Shaula in Dream House

21 3 0
                                    

"Baik Bu," sahutku menanggapi pertanyaan dari si penelepon yang ternyata mamanya Alde.

"Bisa kita bertemu sekarang?" tanya mama Alde.

Aku menatap Erli yang penasaran dengan orang yang sedang meneleponku. Erli bahkan menanyakan siapa nomor tidak dikenal itu sambil berbisik. Aku tak mengacuhkannya.

"Em, bisa." sahutku mengandung jeda kepada si penelepon alih-alih Erli. Sementara itu kepalaku mengangguk meski dalam hati ragu.

"Baik, nanti saya sharelok alamat rumah saya ya." sahut suara dari ponsel yang terdengar merdu.

"Ya Bu," jawabku singkat sambil menyamai langkah kaki Erli menuju tempat parkir sepeda motor.

"Saya tunggu," balasnya sebelum mengakhiri panggilan.

Erli kembali memburuku, "Siapa?"

"Mama Alde." laporku pada Erli yang matanya langsung berbinar takjub.

"Ada apa nih?" Erli berhenti di dekat motornya. Dia memandangku dengan berbagai prasangka dan curiga ala emak-emak pemburu gosip.

"Dia menyuruhku datang ke rumahnya."

"Cius?" sambarnya antusias. "Apa sesuatu terjadi sama Alde?"

Aku mengangkat bahu, "Nggak tahu."

Bersamaan dengan itu denting bunyi pesan masuk terdengar. Pengirimnya dari nomor tidak dikenal tadi. Satu gambaran peta yang masuk kawasan wilayah Baturaden menandai satu titik dengan pin berwarna merah.

"Bisa antar aku ke sini?" tanyaku dengan memperlihatkan peta yang tertampil di ponsel pada Erli.

"Siap antar jaga!" Erli mengacungkan ibu jarinya. "Ayo! Kamu jadi navigatornya."

Beberapa menit kemudian kami berdua sudah bersaing dengan kendaraan lain yang mengarah ke Baturaden. Awal jalan, kami tidak mengikuti petunjuk dari Mbak Operator yang selalu berisik dan terkesan ngotot ketika kendaraan kami tidak sepakat dengan arahannya.

Biarin saja. Toh, kami sudah tahu jalannya. Adapun jalan yang di arahkan oleh google map malah jadi berputar-putar. Mungkin maksudnya mencarikan jalan yang lalu lintasnya tidak padat merayap. Tetapi ketika mempraktekkan di jalan jatuhnya sama saja, apalagi bagi yang tidak tahu jalur sebenarnya dan pakai acara tersesat.

Lima belas menit kemudian, tentunya setelah mengikuti petunjuk dari peta, kami sampai di depan sebuah rumah dengan pagar ganda. Pagar terdepan dari terali besi setinggi dada, lalu pagar berikutnya yang terselang jeda kurang lebih dua meter terdapat tembok dengan roster bermacam bentuk dan warna. Pintu gerbang lain yang terbuat dari plat besi warna merah, melengkung pada bagian atasnya, berada di sudut lain tidak sejajar dengan pintu gerbang terali besi.

Kami berdua sempat melongo. Bagaimana kami bisa menembus masuk ke rumah yang terlihat menjulang di dalam sana. Tetapi pada sisi kanan samping pintu gerbang dalam terdapat satu bangunan kecil beratap bulat yang segera mengeluarkan seseorang dari sana.

Satpam yang masih terlihat muda berlari ke arah pintu pertama yang menghalangi kami.

"Mbak Shaula?" sapa Satpam rumah yang bernama Yono. Papan namanya yang besar langsung memberi tahu kami namanya tanpa perlu kami bertanya atau menebak-nebak.

"Lho kok tahu?" tanyaku balik tanya sambil melangkah mendekati pintu gerbang.

"Ibu tadi beritahu kalau sebentar lagi akan ada tamu. Kata Ibu namanya Mbak Shaula." ucapnya sembari membuka pintu pagar terali model dorong selebar-lebarnya.

"Oh gitu?" aku manggut-manggut melirik Erli sekilas yang masih duduk di jok motornya.

"Mari, silakan masuk!" ujarnya dengan tangan membengkok di depan perutnya. "Motornya bisa diparkir di situ." Tunjuknya pada sisi kiri pintu gerbang kedua yang memiliki atap tanaman rambat bunga lampion dan setelah kuperhatikan ada tersembul buah markisa.

Aku memberi ruang pada Erli untuk mencari tempat memarkir motor. Erli membelokkan sepeda motornya menyerong ke arah kanan mendekati pintu gerbang. Aku menguntit dari belakang. Sementara itu Mas Yono telah berlari kecil ke arah pintu gerbang warna merah membukakan pintu tersebut seiring helm terlepas dari kepala kami.

Begitu kami memasuki pintu gerbang berwarna merah, seketika aku menjadi Alice in Wonderland yang tengah memasuki sebuah dunia baru. Atap bunga lampion masih memayungi langkah kami. Kanan-kiri terpampang deretan bunga kembang sepatu berwarna merah yang rapat seperti pagar.

Mas Yono membawa kami membelok ke kanan setelah kami berjalan sepuluh langkah. Jalan paving telah berubah menjadi ubin kasar dengan warna gradasi campuran. Di sekitar kami kini menghampar taman dengan rumput jepang yang hijau sehat. Melati jenis variegate berdaun semu putih menyapa kaki yang melangkah.

Ketika hampir di tengah-tengah taman dan rumah, sebuah kolam ikan dengan air mancur membentuk tiga percabangan jalan. Pertama dari arah kami datang, jalan berikutnya menuju pintu rumah di sebelah kanan, sementara yang hampir lurus di depan menuju gazebo yang ternaungi pohon bungur yang bunga ungunya mulai bermekaran. Itu menandakan musim hujan segera bertandang.

Menuju ke arah pintu masuk rumah, dua buah kursi taman dari besi berhadapan seolah sedang menyambut kedatangan aku dan Erli. Dua kursi itu masing-masing diapit pohon pucuk merah yang sengaja dilengkungkan seolah menjadi atap kursi besi berwarna hitam.

Pilar bulat besar menjaring kami hingga masuk pada lengkungan teras yang tidak terlalu lebar. Satu hal yang dapat kusimpulkan dari pemilik rumah, dia ini pastilah sangat menyukai bentuk lingkaran atau bulatan. Hal itu bisa terlihat dari arsitektur rumahnya yang banyak mengandung unsur lengkungan, lekukan dan bulatan.

Dari pintu, jendela semua melengkung di bagian atasnya. Malahan jendela yang menyembul di kanan dan kiri seperti mata yang mengawasi halaman depan juga memiliki sisi yang mencembung.

Mama Alde muncul di ambang pintu dengan menampilkan bibir yang melengkung ke atas.

"Akhirnya datang juga. Ayo, mari masuk. Oh, kamu bawa teman?" Seperti biasa Mamanya Alde melancarkan kalimat yang saling tidak berkaitan secara sambung-menyambung.

Kakiku memasuki ruangan dengan nuansa hitam putih nan tenang. Sofa hitam beserta karpet beludru hitam mengisi kekosongan putih pada temboknya. Ruang tamu ini juga langsung mengekspos tangga yang bergerak menyamping menuju ke lantai dua.

"Ibu sangat suka tanaman, rupanya." kataku setelah duduk dan memperkenalkan Erli sebagai teman kontrakankku.

Sebuah tanaman monstera mengintip dari sisi tangga sebelah dalam. Bahkan di sudut sofa yang kami duduki terdapat tanaman yang duduk manis di meja kecil sehingga memberi kesegaran dalam ruangan.

"Ah, benar. Kalau banyak tanaman, hati dan pikiran jadi terasa ikut segar." sahutnya. "Oh ya, kalian mau minum apa?" tawar Mama Alde lalu memanggil satu nama dari dalam.

"Apa aja, Bu." Erli menyahuti.

"Kalau bisa yang dingin-dingin." imbuhku yang memang kehausan sedari di kantor polisi tadi.

Seorang wanita dengan tinggi tidak sampai seratus lima puluh senti meter dan rambut pendek yang memaksa dikuncir menghampiri.

"Es kopi, es teh, atau sirup?" tawar Mama Alde tak kalah seperti kafe yang menyediakan aneka macam minuman.

"Es kopi," sahutku sambil mengacungkan jari telunjuk.

"Sirup, boleh." kata Erli malu-malu.

"Tolong buatkan itu, ya Mbak." kata Mama Alde pada ART-nya.

"Baik, Bu." sahut Mbak ART.

Selepas perempuan yang tergolong masih muda itu berlalu, secara tidak terduga Erli tiba-tiba menanyakan satu hal pada mama Alde yang membuatku melongo.

Vagabond TrashWhere stories live. Discover now