4. Kota Pertama, Zurich

230 48 2
                                    

Kedatangan Dylan dan Anna di kota Zurich, disambut oleh hujan rintik-rintik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kedatangan Dylan dan Anna di kota Zurich, disambut oleh hujan rintik-rintik. Langit mendung, jalanan basah, serta beberapa pejalan kaki yang memakai payung, seakan menambah nuansa sendu di pagi hari. Pepohonan yang tumbuh di pinggir sungai Limmat mulai berwarna kuning kemerahan, tanda musim gugur akan segera datang.

Prosesi foto akan dilakukan hari ini. Sepupu Nick dan pasangannya sengaja memilih cuaca seperti ini untuk mengusung konsep foto yang syahdu. Maka, dengan cuaca kota seperti ini, tentu mendukung rencana mereka.

Dylan dan Anna meletakkan barang bawaan di hotel yang telah dipesankan untuk mereka. Setelah itu, mereka akan bertemu dengan Nick, sepupu Nick serta pasangannya di tempat yang sudah dijanjikan.

Nick melambaikan tangan dengan heboh begitu melihat Dylan berjalan ke arahnya. Detik berikutnya, ia tertegun ketika matanya berpindah pada seorang gadis yang berjalan di sebelah sahabatnya.

"Halo, apa kabar?" tanya Dylan ramah pada semua orang di sana.

"Ah, ini sepupuku, Mike, dan tunangannya, Daisy. Aku tahu, kalian sudah sering berkomunikasi, tetapi belum pernah bertemu secara langsung, bukan?" Nick memperkenalkan mereka satu per satu, yang kemudian saling bertukar jabat tangan. Lalu, Nick memperkenalkan satu orang lagi. "Dan ini Alexa, adik Mike. Aku dan Alexa akan mengurus pakaian yang akan dikenakan di setiap sesi foto. Kalian juga sudah saling mengenal 'kan?"

"Ya, kami cukup sering bertukar pesan beberapa hari ini. Senang bertemu denganmu, Dylan," sahut Alexa.

Anna melirik sahabatnya sekilas. Laki-laki itu tidak pernah bercerita tentang perempuan yang sering bertukar pesan dengannya, yang sekarang sedang menatap Dylan dengan penuh minat. Sesama perempuan pasti tahu arti tatapannya.

"Aku juga," sahut Dylan dengan wajah sumringah, membuat gadis itu harus menahan diri untuk tidak memutar bola matanya. Kalau boleh jujur, ia selalu merasa cemas tiap kali ada yang tertarik pada sahabatnya itu. Di depan Dylan, ia memang mendukung laki-laki itu menjalin hubungan serius dengan perempuan. Padahal dalam hati, ia dongkol setengah mati. Untung saja, selama mengenal Dylan, laki-laki itu belum pernah mempunyai kekasih. Kalau hal itu terjadi, entah bagaimana bentuk hati Anna.

Ia juga tidak bisa mengaku begitu saja tentang perasaannya. Persahabatan yang dibumbui rasa cinta adalah suatu hal yang pelik. Jika tidak berjalan lancar, maka seseorang akan kehilangan segalanya, cinta dan sahabat. Anna belum siap menerima konsekuensinya.

Sementara itu, Dylan yang melihat Nick memandang Anna cukup lama, seakan tersadar, "Oh, ya, ini Anna, temanku yang akan membantu selama prosesi pemotretan."

Anna. Nama yang cantik, secantik orangnya. Nick langsung mengulurkan tangan, tanpa melepas pandangannya pada si pemilik mata hijau. "Nicholas Müller, tapi panggil Nick saja."

"Anna Brunner." Gadis itu balas menjabat tangan, lantas melakukan hal yang sama pada Mike, Daisy, juga Alexa.

Dengan berakhirnya sesi perkenalan tersebut, mereka langsung menuju lokasi yang akan telah dipilih untuk pengambilan foto pertama, Fraumünster Church. Dari tempat mereka bertemu sampai menuju gereja tersebut membutuhkan waktu sekitar lima belas menit jika ditempuh dengan berjalan kaki. Selama itu juga, Dylan langsung siap dengan kameranya, untuk mengabadikan foto pada momen yang tepat. Bukan hanya Mike dan Daisy, terkadang ia juga berbaik hati mengambil foto Anna, Nick, juga Alexa, baik sadar maupun tidak sadar kamera.

 Bukan hanya Mike dan Daisy, terkadang ia juga berbaik hati mengambil foto Anna, Nick, juga Alexa, baik sadar maupun tidak sadar kamera

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Anna juga memegang sebuah kamera, tetapi untuk merekam potongan video yang kemudian akan dikompilasi.

"Aku dengar, kau seorang ilustrator." Nick menyela kesibukan Anna.

Gadis itu menurunkan kamera dari hadapannya dan menoleh kepada Nick. "Benar," sahut Anna ringan. "Kalau kau butuh jasa ilustrasi, hubungi aku. Akan kuberikan harga khusus untukmu."

Nick tertawa kecil. "Tidak perlu, karena aku bisa membuatnya sendiri." Kemudian, dengan memasang gestur berbisik, ia bercanda, "Ilustrasiku mungkin sedikit lebih bagus daripada buatanmu."

Mata Anna otomatis membola mendengar jawaban Nick. "Kau juga seorang ilustrator?" tanyanya antusias.

"Bisa dibilang begitu."

Sekarang, Anna terkesiap kagum sambil menutup mulutnya. "Wah! Aku tidak pernah mengira akan mempunyai teman seorang ilustrator juga."

Nick mengeluarkan sebelah tangan dari saku jaket, menunjuk dirinya dan Anna bergantian. "Kita, teman?"

"Tentu saja. Kau teman Dylan, artinya kau temanku juga."

Mendengar kata-kata itu disampaikan dengan suara riang, membuat hati Nick terasa hangat. Sejak tadi, matanya tidak lepas mengamati gerak-gerik Anna. Bukan hanya wajahnya yang menarik, tingkahnya juga. Ia terlihat begitu semangat mengikuti sesi foto ini padahal bukan bidang pekerjaan utamanya. Bahkan Dylan yang sang fotografer pun kalah semangatnya. Gadis itu tidak banyak bicara, hanya fokus mengerjakan tugasnya. Namun, jika diajak ngobrol, ternyata ia adalah seorang yang ramah.

"Kau ilustrator yang terikat kontrak kerja atau hanya menerima pesanan seperti aku?" tanya Anna ingin tahu lebih banyak, setelah selesai mengambil video Mike dan Daisy yang sedang berjalan sambil berpegangan tangan, dari belakang.

"Dua-duanya. Meskipun aku hanya sesekali menerima pesanan di luar pekerjaan karena pekerjaanku sendiri lumayan banyak."

Anna mengangguk-angguk. "Kau bekerja di mana?"

"Reddeer. Pernah dengar?"

Jawaban Nick kembali membuatnya terdiam. Siapa yang tidak tahu Reddeer? Ia yakin seluruh anak-anak di negeri ini mengisi masa kecil mereka dengan bacaan dari salah satu kantor penerbit terbesar di Swiss. Buku majalah, dongeng, dan kreativitas anak yang dipublikasi secara fisik maupun digital, berasal dari Reddeer. Anna, seorang gadis berusia akhir dua puluhan pun masih suka mengisi waktu luangnya dengan membaca majalah digital di situs Reddeer.

Selain menyukai konten yang dimuat, ia juga suka memperhatikan beberapa ilustrasi di sana. Maka, dengan hati-hati, ia bertanya, "Ya, dan nama pena milikmu adalah?"

"N-i-c dot e."

Nic.e? "Tidak mungkin," gumam Anna sambil terperangah.

"Kenapa?"

Anna mengerjapkan mata beberapa kali. Ia juga tampak kesulitan berkata-kata. Ia membuka mulutnya, tetapi menutupnya kembali. Lidahnya mendadak kelu. Bagaimana tidak? Ia selalu mengagumi karya Nic.e di laman Reddeer. Menurutnya, hasil tangan Nic.e memiliki ciri khas tersendiri yang tak dimiliki ilustrator lain. Nic.e bisa menggambar bentuk apapun, dan dapat tetap dikenali bahwa itu memang hasil karyanya. Gambar yang hidup, pemilihan warna yang tepat. Karya Nic.e seperti punya sihir tersendiri bagi Anna karena gadis itu akan dengan senang hati berlama-lama menatap hasil ilustrasinya.

Lantas, orang yang ia idolakan sekarang sedang berdiri di hadapannya, menatapnya dengan heran, dan itu membuat Anna makin salah tingkah. "A-aku... Aku tidak tahu harus berkata apa. Kau benar-benar adalah Nic.e?"

"Ya. Kenapa?" tanya Nick lagi.

"Tidak apa-apa. Aku... aku adalah pengagum karyamu. Sungguh, dan sekarang aku merasa gugup karena bertemu orang di balik nama Nic.e secara langsung seperti ini. Aku... ah, aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa."

Melihat Anna yang gelagapan, membuat Nick tertawa geli. Baru kali ini ada orang yang mengaku menjadi penggemarnya. Padahal, yang ia hanya mengerjakan hobi yang kebetulan dibayar. Tidak pernah terlintas di dalam benaknya bahwa karya-karya itu akan meninggalkan kesan tersendiri bagi pembaca. Maka, pengakuan gadis itu cukup membuatnya senang.

"Terima kasih. Aku jadi tersanjung mendengarnya. Kapan-kapan, ayo kita berkolaborasi."

Let a Good Thing Die [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang