17. Marah-marah

17.2K 1.3K 73
                                    

Mulut Shana tidak berhenti menggerutu dalam perjalanannya menuju ruangan Seno. Berita yang ia dapat dari teman-temannya soal Seno yang mengenakan gelang manik-manik membuatnya kesal

Beruntung sepertinya hanya Adrian yang menyadari bahwa gelang yang dipakai Seno adalah gelang yang samad dengan yang pernah Shana pakai.

Setelah mengucap salam dan mengetuk pintu, Shana masuk ke ruangan itu. Menemukan Seno yang tampak berkutat dengan laptop di depannya. Dan benar saja, Shana bisa melihat gelang itu masih melingkar di tangan kiri Seno.

"Pak Seno hari ini jadi bahan omongan tahu." Ucap Shana seraya duduk dan meletakkan jatah makan siang Seno di depan pria itu. "Pak Seno!" Panggil Shana lagi lebih keras karena pria itu teramat fokus pada layar laptop. "Dengar nggak?" Tanyanya.

"Hah? Ngomong apa tadi kamu?"

Tuh kan benar dugaan Shana, saking fokusnya pria itu sampai tidak mendengar apa yang ia ucapkan.

"Pak Se no ha ri i ni ja di ba han o mo ngan loh." Shana sengaja memotong motong kalimatnya agar intonasinya lebih jelas, seolah ia sedang berbicara dengan orang tuna rungu.

"Ck saya bukan tuna rungu."

"Tuh marah-marah tuh! Marah-marah terusss katanya udah janji nggak marah-marah lagi, tapi masih marah-marah terus. Males banget sama orang kerjanya marah terrrruuuss." Cerocosnya bersungut-sungut. Jika dulu dia takut kalau Seno sudah mulai mengeluarkan tanduknya, maka kini ia berani menantant Seno.

"Nggak, siapa yang marah?" Tatapan mata Seno yang semula ke layar laptop dialihkan sepenuhnya pada Shana.

"Pak Seno! Tadi Pak Seno gini ya ck ck." Ia menirukan bagaimana Seno tadi berdecak kesal. "Saya pergi aja deh, males sama orang marah-marah. Ini makan siangnya ya Pak, Assalamualaikum."

"Shan," panggil Seno sebelum Shana sempat berdiri. "Nggak ada pergi-pergi sebelum saya selesai makan."

Bibir Shana mengerucut kesal, dia paling malas kalau Seno sudah berlagak dominan seperti ini.

"Orang darah tinggian amat." Ucapnya pelan tapi masih bisa sedikit di dengar Seno.

"Apa?" Sahut Seno karena yakin gerutuan pelan Shana tadi pasti ditujukan padanya.

"Nggak ada apa-apa," Shana mengedikkan bahunya. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas untuk menemani waktu menunggu Seno menghabiskan makan siangnya.

"Taruh hp-nya." Titah Seno padahal Shana belum sempat membuka apa-apa.

Tapi Shana mengabaikan perintah Seno, lanjut memainkan ponsel di tangannya.

"Satu dua tiga," Shana masih mengabaikan Seno yang menghitung entah untuk apa. "Taruh ponselnya atau saya buang." Kini perintahnya sudah disertai ancaman.

Shana dengan sengaja meletakkan ponselnya di atas meja dengan keras, walau setelah itu meringis karena yakin pasti layar ponselnya retak. "Bapak kaya Kim Jong Un! Ditaktor!"

Seno menghela nafas, sadar kalau dia sudah terlalu keras. Padahal semalam ia sudah berjanji pada Shana tidak akan marah-marah pada gadis itu.

"Iya maaf ya saya kelewat keras." Seno mengulurkan tangannya untuk meraih jemari Shana yang menekan-nekan ponsel di atas meja. "Sini, saya minta maaf. Kemarin kan perjanjiannya kalau saya galak-galak, kamu boleh cubit." Ia menarik lengan kemejanya mempersilahkan Shana mencubitnya disana.

Tanpa babibu Shana langsung mencubit lengan Seno keras-keras sampai-sampai pria itu meringis kesakitan. "Pak Seno nggak boleh marah-marah!"

"Iya sayang, sudah?" Karena Shana mengangguk, Seno kembali menarik lengannya. Ganti menggenggam tangan Shana.

ADVOKASI Where stories live. Discover now