47. Nanti

11.8K 1.3K 105
                                    

Seno belum terbiasa dengan kehadiran orang lain di rumahnya selain Shana dan Bi Dyah. Tapi pagi ini, Seno diperlihatkan sosok Larasati yang memakai apron–apron yang biasanya Shana kenakan– mondar mandir di dapur dengan langkah-langkahnya yang penuh kehati-hatian.

Umur sudah mengikis sebagian besar energi dari Larasati, tapi entah apa yang ada di pikiran wanita itu hingga repot-repot mendatangi rumahnya. Hubungan mereka tidak pernah sebaik ini hingga Larasati menginap di rumahnya.

"Mas Seno! Mama masak nasi goreng." Larasati lebih dahulu menyadari keberadaan Seno yang sudah rapi dan siap berangkat bekerja. "Mau coba nyicip dulu?" Tawar Larasati mengulas senyum penuh harapnya.

Mereka banyak mengobrol semalam, walau belum bisa dikatakan membaik, setidaknya untuk saat ini Seno tidak terlalu keras pada Larasati. Dia mengizinkan wanita itu menginap, bahkan mengingatkan bahwa AC di kamar yang Larasati gunakan sering bermasalah.

Seno tidak menjawab tawaran Mamanya, tapi ia menarik sebuah kursi dari meja makan. Melihat hal itu Larasati bergegas mengambilkan sepiring nasi goreng yang sudah ia masak.

"Maaf kalau tidak seenak buatan Shana, Mama juga udah lama tidak masak nasi goreng." Larasati meletakkan sepiring nasi goreng buatannya di depan Seno. Ia lalu ikut duduk di kursi yang berada di sebelah Seno, memperhatikan Seno yang mulai melahap nasi goreng buatannya.

Ada rasa bangga dalam diri Larasati, setelah semalam Seno juga mau memakan Laksa buatannya. Kini anaknya itu kembali memakan masakannya.

"Gimana? Enak?" Larasati menatap dengan mata berbinar.

"Lumayan." Sahut Seno seraya manggut-manggut.

Tidak terlalu buruk pikirnya, walau tidak seenak nasi goreng buatan Shana yang selalu menjadi favoritnya.

"Biasanya sama Mbak Shana dibekelin ya?"

Sewaktu memasak tadi, Larasati menemukan beberapa set kotak bekal yang tersimpan rapi di lemari piring.

Seno menjawab dengan anggukan kepala.

"Dibekelin apa biasanya?" Tanya Larasati lagi, berharap Seno tidak akan kesal dengannya karena banyak bertanya. Larasati melakukan itu untuk bisa membangun komunikasi dengan anaknya itu.

"Banyak. Cemilan, nasi, buah, susu juga  kadang-kadang."

Dan syukurnya, Seno juga sudah mulai mau membuka komunikasi dengannya. Walau terkadang pada beberapa ucapannya terdengar ketus dan satir.

"Ooh pantes Mama lihat kotak bekalnya satu set begitu. Banyak berarti bekalnya Mas Seno ya."

Sejak pertama kali bertemu dengan Shana, Larasati sudah bisa melihat bahwa menantunya itu adalah sosok yang telaten. Melihat bagaimana Shana menghadapi Seno yang acap kali bermanja padanya, Larasati bisa melihat ketulusan itu.

"Jadi setelah Shana pergi, Mas Seno makan apa dong?"

"Beli di kantin."

"Mas Seno tidak kangen dengan masakan Mbak Shana? Maksud Mama, masakan kantin pasti tidak seenak masakan rumah. Menunya juga itu-itu saja kan?"

Jujur saja hal itu lah yang membuat belakangan ini berat badan Seno menurun. Dia seringkali melewatkan makan siangnya, entah itu karena malas pergi ke kantin yang selalu ramai itu atau karena bosan dengan menu makanannya yang itu-itu saja.

Sementara Shana selalu membawakannya menu yang variatif, tentu menyesuaikan selera Seno.

Jika sebelumnya makan siang selalu dinantikan Seno karena tidak sabar untuk memakan masakan istrinya, kini makan siang baru akan Seno lakukan kalau perutnya sudah tidak kuat menahan lapar.

ADVOKASI حيث تعيش القصص. اكتشف الآن