Separuh Napas Yang Berakhir Dengan Kelegaan

17 2 0
                                    

Aku merasa terengah-engah meski tidak habis melakukan kegiatan fisik yang berat. Push up, sit up atau lari lima puluh putaran tidak berarti apa-apa bagi tubuhku yang terbiasa latihan fisik saat latihan kempo. Tetapi mengurus semua kartu yang hilang sungguh sangat menguras energiku. Bukan hanya itu, pikiran serta uang ikut tersedot hingga sekarat.

Entah berapa kali aku sudah bolak-balik ke kantor balai desa, kantor kecamatan dan kantor polisi. Menunggu lalu kembali ke sana. Menunggu lagi. Setelah ada uang barulah urusan selesai. Hampir satu minggu lebih aku mengurus semuanya.

Dan, hari ini aku sudah bisa bernapas dengan lega. Meski tertinggal napas yang setengah-setengah. Ada sedikit penyesalan kenapa dulu aku tidak langsung memproses pembuatan ulang kartu. Tanpa acara galau-galauan menunggu Alde yang belum ada kepastian. Tidak perlu mengkhawatirkan tentang kepemilikan kartu ganda bila Alde berhasil mengambil semua kartu yang hilang.

Tetapi realitanya selalu jauh dari angan. Benar, Alde berhasil mengambil mobilnya meski dengan cara sembunyi-sembunyi. Namun, hal tidak terduga terjadi. Dompet yang seharusnya berada di dalam tas, ternyata tidak ada pada tempatnya. Alde hanya mengembalikan tas yang isinya note book, pulpen, tisu dan pembalut, alih-alih dompet beserta kartu penting.

Saat Alde menanyakan hal itu pada saudaranya, mereka bilang tidak tahu. Saudaranya malah mengancam akan mengadukan tindakan Alde yang mengambil mobil secara paksa. Aneh sekali menurutku. Padahal yang diambil jelas-jelas mobil Alde sendiri. Sungguh situasi yang sangat rumit menurutku. Yah, keluarga Alde itu.

Oh ya, setelah Alde meminta maaf karena gagal memenuhi janjinya. Dia menawarkan diri menemani aku siap antar ke mana saja selama proses pembuatan kartu berlangsung. Tentu tawarannya itu aku tolak. Erli saja yang ingin ikut membantu aku elak secara halus.

Pertama, karena aku tidak mau merepotkan. Kedua, ini hanya untuk Alde; terus terang aku malas harus berhubungan dengannya lagi. Tidak enak juga sama Erli yang sudah mengungkapkan rasa sukanya sama Alde. Hal yang paling utama adalah: aku khawatir kalau masih terlibat dengan pria itu, bakal kembali kejatuhan durian runtuh dalam arti yang sebenarnya. Bukan mendapatkan keberuntungan besar secara tidak terduga, melainkan kesialan yang tidak bertepi.

Aku menghembuskan napas keras. "Hosh!" Sambil mengepalkan dua tangan, yang satu menghunus langit-langit yang satu kutarik ke samping badan mendekati pinggang.

Mari kembali fokus pada rencana pembuatan tas dari plastik bekas agar memiliki nilai lebih. Dan, bisa menghasilkan banyak cuan. Ayo fokus!

Aku meraih ponsel yang tadi kulempar sembarang ke meja pasangan sofa. Mengulir salah satu penyedia belanja online, lalu mengetikkan; tas mika. Ada banyak pilihan. Kebanyakan berupa tas jinjing belanja. Tidak menyerah aku terus mencari. Hingga kemudian tas mika yang sesuai harapan terpampang. Saat melihat harganya, aku mulai berhitung nilai produksi dari tas yang akan kubuat.

"Mahal," desisku sambil terus mencari.

Selanjutnya aku mengganti kata kunci pencarian menjadi grosir tas mika. Ada beberapa dengan harga yang lebih murah. Tetapi modelnya kebanyakan model untuk hantaran. Aku terus mengulir layar ponsel hingga menemukan ide; bilamana goodie bag yang ada itu tali selempangnya dimodifikasi sendiri.

Aku menjentikkan jari merasa ide itu cemerlang. "Ya, bisa, bisa..."

Namun, ketika aku memasukkan ke keranjang belanja satu bentuk tas mika yang memungkinkan untuk dijadikan tas model baru, sesuatu yang menjadi tidak mungkin mematahkan cita-cita mulia itu.

Bagaimanapun uangku saat ini terlalu pas-pasan untuk keperluan sehari-hari. Kalau memaksa membeli sejumlah tas mika, tiga hari lagi aku harus puasa makan seterusnya.

Batal check out, deh!

Sambil menghela napas aku beranjak dari sofa berjalan keluar rumah. Memandang tumpukan sampah yang sebagian sudah terpilah-pilah. Sejurus kemudian mataku menumbuk tumpukan plastik bekas bungkus minuman yang kondisinya telah bersih dan rapi.

"Sore Mbak Shaula, nggak ada kuliah lagi?" sapa Bu Talim yang ternyata sedang menyapu teras.

"Ya Bu," sahutku singkat sedikit kaget karena tidak mengira ada Bu Talim di seberang. Aku terlalu fokus pada ada yang ada di depan mata.

Tiba-tiba sebuah lampu pijar tiba-tiba menyala di kepalaku. Ini sepertinya akan menjadi waktu yang tepat untuk melobi Bu Talim terkait ideku yang baru. Mumpung Bu Talim tidak terlihat sibuk.

"Anak sekarang, sama sekali tidak bisa diambil pekerjaannya di rumah. Bahkan untuk menyapu saja menyuruhnya susah." ucap Bu Talim setengah curhat tentang anaknya. "Yang dipegang tiap menit sampai detik cuma HP. Pas dimintai tolong orang tua alasannya sedang mengerjakan tugas. Huh! Ada-ada aja."

Aku cuma meringis menanggapinya. Sedikit banyak aku merasa menjadi bagian dari anak-anak zaman now yang tercekoki oleh teknologi visual yang sering melenakan jiwa raga. Bawaannya mager. Tetapi karena aku butuh uang, mau tak mau aku harus bergerak agar mendapatkan sekeping recehan untuk makan.

"Zamannya memang sedang seperti itu Bu, kalau nggak ikutan katanya kudet, kurang updet." sahutku mengandung pernyataan pembelaan diri.

Tentu saja pernyataanku itu mengandung alasan yang kuat. Pernah suatu ketika saat aku sehari tidak buka grup perkuliahan, ternyata ada tugas yang dibagikan melalui pesan grup itu. Aku jelas ketinggalan info, dong. Semua sudah siap mengumpulkan pekerjaan mereka, sementara aku terbengong-bengong seperti sapi ompong. Untung bapak dosen masih memberi kesempatan bagiku untuk mengerjakan.

"Iya, Mbak. Tapi, terus terang saya khawatir setelah dewasa dia menjadi pribadi yang malas. Ogah bekerja keras dulu, maunya langsung dapat. Maunya yang instan-instan." kata Bu Talim. Tapi sejujurnya saya heran sama Mbak Shaula."

"Heran kenapa, Bu?" selaku segera ingin tahu penyebabnya. Adakah yang aneh denganku?

"Mau bersusah-susah cari duit dari memulung sampah. Anak saya mana mau." ucap Bu Talim.

"Tergantung situasi dan kondisi, Bu." sahutku meringis. "Kepepet." lanjutku tergelak. "Oh ya, boleh saya minta tolong sama Ibu?"

Bu Talim mengerutkan keningnya, "Memangnya ada yang bisa saya bantu buat Mbak Shaula?"

"Ajari saya menganyam bungkus bekas minuman." jawabku sambil menyambar seonggok plastik besar bening yang menampilkan berbagai merek minuman.

Mendadak aku berubah pikiran. Yang semula ingin memanfaatkan tenaga Bu Talim yang hanya sebagai ibu rumah tangga agar berkarya. Berganti ingin mencoba menganyam sendiri. Kalau untuk percobaan produksi, tidak ada salahnya mengerjakan sendiri.

"Tergantung Mbak Shaula bisanya kapan?"

"Kalau mulai hari ini?" pintaku.

"Habis Asar?" Bu Talim mengajukan waktu yang tepat.

"Siap," seruku gembira.

Bersamaan dengan itu azan Asar terdengar. Aku pun berpamitan masuk untuk memenuhi panggilan itu.

Dua puluh menit kemudian aku sudah berjalan menuju rumah Bu Talim yang pintunya terbuka. Perempuan yang selalu berkerudung itu menyambutku sembari membereskan meja tamu yang penuh dengan aneka barang.

"Maaf, berantakan." ujarnya yang menumpuk berbagai barang di kursi terdekat. Kursi yang tidak mungkin aku duduki.

Namun, baru saja aku duduk. Ponselku telah menjerit nyaring. Satu nomor tidak dikenal memanggil.

Tanpa pikir panjang aku menerima panggilan itu. Suara laki-laki asing terdengar.

"Benar ini dengan Shaula Meina?"

"Iya, benar." sahutku sambil mengira-ngira siapa penelepon tidak dikenal ini. Pakai menyebut nama lengkap pula.

"Syukurlah, ketemu pemiliknya." desah kelegaan terdengar.

"Pemilik apa, Pak?" tanyaku sama sekali tidak mengerti maksudnya.

Selanjutnya aku mendengarkan penjelasannya dengan saksama. Mataku serta merta berbinar layaknya bintang Shaula.

Vagabond TrashWhere stories live. Discover now