3. Mau Menyerah Saja

16K 1.3K 44
                                    

Semester sudah berganti begitu cepat, artinya semester ini adalah semester terakhirnya untuk lulus tepat waktu. Sudah dipastikan, Shana tidak akan mungkin lulus tepat 4 tahun. Mau bagaimana lagi, sejak hari dimana Seno mengatainya sebagai penghancur mood, Shana sudah tidak lagi menemui pria itu.

Shana sudah jujur pada Ibunya bahwa dia belum ingin menemui dosen pembimbingnya lagi. Sudah malas dan sakit hati. Untungnya Rini—ibunya— tidak banyak berkomentar. Wanita itu selalu menyemangatinya untuk mengalahkan rasa malas dan sakit hati itu. Sayangnya tidak semudah itu bagi Shana.

Melihat teman-teman seangkatannya sudah banyak yang seminar proposal, sementara ia bahkan belum mendapat judul penelitian. Yuna yang terkenal lemot saja kemarin sudah melakukan ujian proposal, sementara dirinya? Masih terjebak dengan sakit hatinya sendiri.

"Kamu masih belum mau bimbingan Shan?" Adrian yang datang entah darimana menepuk pundak Shana pelan.

"Aku ngajuin pergantian pembimbing aja apa ya Yan?"

Adrian terkekeh pelan, "Kamu kan anak advokasi, tahu betul ganti pembimbing nggak semudah itu. Kecuali dosbing kamu meninggal."

Shana berdecak, sekesal-kesalnya ia pada Bhakti Aryaseno tidak akan mungkin baginya mendoakan pria itu lekas meninggal.

"Kamu lusa sempro jam berapa?" Tanyanya.

Benar, Adrian yang terkenal sengklek pun sudah akan melakukan ujian seminar.

"Jam sepuluh, datang bawain aku buket paling besar ya," Tawanya bercanda. "Ayo bimbingan aku temenin, jadi kalau kamu dimarahin berasa berdua dimarahinnya."

Shana dan Adrian sudah berteman akrab sejak mereka mahasiswa baru. Banyak orang yang mengira mereka berpacaran karena terlampau sering kesana kemari bersama. Nyatanya, hubungan mereka memang hanya sebatas teman saja.

"Males." Keluhku.

"Duh mau sampai kapan malasnya? Eh eh ada si ganteng lewat-" matanya mengikuti langkah kaki tergesa-gesa dari Bhakti Aryaseno. "Langkah seribu bayangan." Kekehnya.

"Langkah menghindari bimbingan." Tambah Shana judes.

Seno memang identik dengan jalannya yang tergesa-gesa. Itu sebagai caranya menghindari mahasiswa bimbingannya yang menghentikan ia dijalan untuk menanyakan soal bimbingan.

"Hahahhaha untung sepatunya mahal, nggak masalah dipakai jalan cepat. Kalau murahan sudah lecet kakinya." Ucap Adrian asal.

Kalau diperhatikan lebih detil, maka kalian bisa menemukan banyak mahasiswa-mahasiswa yang berbisik-bisik kala ada sosok Bhakti Aryaseno lewat. Rata-rata dari mereka menggunjingkan soal kesombongan pria itu, sebagian kecil memuji ketampanannya. Yang memuji itu biasanya anak program studi sebelah yang tidak tahu menahu soal kekejaman pria itu.

Dilihat dari sudut manapun, Bhakti Aryaseno itu sebenarnya tampan. Apalagi untuk pria diatas umur 40 tahun. Wajahnya bersih dan mulus, mungkin orang-orang tidak banyak yang menyangka bahwa pria itu adalah dosen pertanian yang banyak menghabiskan waktu di lahan. Pernah tahu Marshall Sastra? Banyak mahasiswanya yang berkata bahwa Bhakti Aryaseno mirip dengan artis itu.

Satu-satunya orang yang bisa menyaingi ketampanan Bhakti Aryaseno di fakultasnya hanya Daneswira Satriobudi, dekan fakultas mereka. Usianya mungkin sudah hampir setengah abad, tapi jujur saja wajahnya masih sangat karismatik. Kalau sudah senyum, mahasiswinya pun akan meleleh.

Sayangnya bagi Shana, ketampanan Seno tidak penting sama sekali. Pria itu menjadi amat sangat jelek di matanya karena kelakuannya yang minus. Buat apa ganteng kalau nggak mau bimbingan? Chuaks.

***

"Aku jadi penasaran jodohnya Pak Seno nanti yang kaya gimana?" Yuna menyendok soto di mangkuknya, matanya menatap lamat pria yang menjadi topik obrolannya. Seno duduk sendiri di tengah keramaian kantin seperti biasanya.

ADVOKASI Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora