Antara Pusar dan Sampah Yang Menguar

59 12 1
                                    

Eh ya, ada sebuah legenda yang mengawali terciptanya tempat pembuangan sampah. Legenda ini dituturkan oleh Damhuri Muhammad yang sudah banyak mengalami adaptasi.

Begini kisahnya, dulu ada sebuah kota kecil bernama Antala. Kota Antala adalah kota yang dilingkari sungai-sungai jernih. Kota yang asri, tenang dan sentosa. Penduduknya ramah dan suka bergotong-royong. Mereka bahkan mempunyai satu kebiasaan unik yang mencerminkan betapa hebat rasa kebersamaan mereka. Kebiasaan yang telah mentradisi itu adalah perayaan pesta bagi bayi yang baru lahir.

Pokoknya setiap ada kelahiran pasti otomatis ada sambutan pesta yang meriah. Hukumnya wajib, karena mereka yakin bahwa kelahiran jiwa baru akan membawa semangat pembaharu.

Suatu hari, lahirlah seorang bayi perempuan mungil nan cantik. Tetapi ada yang ganjil dari bayi itu. Dia tidak punya pusar. Sungguh suatu kejadian yang langka, luar biasa, belum pernah terjadi sebelumnya. Warga yang sudah bersiap-siap menyambut kehadiran bayi mungil itu menjadi resah dan urung mengadakan pesta.

Bayi yang seharusnya mereka sambut dengan suka cita malah dicemooh dengan berbagai gunjingan yang beredar. Masa lalu si ibu bayi pun tak luput menjadi santapan segar ibu-ibu sekitar. Asumsi-asumsi dengan penalaran gombal dipercayai dan menjadi berita massa. Macam berita hoaks, kalau zaman sekarang.

"Eh Jeng, tahu nggak kenapa bayi itu lahir tanpa pusar?" tanya seorang ibu saat sedang berbelanja di warung. Pakaiannya mencolok seiring perhiasan yang memenuhi leher, pergelangan tangan dan jari-jarinya.

"Dengar-dengar itu karena ulah ibunya sendiri yang suka pamer pusar," tanggap yang lain. "Pekerjaannya, kan begitu." Si ibu ini tak kalah mengundang perhatian. Mukanya penuh dengan warna dari pipi, bibir hingga kelopak mata. Seperti mau konser saja.

"Kasihan ya, anaknya yang menanggung karma ibunya." sahut seorang wanita yang penampilan lebih bersahaja. Saking sederhananya dia keluar dengan mengenakan piama mandi dan rambut yang masih digelung handuk.

"Iya, iya,"

"Amit-amit, deh!" Yang lain ikut bersahutan.

"Berarti bayi itu bayi kotor dong!" cetus seorang yang penampilan tampak normal tetapi dia selalu membawa handsanitizer di tangan. Setelah memegang barang dagangan, antiseptik tangan tak lupa dia semprotkan.

Ibu-ibu yang lain sepakat mengangguk mengamini. Malah ada yang bergidik jijik.

Gara-gara pergunjingan tidak jelas tersebut, akhirnya diadakan rapat kota untuk membahas bayi tanpa pusar. Apalagi bayi itu lahir tanpa ayah. Rapat berlangsung sengit, sebagian warga menginginkan bayi itu di buang saja untuk menghapus aib yang sebelumnya belum pernah ada.

Sungguh tega. Warga secara paksa merebut bayi dari gendongan sang bunda lalu melemparkan bayi itu ke dalam sungai. Sang bunda yang dibelenggu tak mampu berbuat apa-apa hanya bisa menangis histeris.

Tahun-tahun berganti, kota Antala berkembang pesat menjadi kota besar dengan segala modernisasi yang memudahkan segala aktivitas. Orang-orang pun sudah melupakan perihal bayi tanpa pusar yang pernah menggemparkan dulu. Namun, suatu ketika keresahan melanda kembali kota Antala.

Entah dari mana datangnya tiba-tiba saja muncul sampah-sampah berserakan memenuhi sekitar rumah warga. Aroma tidak sedap memenuhi seluruh kota. Petugas kebersihan menyatakan tidak sanggup jika setiap hari harus kerja rodi membersihkan sampah yang tiba-tiba selalu ada begitu pagi menyapa.

Akhirnya penguasa kota menginstruksikan agar warga turut bertanggung jawab atas kebersihan kota. Setiap pagi begitu bangun tidur warga kota yang dewasa telah siap dengan sapu dan wadahnya. Sampah-sampah itu lalu mereka lemparkan ke sungai sebagaimana biasa mereka membuang sampah harian.

Vagabond TrashWhere stories live. Discover now