51. Bak Pinang Dibelah 2

13.3K 1.3K 104
                                    

"Sakit?" Tanya Shana seraya mengoleskan salep pada lengan Seno yang memar.

"Nggak terlalu." Seno ikut memperhatikan gerak tangan istrinya yang penuh kehati-hatian saat mengoleskan salep di tangannya.

Mereka hanya berdua di kamar Shana. Rini sengaja membawa serta Nona untuk tidur bersamanya, bermaksud memberi waktu pada Shana dan Seno menyelesaikan permasalahan mereka.

"Kakinya Mas," pinta Shana membantu Seno yang sedikit kesulitan menaikkan kakinya ke atas ranjang. Ada luka memar lain di bawah lutut Seno. "Besok mungkin bakal agak terganggu jalannya karena nyeri." Shana ikut meringis melihat memar yang ada pada kaki Seno, yang ini lebih parah dari yang ada di tangannya.

Tadi mereka sudah sempat pergi ke klinik untuk memeriksakan kondisi Seno, dokter kemudian mengizinkan Seno pulang karena dari hasil pemeriksaan tidak ada cedera serius.

"Makasih ya Shan."

Shana hanya menjawab dengan deheman, kemudian menyimpan kembali salep milik suaminya di nakas.

"Maaf kalau apa yang dulu pernah Mas perbuat ke kamu dan Nona menimbulkan trauma buat kamu, Mas nggak sedang pura-pura Shan. Mas sayang sama Nona, Mas nggak mungkin ada niat buat celakain Nona." Lirih Seno, dadanya ikut sesak mengingat tuduhan yang Shana tujukan padanya tadi.

Ia menyadari akan dosa yang pernah ia lakukan. Tapi saat ini, sama sekali sudah tidak ada rasa benci untuk Nona. Hanya ada rasa sayang untuk anaknya, tapi di satu sisi Seno bisa mengerti ketakutkan Shana. Walau tetap saja, perih sekali mendengar tuduhan demikian.

"Mas sudah jalan pelan-pelan sekali, Di pinggir juga. Jalanan juga sepi, Mas nggak nyangka ditabrak tiba-tiba seperti itu. Mas juga sama shock nya Shan, tangan Mas sampai gemetaran waktu mau meraih tubuh Nona yang menangis kencang. Mas takut Shan, Mas takut Nona kenapa-kenapa."

Shana memejamkan matanya, menarik nafas dalam-dalam lalu meraih Seno yang terlihat putus asa dalam pelukannya. Ia mengelus punggung Seno yang bergetar karena menangis.

"Sssh iya aku juga minta maaf karena udah nuduh Mas." Shana melonggarkan pelukannya, meraih wajah Seno dengan kedua telapak tangannya lalu menghapus air matanyq yang berjatuhan. "Aku percaya kok Mas sayang sama Nona,"

"Sama kamu juga." Potong Seno cepat.

Shana terkekeh mendengar bagaimana Seno dengan cepat menyambung kalimatnya. Tangannya masih bertahan di pipi pria itu, mengelus lembut pipi yang terlihat tirus belakangan ini. Belum lagi kantung mata pria itu yang menggambarkan bagaimana lelahnya Seno belakangan ini.

"Dah tidur sana, udah malem."

Bukannya menurut, Seno malah menggeleng. Ia masih belum puas memandangi istrinya sedekat ini.

"Apaan natapnya gitu amat!" Shana menutup kedua mata Seno yang sejak tadi tidak berhenti menatapnya.

"Cantik sekali istrinya siapa sih." Goda Seno mengulum senyumnya.

Sudah bisa ditebak reaksi yang diberikan Shana, tersipu malu seraya mengibaskan rambutnya.

"Mama nya Nona ya, cantik sekali." Puji Seno lagi, memajukan kepalanya untuk bisa mengecup pipi Shana yang tersipu malu-malu.

"Cantikkan aku apa Nona?" Tanya Shana tiba-tiba berhasil membuat Seno sedikit gelagapan.

Apakah ini pertanyakan jebakan?

"Cantikkan Mamanya, kan cetakannya dari Mamanya."

"Aaah bohong banget, pintar banget ini gombalnya." Ia menepuk bibir Seno yang tersungging senyuman. "Udah tidur sanaaaa." Perintah Shana lagi karena sudah tidak tahan sejak tadi ditatap sedemikian rupa.

ADVOKASI Место, где живут истории. Откройте их для себя