Melontar Musibah Menuai Kenangan

15 5 0
                                    

Aku dan Pak Talim sedang mengepak kardus untuk disetor ke Bandar Gun. Tiba-tiba Pak Talim mendapat kabar duka adik laki-lakinya meninggal. Bu Talim yang mengabarkan. Katanya dia baru saja ditelepon oleh keponakannya.

Pak Talim termangu sejenak. Tali yang telah terentang dengan ketat siap dia serahkan padaku untuk kuikat terlepas dari tangannya tanpa sadar. Sepertinya dia seakan tidak percaya dengan berita yang dituturkan oleh istrinya.

"Kenapa?" tanya Pak Talim pada istrinya setelah sadar, namun tidak berusaha memegang tali yang tadi siap kuterima untuk kuikatkan di samping kanan bak yang telah menjulang tumpukan aneka kardus.

"Kecelakaan katanya." sahut Bu Talim yang berdiri tak jauh dari setang motor.

Pak Talim meneguk ludah lalu memandangku. "Saya harus segera ke Kebumen ke rumah adik saya." ucap Pak Talim meloncat turun dari atas tumpukan kardus.

Aku menanggapi manggut-manggut bisa merasakan kedukaan Pak Talim yang tersirat dari sinar matanya. Tak lupa mengucapkan turut berbela sungkawa.

"Ayo, Bu. Kita siap-siap!" ajak Pak Talim terus melesat masuk rumah.

Sebelum mengikuti langkah suaminya, Bu Talim melangkah ke sisiku. "Mereka berdua sangat dekat, ibarat saudara kembar." kata Bu Talim mengisahkan secara singkat pertalian antara Pak Talim dan adiknya.

Belum lagi aku menanggapi dari dalam rumah terdengar seruan dari Pak Talim.

"Bu!"

"Ya," sahut Bu Talim melengking membuat telingaku berdenging. Dia lalu mengerling padaku dan berlari kecil meninggalkan aku yang sudah seperti anak itik kehilangan induknya.

"Kardus ini gimana?" gumamku memandang tumpukan kardus yang menjulang.

Pada detik berikutnya aku telah terpikir akan menyetor kardus itu sendiri. Pokoknya tidak boleh menggantungkan pekerjaan setengah jalan. Bagaimanapun setelah Pak Talim bersedia membantuku, kami sekarang menjadi partner bisnis. Hasil penjualan rongsokan dari memilah sampah kami bagi dua sama rata.

Jadi setelah dipikir-pikir, kardus-kardus di depanku ini akan menjadi uang bagi kami berdua. Oleh karena itu, kenapa aku tidak berusaha ikut menyetornya sendiri. Selama ini memang urusan setor menjadi tanggung jawab Pak Talim, aku bagian mencatat hasil pendapatan, serta penggagas ke mana sampah-sampah yang telah kami dapat akan terdistribusikan.

Gerak selanjutnya aku sudah menamatkan ikatan tali yang tadi berhenti setengah jalan. Pakai sedikit akal tidak perlu memanjat ke atas kardus. Aku hanya perlu mengikatkan besi yang cukup berat di ujung tali, lalu kulempar ke sisi seberang. Dengan demikian urusan ikat-mengikat beres.

Bersamaan dengan selesainya urusanku dengan tali-temali. Pak Talim terlihat mengeluarkan motornya diikuti Bu Talim yang sedang mengenakan helm.

Ketika melewatiku, Pak Talim berujar;

"Biar saya setorkan lusa, Mbak." katanya sambil melihat tumpukan kardus yang telah terikat rapi.

"Tanggung, Pak. Tinggal setor aja, kan. Saya juga bisa." jawabku tersenyum sambil mengacungkan ibu jari.

Pak Talim memandangku dengan khawatir. "Tapi masih ada beberapa tumpuk lagi." tunjuk Pak Talim pada tumpukan kardus yang belum terangkut.

"Apa enggak naik bus aja, Pak?" tanyaku mengalihkan perhatian pada urusan setoran kardus. "Kebumen lumayan jauh lho." imbuhku yang mengukur perkiraan waktu tempuh Purwokerto-Kebumen sekitar tiga jam-an.

"Biar cepat Mbak." sahut Pak Talim. "Ayo, Bu buruan!"

"Jangan tergesa-gesa Pak, yang penting sampai tujuan." ujarku mengingatkan.

Bu Talim segera naik ke boncengan. Setelah berpamitan padaku, tak lupa mengulang perkataan, bahwa aku tidak usah menyetor sekarang, sepeda motor Pak Talim melesat keluar gerbang.

Selanjutnya giliranku yang bergerak keluar dari sana. Setidaknya aku harus dua kali angkut nanti. Tidak masalah. Mumpung hari ini sedang libur kuliah.

Berhubung masih ada tanggungan satu angkut lagi, aku memacu motor roda tiga lumayan kencang. Angin yang kutepis di depan menimbulkan daya dorong yang kuat pada kardus yang menjulang. Akibatnya lembaran kardus yang kubawa lepas dari ikatan dan jatuh berhamburan di jalan raya yang lalu lintasnya padat. Tak heran bila aneka makian dari pengendara lain menyerang.

"Heh, pada jatuh tuh!" tegur seorang pengendara motor dengan mata mendelik. Dia langsung saja melesat melewatiku.

Aku kaget, melihat kaca spion dan menyempatkan menengok sebentar ke belakang.

"Waduh!" aku langsung menepikan motor.

Pengendara lain yang lewat ikut berteriak, "Heh, hati-hati! Mau bunuh aku ya!" serunya terus melesat pergi.

"Maaf, Pak!" aku menangkupkan tangan.

Aku sungguh merasa bersalah. Sekilas kemudian mataku memindai beberapa kardus yang bertebaran di aspal, satu dua sudah ada yang terlindas kendaraan lain.

Di bawah terik matahari dan lalu lalang kendaraan aku memunguti lembaran kardus yang berhamburan. Hujan sumpah serapah mewarnai, aku berusaha membalas dengan permintaan maaf dan senyum ikhlas. Salahku juga sih tidak memastikan ikatannya kuat.

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti, seorang cowok bertubuh tinggi atletis, berkulit cerah turun dari mobil. Aku hanya melihat sekilas lalu konsentrasi kembali mencari celah agar bisa memungut lembaran kardus yang bertebaran di tengah jalan.

Hei, ngapain dia? Membantu memunguti rongsokanku? Tunggu, deg, aku termangu di tempat, di tengah jalan. Sebuah klakson menjerit mengusir keterkejutan pada sosok cowok itu.

"Minggir!" teriak pengendara jalan yang terganggu adegan mematung ala film India.

"Maaf, Pak!" kataku langsung menepi.

Di trotoar, tumpukan semua kardus yang terbang telah berhasil terkumpul.

"Lain kali hati-hati." katanya sambil tersenyum. Ya ampun, senyumnya masih menawan seperti dulu.

"Makasih, Do." sahutku merasa canggung. "Untung kamu bantu. Kalau tidak, aku pasti masih dapat omelan dari mereka." aku memandang kendaraan yang lalu lalang. Tetapi aku sudah sibuk menyusun kembali lembaran kardus menjadi satu tumpukan. Cowok itu masih ikut membantu.

"Tidak usah!" tolakku. "Biar aku saja,"

"Ini semua untuk apa, La?"

"Dijual." sahutku singkat seraya membawa tumpukan lembaran kardus ke bak motor. Mengaturnya agar muat seperti semula tak lupa mengikat kencang.

"Tidak usah, Do. Kamu punya kepentingan lain, kan?" kataku.

"Sejak kapan?" katanya tak menggubris usiranku.

Aku mengernyitkan kening, menatapnya. "Ada apa?"

"Kita tidak bertemu sudah berapa tahun ya?" dia tidak menjawab pertanyaanku.

"Empat tahun lebih. Kenapa?"

"Kamu banyak berubah, La."

"Sori, aku harus segera setor ini ke bandar." kataku setelah segala urusan penataan ulang barang di bak belakang selesai.

"Shaula, sebenarnya aku ingin ngomong banyak sama kamu."

"Maaf, hari ini aku sibuk." kataku tersenyum bersiap memacu motor. "Lain kali ya, Do."

Tangan Edo sigap memegang setang motor. "Tunggu La, maafkan aku!" katanya dengan mimik memelas.

Aku tak memberikan reaksi apapun. Aku hanya menatapnya sekilas kemudian menyalakan sepeda motor dan pergi.

Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan pertemuan tidak terduga barusan. Bukankah selepas lulus SMA, dia memilih kuliah di ibu kota mengikuti kekasih barunya. Ah, mungkin hari ini dia sedang mudik kangen orang tua.

Namun ada hal lain yang menyelinap mendesak terkurai. Dua orang dari masa lalu yang berbau asmara hadir tak terduga. Pertanda apa ini?

Vagabond TrashWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu