Beraksi di Jalanan

14 3 0
                                    

Alde menginjak gas gila-gilaan. Kebetulan lajur keluar parkir tidak ada kendaraan lain, sehingga dia bebas terus melaju tanpa hambatan yang berarti. Hanya saat masuk ke jalan raya, Alde menekan klakson seakan tidak sabar untuk menunggu kesempatan membaur dengan kendaraan lain.

Sementara itu sebuah mobil jeep hitam sudah tampak keluar dari pintu parkir. Alde terus melajukan mobilnya mengarah ke kiri namun, setelah mendapat beberapa putaran roda dia telah bersiap membelok ke kanan. Begitu mendapat peluang berbalik arah, Alde memutar setir dengan cepat. Tubuhku sampai ikut oleng ke kanan.

"Menyebalkan!" gerutu Alde ketika lampu lalu lintas berubah cepat menjadi merah. Alde melirik ke spion sebelah kiri. Lalu serta merta banting setir ke kiri yang berbuah deru klakson mobil lain yang hendak membelok ke kiri.

Selanjutnya setelah lepas dari keramaian jalan raya di seputaran Alun-Alun Purwokerto, Alde melajukan mobilnya lumayan kencang menuju utara. Aku masih diam menikmati perjalanan yang seperti menaiki roller coaster.

Ada ketegangan, akan tetapi memberi sensasi kesenangan tersendiri.

"Wah, asyik nih!" desisku pelan.

Sesekali aku melihat ke belakang. Mobil jeep hitam tidak kelihatan. Aku memandang Alde sambil meringis kegirangan.

Alde tiba-tiba menginjak rem mendadak. Kalau aku tidak pakai sabuk pengaman, pasti kepalaku sudah beradu dengan dashboard di depan. Lampu merah kembali menghadang perjalanan. Dengan posisi mobil di tengah, sangat mustahil Alde mengganti haluan mobil ke kiri lagi.

"Kita mau kabur ke mana?" tanyaku pada Alde untuk mengusir kekakuan yang tengah terjadi.

"Yang penting kita lepas dari kejaran mereka dulu." sahut Alde yang matanya terus melihat kaca spion di dalam mobil atau sisi kanannya.

Lampu merah tidak juga berganti hijau. Alde mulai mengetukkan jarinya ke kemudi mobil. Kali ini dia sempatkan menoleh ke belakang. Memastikan orang-orang yang membuntutinya tidak dapat mengejar.

Sayangnya, keinginan Alde tersebut tidak terkabul. Mobil jeep yang sama terlihat beberapa depa di belakang. Tidak mau sampai terkejar, Alde menekan klakson beberapa kali seolah menyuruh mobil di depannya segera jalan.

Tidak ada tanggapan berarti. Mobil Brio di depan tetap melaju santai tidak terpengaruh raungan klakson dari Alde. Saking geregetan, Alde memaksa mendahului mobil tersebut dengan mengesampingkan laju motor dari arah berlawanan.

"Bahaya, kan itu tadi." ucapku sambil memaling pada Alde yang tetap fokus menyetir.

Sekilas tadi aku bisa melihat pengendara sepeda motor yang sampai mengerem mendadak. Kepala kutolehkan cepat ke belakang. Mobil penguntit ternyata sudah makin dekat. Sangat terlihat mereka juga mengendarai mobil secara ugal-ugalan.

Aku jadi ingat sama film action yang ada adegan kejar-kejarannya macam begini. Tetapi ini kurang seru. Kurang brutal.

"Bisa lebih cepat dan gesit lagi?" pintaku tanpa merasa berdosa.

"Apa?"

"Biar seperti di film-film itu. Ayo!"

Alde memandangku dengan bingung. Mungkin dia pikir aku ini maniak kebut-kebutan. Meski aslinya tidak. Ingat kan, saat aku membonceng Erli yang ngebut aku merasa tidak nyaman. Akan tetapi terlibat aksi kejar-kejaran semacam ini membuat adrenalinku ikutan menarik gas kuat.

"Awas!" seruku ketika mobil di depan mendadak menginjak rem. Bisor kaget dan langsung menginjak rem sampai bunyinya berdecit. Kali ini aku malah nyaris terlontar ke kaca depan. Sabuk pengaman kembali menjaga nyawaku, kalau tidak bisa wasalam.

"Kenapa saat begini lampunya merah lagi." omel Alde.

"Apa kamu terlibat organisasi mafia, yakuza atau gangster?" Tiba-tiba terbersit tentang status Alde yang barangkali seperti yang kusebutkan tadi. Bayangkan saja, dari sejak pertemuan pertama, dia hadir dalam kondisi babak belur malah sedang dikeroyok sekumpulan preman. Pertemuan kedua, dia malah sudah hampir mati.

Jadi apa coba? Kalau dia tidak terlibat suatu organisasi berbahaya. Mana mungkin selalu dikerjai dan dikejar-kejar orang.

Alde mengerutkan keningnya. "Kamu kebanyakan nonton film mafia dan sejenisnya?"

"Nggak juga sih," sahutku bersamaan tarikan gas Alde yang melajukan mobilnya kembali kecang.

Mobil penguntit masih setia mengikuti. Alde beberapa kali mendahului mobil di depan dengan ganas.

"Wah, wah, bener-bener, kacau nih." keluhku lirih serupa desisan. "Harusnya tadi aku nggak ikut."

"Maaf." kata Alde yang ternyata mendengar keluhanku.

Aku menoleh salah tingkah. Percakapan terhenti lagi.

Mobil Alde terus meluncur hingga melewati daerah yang sepi mengarah ke kawasan Baturaden. Kanan kiri kami hanya ada kebon kosong, dan rumah dengan pagar tembok yang tinggi-tinggi.

Tiba-tiba sebuah mobil dari golongan sejuta umat datang dari depan dan berhenti melintang menghalangi laju mobil yang aku dan Alde tumpangi. Sekali lagi pengereman mendadak Alde lancarkan hingga kepalaku terantuk lagi ke depan.

"Waduh!" keluhku.

"Sorry. Sepertinya sekarang kita terkepung." ucap Alde sambil memandang ke depan dan belakang.

"Kenapa sikonnya tambah tegang begini? Kita tidak sedang main film action, kan De?"

"Tidak. Ini nyata, dan mereka semakin dekat, nekat."

"Keluar!" Seorang pria bertubuh kekar berkaus hitam menggedor pintu mobil.

Aku memandang Alde. Wajahnya tidak menunjukkan kegentaran. Sangat tenang malah. Melihat ketenangan Alde, aku jadi ikut tenang. Berarti bisa diatasi. Maklum, aku ini orangnya mudah terbawa suasana. Saat tegang langsung ikutan tegang. Marah, kadang juga terbawa marah. Sedih, ikutan nangis.

Aku jadi ingat dulu sewaktu ikut kejurdo embu berpasangan untuk pertama kalinya. Aku super nervous. Tapi Senpai Ian begitu tenang, dan auranya itu membuatku jadi tenang, semua gerak dapat kulakukan dengan gesit dan indah. Kami pun menang.

Alde sudah keluar dan menyuruhku tetap menunggu dalam mobil. Mereka tampak sedang melakukan negosiasi. Ada apa sih? Aku sungguh penasaran. Apalagi ketika tiba-tiba kerah baju Alde dicengkeram oleh salah satu orang yang berpenampilan rapi mengenakan jas.

Wah, tidak beres nih!

Alde melawan dan menghempaskan orang yang mencengkeramnya. Suasana menegang, semua pasang kuda-kuda dan siap untuk menyerang. Lima lawan satu? Kurang imbang.

Aku pun turun keluar mobil. Hohoho... sang pahlawan muncul lagi. Ah, kenapa aku tadi tidak bawa topeng dan jubah. Aku, kan bisa berubah dulu. Biar terlihat keren dan tidak ketahuan identitas aslinya.

Perkelahian yang berat sebelah telah terjadi. Aku sedikit telat. Mungkin karena sibuk mau berubah tadi. Aku semakin mendekat ke arena pertempuran.

"Paman!" sapaku menepuk punggung salah seorang pengeroyok.

"Hei, kamu ngapain!" teriak Alde.

"Meringankan beban kamu!" teriakku sambil melemparkan sebuah chuki dan geri yang langsung kuarahkan ke titik-titik lemah lawan. Sebagai contoh ulu hati, leher, tengkuk, dagu dan lainnya. Cukup berhasil buat mereka kesakitan. Karena pada dasarnya jurus Kempo itu utamanya untuk bertahan dan memukul balik musuh langsung ke titik lemahnya. Biar efektif dan efisien tidak buang energi dan waktu.

"Mereka sangat kuat." kata Alde ketika kami sudah duet pasang kuda-kuda menghadap para pengeroyok yang kelihatann sudah payah. Tubuhku pun terasa nyeri di mana-mana.

"Tenang, aku masih punya jurus terakhir." kataku.

"Apa?"

"Denger baik-baik aba-abaku dan ikuti gerakku. Kita mungkin bisa selamat." ucapku berbisik.

Alde menoleh padaku dengan tegang.

Vagabond TrashDonde viven las historias. Descúbrelo ahora