40. Awal Mula

12.1K 1.2K 57
                                    

Rasanya masih seperti mimpi bahwa kini dirinya benar-benar menyandang gelar Sarjana Pertanian. Gelar yang dulu untuk mendapatkannya saja Shana pernah hampir menyerah setelah dikerjai oleh dosen pembimbingnya sendiri yang kini malah menjadi suaminya. Hidup memang sebercanda itu ya?

Dosen pembimbing yang dahulu mempersulit dan membuat Shana misuh-misuh setiap harinya kini menjadi orang yang repot-repot mengantarkan Shana kesana kemari mempersiapkan wisudanya. Syukurnya, Seno menyambut hal itu dengan suka cita.

Pagi-pagi buta Seno sudah mengantar Shana ke salon yang sudah ia booking untuk make up. Tidak sekalipun Shana mendengar suaminya mengeluh walau harus memulai aktivitas dari jam setengah 5 subuh. Pria itu duduk anteng di kursi tunggu, sesekali mengoap dan sesekali mencuri-curi pandang pada cermin yang memperlihatkan sang istri yang sedang dirias.

Mereka akan sama-sama tersenyum saat tidak sengaja bertukar pandang melalui cermin, persis seperti anak muda yang sedang kasmaran.

"Selesai."

Shana mematut dirinya sekali lagi, merasa puas sekali dengan hasil riasannya.

Setelah mengucapkan basa-basi, mereka undur diri untuk segera menuju kampus. Bapak, Ibu dan Septian juga memberi kabar bahwa mereka sedang dalam perjalanan menuju kampus.

"Cantiknyaaaa." Puji Seno saat mereka sudah ada di dalam mobil. "Pangling saya tadi kirain ini bukan istri saya." Kekehnya.

"Ooh cantiknya cuma kalau full make up gini ya? Berarti hari-hari biasa itu nggak cantik?"

"Cantik terus lah." Cengir Seno mencari aman. "Apalagi kalau sedang-"

"Sssssstt dilarang bicara saru." Cegah Shana menutup mulut suaminya dengan telapak tangan. Ia sudah bisa menduga apa yang akan diucapkan oleh pria itu.

By the way, kuota 2 orang yang diperbolehkan masuk ke gedung wisuda akan diisi oleh Bapak dan Ibunya. Haji Iswan sudah menawarkan agar Seno saja yang masuk, tapi Seno menolak dengan alasan ia akan diluar saja menemani Septian. Shanapun menyetujui hal itu.

Meski seorang dosen, Seno tidak mempunyai undangan untuk bisa memasuki gedung wisuda yang memang terbatas untuk orang-orang tertentu saja. Hanya dosen-dosen dengan jabatan struktural yang menghadiri acara tersebut. Walau sebenarnya bisa saja Seno meminta undangan khusus pada panitia wisuda agar ia juga bisa masuk kesana, tapi Shana melarangnya.

Seusai Shana, Haji Iswan, dan Rini memasuki gedung wisuda, Seno mengajak Septian untuk menunggu di ruangannya yang ada di gedung rektorat yang lebih dekat dengan tempat pelaksanaan wisuda ketimbang ruangannya yang berada di fakultas.

Seno memiliki ruangannya sendiri di gedung rektorat karena dirinya merupakan salah satu dosen yang mendapat tugas di direktorat pengabdian masyarakat milik universitas. Sejatinya, ruangan ini jarang Seno tempati. Ia lebih suka ruangannya yang ada di fakultas.

"Foto Mbak Shana banget yaaa Mas." Goda Septian saat menemukan ada sebuah bingkai foto berisi potret Shana yang diletakkan di meja.

Seno terkekeh, dunia harus tahu sebucin apa Seno pada istrinya. "Biar semangat kerjanya, kalau lihat foto orang yang kita cinta itu bawaannya jadi pingin cepat-cepat selesaikan pekerjaan supaya bisa cepat pulang juga Sep."

Di ruangannya di fakultas pun juga ada foto Shana yang sengaja Seno pasang di meja kerjanya setelah mereka menikah. Seno merasa senang memandangi wajah istrinya lama-lama. Setiap kali dia merasa lelah dan ingin marah-marah, begitu melihat wajah istrinya yang tersenyum di foto tersebut maka semuanya akan padam. Berganti menjadi senyum orang yang sedang jatuh cinta.

Iya, cinta memang sedahsyat itu mengubah hidup seorang Bhakti Aryaseno sedrastis ini.

Seno dan Septian duduk di sofa, dengan laptop yang menampilkan live proses wisuda. Menunggu giliran Shana yang akan dipanggil.

ADVOKASI Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt