42. Bukan Prioritas

10.8K 1.2K 75
                                    

Sembilan bulan berlalu dengan cepat. Shana tidak merasakan banyak perubahan pada dirinya kecuali perutnya yang mblendung. Keseluruhan hormon ekstrim kehamilan diambil oleh suaminya tersayang. Seno yang pada akhirnya menjadi korban atas kehadiran anggota baru keluarga mereka. Seno yang ingin makan ini itu, Seno yang uring-uringan tidak jelas, juga Seno yang bertingkah bak anak kucing yang akan mengeong kencang bilamana induknya jauh darinya.

Terpaksa, dengan perutnya yang semakin membesar Shana harus menemani suaminya kesana kemari. Baru mungkin di kehamilan akhir 8 bulanan, pria itu mulai prihatin dengan kondisi tubuh istrinya dan membiarkan Shana tinggal di rumah.

Sendranaya Eleona Aryaseno Sastrohardjono

Nama yang mereka-lebih tepatnya Shana pilih atas persetujuan suaminya.

Bayi perempuan yang Shana lahirkan secara normal setelah melewati proses pembukaan yang luar biasa sakitnya. Sampai ia berucap bahwa ini akan menjadi lahiran pertama dan terakhir kalinya. Sungguh Shana tidak ingin merasakan hal yang sama untuk kedua kalinya.

Tapi setelah mendengar tangisan bayi di ruang bersalin, lalu pertama kalinya dia melihat wajah anaknya, Shana benar-benar dibuat takjub. Ia tidak percaya bahwa akhirnya dirinya bisa melihat wujud dari janin yang ia kandung selama 9 bulan lebih, yang dia bawa kemanapun dia pergi.

Shana tidak berhenti mengucap syukur. Janin yang dahulu selalu ia ajak bicara sebelum tidur, kini sudah hadir sebagai wujud bayi yang bisa ia sentuh tanpa terhalang oleh lapisan kulit.

Anaknya, Eleona yang manis.

Awal Eleona lahir, semua orang sepakat bayi itu menduplikat wajah Shana. Rini yang paling bersemangat, menyebut Eleona tidak ubahnya seperti Shanaya Mahika bayi.

Baru sebentar Shana merasa bangga, disaat kebanyakan orang berkata anak perempuan akan mewarisi rupa Papanya, Eleona malah menyerupai wajahnya. Baru sebentar rasanya, saat bayi Eleona mereka bawa pulang ke rumah dan... oh tidak wajahnya sudah berubah.

Benar ternyata, wajah bayi itu berubah-ubah. Baru lahir saja rupanya seperti Shana, sekarang justru Eleona seolah ingin menunjukkan bahwa dia adalah anak Bhakti Aryaseno.

Lihat bentuk bibirnya, hidungnya, matanya, bulu matanya, bentuk wajahnya semua milik Seno!

Shana hanya kebagian satu bagian dari wajah Eleona yang serupa dengannya, alisnya. Hal yang mungkin patut disyukuri, Eleona tidak mewarisi alis milik Papanya yang sering Shana sebut mirip Angry bird ketika pria itu marah.

"Takut banget ya kamu nggak diakuin anaknya Papa Seno sampai wajahnya mau plek ketiplek banget." Shana terkagum-kagum memandangi wajah anaknya yang sedang menyusu. "Semoga nggak suka marah-marah kaya Papa ya nak?" Candanya mengecup pipi Eleona yang kemerahan.

Seno menawarkan agar mereka menggunakan jasa baby sitter, tapi Shana menolaknya. Bukan apa-apa, Shana tidak sedang bekerja ataupun berkuliah, dia tidak mempunyai kegiatan apapun dan berpikir satu-satunya kegiatan yang bisa dia lakukan saat ini adalah merawat bayinya dengan tangannya sendiri.

Sebagai ganti, kini mereka mempekerjakan seorang asisten rumah tangga yang akan membantu Shana untuk mengurus keperluan rumah mereka. Namanya Bi Dyah, seorang wanita paruh baya yang  kini mengambil alih urusan rumah.

Minggu awal setelah mereka kembali ke rumah, Rini memutuskan menetap untuk membantu dan mengajari Shana merawat bayinya. Seno tidak dapat cuti sama sekali, pria itu tidak bisa diandalkan sama sekali untuk merawat anaknya.

Setelah memastikan Shana bisa mengurus Eleona seorang diri, baru Rini memutuskan untuk pulang.

"Duuuh lihat tidurnya, mangapnya persis banget Papa. Nak iya semua orang tahu kok kamu anaknya Papa Seno, udah cukup wajahnya aja yang mirip. Tingkah lakunya jangan ikut-ikutan kamu duplikat dong." Kekeh Shana setelah menidurkan Eleona yang kekenyangan ASI.

ADVOKASI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang