28. Pertengkaran

12.8K 1K 72
                                    

Seno tidak datang menemuinya setelah itu.

Tidak juga mengiriminya pesan apapun.

Shana harusnya sudah hafal akan tabiat Seno yang satu itu, pria itu keras kepalanya melebihi batu. Kalau A ya A.

Bahkan hingga hari itu tiba, saat Shana maju untuk seminar hasil. Mereka kembali berada di ruangan yang sama setelah semingguan ini saling menjauhi. Seperti orang asing, tidak sekalipun Shana melihat Seno menatap ke arahnya, meski saat Shana mempresentasikan hasil penelitiannya.

Pria itu sibuk mencoret-coret lembar skripsi di depannya. Juga membiarkan Shana menghadapi pertanyaan demi pertanyaan dari para penguji seorang diri, tanpa ada niat membantu sekali. Bahkan ketika Shana sudah ada diujung tanduk, Seno sama sekali tidak mengeluarkan pembelaan apapun.

"Jadi Bagaimana Bu, apa saudari Shanaya Mahika ini harus mengulang seminar hasilnya?" Perkataan itu bagai anak panah, apalagi diucapkan langsung oleh Seno yang harusnya berdiri untuk membelanya bukan malah menjatuhkan sedemikian rupa.

Kalau diingat-ingat, beberapa waktu lalu, Seno yang memintanya untuk menyelesaikan skripsi dan maju sidang lebih cepat agar mereka bisa menikah.

Tapi lihat sekarang, dengan kejamnya pria itu berkata demikian.

"Sebenarnya Mbak Shana bisa menjawab beberapa dengan baik, tapi ada juga yang kurang dipahami. Saya serahkan ke Pak Seno saja pembimbingnya, mau bagaimana." Pak Zafran menyerahkan semua keputusan pada Seno, begitupun Bu Widya yang hanya diam. "Pak Seno yang lebih memahami bimbingannya." Sambung pria itu.

Seno manggut-manggut, menutup kembali lembaran skripsi di tangannya. Dan untuk kali pertama, pria itu melabuhkan tatapan tajamnya ke arah Shana yang sudah hampir menangis.

"Ya sudah, saya rasa Mbak Shana memang belum begitu memahami skripsinya. Silahkan mencari waktu lain untuk mengajukan seminar hasil ulang, juga sekaligus merevisi kesalahan-kesalahan yang ada."

Selesai.

"Sebenarnya, saya rasa tidak perlu mengulang. Hanya perlu diperbaiki beberapanya. Tapi keputusan ada di Pak Seno, Mbak Shana semangat ya?" Pak Zafran berbaik hati melapangkan dadanya.

Sementara Seno, orang yang pernah sebegitu dekat dengannya, sibuk sendiri merapikan barang-barangnya. Lalu menjadi orang pertama yang meninggalkan ruangan.

"Nanti hubungi saya langsung ya kalau sudah siap lagi, kalau bisa minggu depan ya Mbak?" Bu Widya mendekat, mengelus bahu Shana untuk menguatkan.

Shana mencoba menahan tangisnya, akan sangat memalukan kalau ia menangis di depan dosen-dosennya. Maka setelah Seno, Pak Zafran, Bu Widya keluar ruangan, Shana juga bergegas membereskan barang-barangnya. Ia bahkan mengabaikan Adrian, Alya, dan Ajeng yang sudah menunggu di depan ruangan seraya memegang bucket snack disertai senyuman mereka juga Shana abaikan.

"Shan? Loh loh Shan!" Panggil Adrian karena merasa ada yang tidak beres. Ia mengejar Shana yang berjalan dengan cepatnya. "Kenapa?" Tanyanya setelah berhasil menyamai langkah Shana.

"Ngulang." Kekeh Shana walau matanya mulai berair. "Aku pulang dulu ya." Pamit Shana menepuk singkat bahu Adrian lalu kembali melanjutkan langkahnya.

Adrian masih mematung di tempatnya, masih menganggap Shana sedang bercanda dengannya.

Sementara Shana sudah menghilang, menuju parkiran.

***

Rini sudah curiga saat melihat anak sulungnya tidak juga keluar kamar sejak pulang dari kampus. Tapi ia sengaja membiarkan Shana menyendiri dahulu, enggan menanyai lebih lanjut apa yang terjadi. Yang jelas, sesuatu yang buruk telah terjadi.

ADVOKASI Where stories live. Discover now