagaimana pun, mereka tetap suami dan anaknya.

Gadis itu menyambutnya. "Terima kasih, Bu," ucapnya dengan senyum tipis, lalu berpamitan pergi.

Sambil menenteng bekal dari ibunya, Anna menyusuri lorong apartemen Dylan yang berada satu lantai di bawah. Beberapa hari terakhir, ia mengabaikan seluruh pesan dan telepon dari laki-laki itu. Isi kepalanya rumit. Benar, ada satu hal yang membuat hubungan antara ia dan sang ayah menjadi lebih renggang dari sebelumnya. Hal tersebut cukup mengusik perasaannya terhadap Dylan, yang selama ini tersimpan rapi tanpa sepengetahuan orang lain, apalagi yang bersangkutan. Makanya, ia menghindari laki-laki itu.

Gadis itu menekan bel dua kali, selalu begitu setiap kali datang ke tempat Dylan. Laki-laki itu pun sudah hafal siapa tamu yang datang, tanpa mengintip dari lubang pintu.

"Siapa kau?" Dylan muncul di balik pintu dengan ekspresi datar. Laki-laki itu merajuk.

"Kurir yang membawakanmu makanan dari Nyonya Brunner," jawab Anna sambil mengayunkan satu kotak makan di hadapan Dylan.

Dylan meraih benda itu dengan cepat, lalu berkata, "Terima kasih. Sekarang kau boleh pergi."

Laki-laki itu benar-benar merajuk karena setelah berkata seperti itu, ia segera menutup pintu, yang kemudian ditahan oleh Anna.

"Tunggu."

Pintu kembali dibukakan oleh Dylan. Ia memandang gadis di hadapannya dengan tajam, menunggu sepatah-dua patah kata meluncur dari mulutnya.

"Bolehkah aku menumpang bekerja di apartemenmu?"

"Aku tidak menerima orang asing masuk ke sini."

"Kau marah padaku?"

Let a Good Thing Die [END]Where stories live. Discover now