Perih Itu Melumer di Mulut

17 3 0
                                    

"Suka es krim?" tanya Alde sambil mengangkat tangannya yang memegang bungkusan plastik transparan. Sekilas aku bisa melihat salah satu es krim merek terkenal berdesak-desakan di dalamnya. "Aku beli beberapa macam, karena aku nggak tahu kamu suka es krim rasa apa." imbuh Alde menggugah rasa terkejutku.

Tanganku telah bergerak menyentuh moncong kerudung. Ingin sedikit menutupi area mata yang barangkali memerah. Bahkan sejenak aku linglung. Tidak tahu bagaimana menghadapi Alde yang tiba-tiba muncul di saat yang tidak tepat.

"Ayo, kita makan es krim bersama." Alde menunjuk ke dalam rumah yang kutahu maksudnya ingin masuk ke sana.

"Em itu, aku sebenarnya tidak terlalu suka es krim." ucapku terus terang. "Oh ya, terima kasih udah mengantar motorku. Maaf ya, malam ini aku ingin sendiri."

Seketika rahang Alde yang bulat jatuh. "Begitu?" Alde memandang tas plastik yang dibawanya bersama pandangan kecewa. "Baiklah, aku pergi kalau gitu." Ibu jari Alde menunjuk ke belakang dengan posisi terjungkal.

Aku mengangguk menanggapinya. Alde membalas dengan beberapa anggukan, melangkah pelan seolah sedang memikirkan arah langkah kemudian. Ketika aku hendak menutup pintu dia telah berbalik cepat menghadap ke arahku lagi.

"Tunggu!" cegahnya.

"Yah?" sahutku agak kaget.

"Boleh aku menunggu di situ." Alde memutar matanya. "Menunggu ojol datang." lanjutnya memberi alasan agar diperbolehkan masuk ke teras rumah.

"Silakan," jawabku sambil berusaha mengutas senyum. Dan lengkungan senyum itu, hanya bertahan sejenak sebelum jatuh mengerut kembali.

"Masuklah," Alde kini malah yang mengusirku.

Mendengar ucapannya itu, entah mengapa aku merasa bersalah.

"Ada es krim magnum?" tanyaku akhirnya urung menutup pintu.

Secara tidak terduga Alde berdiri cepat lalu menghampiriku.

"Ada," sahutnya membuka tas plastik mengoreknya dan mempersembahkan satu es krim, dan satu-satunya es krim yang aku suka. Apa sebab? Karena es krim itu ada lapisan cokelat yang tebal di luarnya. Gigiku yang sensitif akan aman saat menggigitnya.

"Kita duduk di luar saja." kataku sambil menunjuk kursi di teras.

"Oh, oke." ekspresi Alde sangat tampak tidak menyangka keinginannya untuk masuk kutolak. "Atau kita naik ke atas sambil melihat bintang?" tawar Alde.

"Sepertinya asyik." sahutku berubah pikiran lalu mendahului langkah keluar dari teras menuju anak tangga yang ada di samping rumah.

Alde mengikutiku. Tetapi ketika aku hendak menginjak anak tangga pertama, Dia mencegahku untuk naik.

"Ada apa?" tanyaku keheranan. "Kamu berubah pikiran tidak ingin naik ke atap?"

"Bukan, biar aku dulu yang naik." sergah Alde.

"Bukannya ladies first ya?" Aku bergeming.

"Aku tidak setuju dengan itu, menurutku sebaiknya wanita itu di belakang. Kalau ada bahaya di depan jadi bisa terantisipasi. Bukankah begitu?" ucap Alde membuat alasan. "Gampangnya kalau mau melewati jembatan gantung, bukankah seharusnya si laki-laki yang maju duluan untuk mengecek aman tidaknya jembatan itu. Bukannya malah membiarkan si wanita memastikan bahwa jembatan itu aman, tidak peduli bila si wanita celaka. Lalu dia akan merasa bersyukur jika ternyata jembatan itu membuat wanitanya terperosok dari atasnya."

"Menurutku tergantung situasi. Dalam hal yang enak-enak, seperti makan. Ladies first itu penting." Aku tertawa merasa bangga menjadi wanita. "Tetapi kalau situasinya kelihatan genting, aku juga tidak masalah kalau harus maju duluan."

Vagabond TrashTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang