21. Keusilan Kecil

14.4K 1.2K 28
                                    

Kapan ya terakhir kali Shana menyebut kata 'ayah'?

Dirinya bahkan sudah mulai melupakan hal itu.

Shana lupa bagaimana sensasinya memanggil 'ayah', dan bagaimana rasanya disayang oleh seorang pria sebegitu dalamnya.

Benarkan? Bukannya seorang ayah biasanya akan mencintai anak-anaknya dengan segenap jiwa raga?

Banyak ayah di luar sana yang bahkan rela mati untuk anak-anaknya. Sayangnya itu bukan ayahnya.

Dalam pejamnya, Shana mulai memikirkan perkataan Seno beberapa waktu ini. Bahwa sudah seharusnya Shana dan Septian mengizinkan Ibu mereka bahagia juga. Bahwa mereka harus mengikhlaskan, Rini mendapat sandaran hidup barunya.

Tapi apa dengan membiarkan Ibunya menikah dengan Haji Iswan akan membuat wanita itu bahagia?

Bagaimana kalau Haji Iswan juga akan meninggalkan Ibu sebagaimana Ayahnya meninggalkan Ibu dulu?

Shana membuka matanya kembali, dia hanya terpejam sejenak tadi. Mungkin karena hawa sejuk dari kertas yang ia gunakan untuk mengipasi Seno yang kini malah meletakkan kepalanya di pangkuan Shana. Shana terkekeh pelan, Bhakti Aryaseno mode clingy selalu menjadi kesukaannya. Tidak ada wajah galak dengan alis menungkik tajam.

Perlahan ia bergerak dengan amat hati-hati. Ini sudah lebih dari 30 menit, tapi Shana tidak tega membangunkan Seno. Pria itu masih tertidur dengan lelapnya. Dia berjalan mengendap-endap meninggalkan kamar yang pintunya memang sengaja mereka buka. Selain untuk berjaga-jaga ekhem agar tidak khilaf, juga berjaga-jaga bila terjadi sesuatu diluar. Maksudnya diantara Ibu dan Hajj Iswan.

"Mbak, ini Haji Iswan mau pamit." Ibunya cepat menyadari keberadaan Shana.

Shana ingin putar balik, tapi ia sudah kadung mendekat.

"Pak Haji," panggilnya pada pria yang sudah akan berdiri dari sofa. "Boleh kita bicara berdua?"

Lekungan senyum langsung tercipta di wajah pria 50 tahunan itu. Dia sudah menunggu lama momen ini. Setelah beberapa waktu ini, Shana terus-terusan menghindarinya.

"Boleh."

"Di belakang." Shana melangkahkan kakinya lebih dulu menuju halaman kecil di belakang rumahnya. Haji Iswan mengikuti di belakang.

Shana tidak tahu, keputusannya sudah benar atau belum. Dia mencerna baik-baik maksud ucapan Seno beberapa hari lalu. Yang ia yakini, Seno benar bahwa Ibunya juga berhak berbahagia setelah banting tulang menghidupi dirinya dan Septian.

"Pak Haji beneran cinta saya Ibu saya?" Tembaknya ketika Haji Iswan sudah duduk di sebelahnya.

Haji Iswan mengangguk mantap.

"Sudah berapa lama?"

"Dua bulan ini kami rutin bertukar pesan."

Entah Shana yang kurang peka atau bagaimana, dia sungguh tidak mengetahui Ibunya yang sedang dekat dengan seorang pria.

"Rencana Pak Haji setelah ini apa?" Shana akan mengamuk kalau sepasang wanita dan pria dewasa ini hanya ingin berpacaran seperti anak muda.

"Kalau kamu dan Septian sudah memberi restu, Insha Allah saya ingin menikahi Dik Rini."

Ucapan Haji Iswan terdengar sangat tulus. Seperti halnya bagaimana pria itu terkenal di kampungnya. Si saudagar yang tidak sombong.

"Saya sama Septian udah nggak punya siapa-siapa lagi kalau Ibu juga diambil Pak Haji–"

"Saya nggak ambil Ibu kamu, saya yang akan datang ke keluarga kalian." Potong Haji Iswan cepat.

Shana tergagap seketika. Bukannya setelah mereka–maksudnya Haji Iswan dan Ibunya menikah, artinya Ibunya akan ikut tinggal bersama Haji Iswan. Walau rumah Haji Iswan masih berada di lingkungan yang sama dengannya, tetap saja ia hanya akan tinggal berdua dengan Septian di rumah ini.

ADVOKASI Where stories live. Discover now