Makan Buah Simalakama

16 4 0
                                    

Akhirnya tanganku menerima bunga mawar dari Edo. Semua itu karena aku ingin menjaga perasaan Edo dari malu terhadap Alde yang menyaksikan upayanya dalam meminta maaf. Selain itu aku juga tidak mau terlihat sebagai wanita kejam yang menolak ketulusan Edo.

Apalagi Edo mengakui kesalahannya tanpa ragu.

"Dulu aku belum sempat meminta maaf dengan benar. Kamu pasti sakit hati banget sama aku." kata Edo yang sedikit banyak berhasil menyentil sikapku pada Senpai Ian yang kuputuskan secara sepihak. Meski kasusnya beda.

Edo ingin bersama gadis lain. Sementara aku, seolah tak bisa lepas dari Edo. Tahulah, saat bersama Senpai Ian, aku justru merasa de javu. Seperti ingin membalas kebucinan orang dengan perpisahan.

Azan Magrib memutus percakapan kami yang terasa belum tuntas. Aku belum tahu kata-kata lanjutan Alde sebelum aku memutuskan untuk mengambil tas penawaran. Aku juga tidak tahu kenapa Edo sampai putus dengan pacarnya. Semua terasa menggantung setelah perdebatan antara Alde dan Edo yang saling mempertanyakan kenapa datang ke tempatku. Namun, keduanya sama-sama tidak mengungkapkan secara jelas. Hanya dalih ingin meminta maaf, yang kurasa tidak perlu sampai sejauh ini.

Setelah kepulangan Alde dan Edo yang berbalut canggung, gara-gara aku memanggil Alde untuk memuluskan niatku demi bisa melakukan kerjasama dengan mamanya. Kini aku merutuki diri. Kenapa tadi tidak tegas saja langsung mengutarakan keinginanku, mengabaikan Edo yang ikut berbalik karena menyangka aku memanggilnya.

Dan yang terjadi kemudian aku malah berkata:

"Hati-hati di jalan!" sambil melambaikan tangan.

Keduanya saling pandang bingung.

"Terima kasih sudah mampir kemari." lanjutku makin asal bin ngawur.

Alde menarik tangan Edo ketika cowok itu akan melangkah kembali padaku. Melihat itu aku merasa bersyukur. Meski hati menjadi kecewa berkali lipat, kenapa bukan Alde yang berjalan ke arahku.

Kesempatanku untuk berdiskusi dengan Alde tentang ideku menjalin kerjasama dengan mamanya habis sudah. Aku harus berjuang sendiri maju ke Soraya Pasha tanpa pendukung.

Tidak mungkin dong ya, aku menghubungi Alde hanya untuk membicarakan tentang hal itu. Karena, perihal tas yang ingin kutawarkan memang tidak ada hubungannya sama Alde. Aku hanya ingin memanfaatkan koneksi yang ada, serta memanfaatkan momen saat cowok itu merasa bersalah telah melibatkanku ke dalam sebuah masalah.

Aku mengetuk-ketukkan tas ke kening yang tadi ingin kuperlihatkan pada Alde beserta rentetan kata-kata promosi. Lalu memelototi bunga mawar yang tergeletak di meja sambil menyalahkan kenapa ia datang di waktu yang tidak tepat.

"Kenapa?" tanya Erli yang tiba-tiba datang pulang dari bekerja.

"Tuh, mawar buat kamu." tunjukku dengan isyarat mata.

"Kok cuma satu?" sambut Erli yang sudah meraih mawar dari Edo. "Enggak ada kartu ucapan?"

"Tadi orangnya langsung datang kemari."

"Sungguh?" Mata Erli membulat seiring mulutnya. "Terus?"

"Yah, gitu deh." balasku menyandarkan tubuh ke sofa.

"Kamu kenal dia?" Erli terlihat sangat penasaran.

Aku mengangguk pelan.

Tangan kanan Erli naik membuka menutupi mulut tanpa menempel padanya. "Siapa? Apa aku juga tahu?" Tubuh Erli mencondong ke arahku.

Kali ini aku menggeleng, "Itu bagian dari masa lalu."

"Mantanmu? Pantas dia meminta maaf. Pasti dia yang mutusin kamu atau selingkuh." Erli membuat kesimpulan yang tepat tanpa aku perlu menjelaskan. "Terus?"

"Nggak ada terus. Tamat." balasku tidak mau membahas tentang Edo.

"Ngomong-ngomong mantanmu itu ganteng enggak?" tanya Erli menyelidik.

"Ganteng sih," sahutku sambil membayangkan Edo yang kini lebih terlihat matang dan jantan. Garis rahangnya yang semula lembut kini tampak mengeras.

Mendengar keterangan singkatku tersebut, anehnya Erli malah meleleh sendiri. Dia mendekap bunga mawar pemberian Edo sambil menjatuhkan dirinya ke sandaran sofa. Mulut dan matanya tampak berhasrat akan sesuatu.

"Namanya siapa?" desis Erli pada bunga mawar yang berada dalam rengkuhannya. "Kamu mau jadi pacarku?"

"Li!" panggilku menjadi cemas dengan ulah Erli yang tidak biasa. "Hoi, kamu kenapa? Li!"

Erli tidak menggubris panggilanku. Dia malah menciumi si bunga mawar merah lalu menyesap aromanya seperti seorang perokok yang sedang menikmati hirupan nikotin.

"Kesurupan, nih anak." hembusku lalu berdiri dan mengecek keadaan Erli. Tangan kanan aku tempelkan ke kening Erli sementara tangan kiri aku tempelkan ke pantat sendiri.

Aku pun menyamakan suhu antara keningnya dengan suhu pantatku. Katanya itu cara terbaik untuk mendeteksi tingkat kewarasan seseorang.

"Parah ini!" desisku sambil berlalu dari hadapan Erli yang masih terlena oleh angan kosongnya.

Aku segera masuk kamar, tak lupa menguncinya. Bisa gawat kalau Erli ikut menyusul dan menyerangku dengan pertanyaan tentang Edo dan bunga mawar itu.

Nah, benar kan? Erli sudah terdengar meraung-raung di depan pintu kamar ingin aku membukanya. Tetapi tidak semudah itu, kawan. Kali ini aku mau kejam. Aku tertawa ngikik sendiri.

"Kamu mau balikan sama dia?" teriak Erli. "Tapi kamu menolak semua mawarnya? Berarti kamu menolak dia, kan?"

Erli masih berisik di depan pintu.

"Apa dia boleh untukku? Sama seperti mawar-mawar itu? Kalau kamu memang menolaknya? La!" Gedoran yang lebih keras terdengar. "Ayo, ngomong dong!"

"Mandi dulu, sana!" tolakku ketika Erli tidak mau menyerah terus mengganggu pintuku. "Kamu bau, tahu!"

"Oke, setelah mandi kamu cerita dan beri kepastian, ya." sahut Erli terdengar riang.

Duh, salah bicara aku. Setelah Erli mandi, dia pasti akan kembali menerorku. Aku lalu mencari earphone yang jarang kupakai. Dalam kondisi seperti ini barang itu menjadi penting.

Awalnya aku ingin mendengarkan musik. Tetapi aku sama sekali tidak menemukan lagu yang asyik. Pada dasarnya, entah sejak kapan. Mungkin sejak aku putus dengan Senpai Ian, aku memang tidak lagi suka mendengarkan musik. Waktu itu banyak lagu yang berkisar tentang patah hati yang membuatku makin merasa bersalah pada Senpai Ian.

Lalu dengan sendirinya, untuk selanjutnya jika sengaja memutar musik untuk diri sendiri terasa kurang nyaman. Kalau cuma mendengarkan di suatu tempat bukan aku sendiri yang memutarnya, tidak masalah. Tetap bisa menikmati. Aneh memang.

Kali ini pun demikian. Tidak ada lagu yang bisa menyentuh suasana hatiku. Akhirnya aku memutuskan untuk menonton video dari aplikasi penyedian berbagai konten video. Menggulirkan layarnya berkali-kali hingga algoritma menemukan video yang kutonton lebih lama sebagai rekomendasi selanjutnya.

Tema yang kuterima dari aplikasi tersebut cukup menghiburku. Isinya tentang kekonyolan-kekonyolan orang yang tidak sengaja terekam kamera. Mau tak mau aku jadi tertawa-tawa sendiri. Pokoknya tidak peduli dengan suara debam samar yang menghantam pintu.

Merasa bosan menonton video aku membaringkan tubuh setelah keluar dari aplikasi. Suasana terdengar sunyi. Sepertinya Erli sudah menyerah tidak menyerang pintuku lagi. Aku mencoba memejamkan mata. Tetapi aku teringat belum salat Isa.

Dengan enggan aku bangkit lalu keluar kamar untuk mengambil air wudu. Pintu kamar Erli telah tertutup. Dia pasti sudah tertidur sekarang. Aku tersenyum penuh kemenangan. Menang dalam bertahan tidak membukakan pintu untuk Erli yang ingin mendengar dongeng tentang bunga mawar dan seseorang yang telah menerorku empat bulan ini. Serta permintaannya ingin bersanding dengan Edo, yang tidak bisa kusetujui atau kutolak tentunya.

Akan tetapi ketika aku telah bersiap untuk tidur, sebuah pesan membuatku mau tak mau menghambur ke kamar Erli. Sekarang posisiku yang menggedor-gedor kamar Erli. Aku seperti sedang kena karma. Tidak ada sahutan. Mungkin Erli sedang balas dendam.

Dan, sepertinya semalaman ini aku akan tidur dalam perasaan cemas. 

Vagabond TrashWhere stories live. Discover now