Hai Bintang Aldebaran, Tunjukkan Pesonamu!

91 21 4
                                    

Kira-kira pukul satu aku sudah bertengger di atap kontrakan. Setelah menolong Alde, memang aku sempat naik lagi ke atap. Tetapi angin malam nyatanya terlalu dingin menyerang kulit. Aku pun turun menunggu dalam rumah lalu keluar kembali pada perkiraan hujan meteor akan pecah. Sempat terlelap. Untung alarm yang kupasang berhasil membangunkanku.

Selain pakai jaket aku juga menyelubungi tubuh pakai kain pantai. Serasa di pantai pokoknya, menikmati hawa dingin malam, menatap bintang yang bertaburan menghias angkasa hitam. Aku duduk dengan memeluk lutut. Lentera dengan cahaya remang menemani.

Sementara itu mataku terus menatap ke langit. Kadang berputar-putar mengawasi sekitar seperti burung hantu yang mengincar hidangan makan malam.

Kalau dibilang kurang kerjaan, biarin. Bagiku ini semacam obsesi yang tidak kesampaian. Setelah dipikir-pikir, seharusnya aku sekarang sedang menaiki salah satu batu yang menghujani bumi nanti, seperti atraksi para pemain akrobat. Atau ikut terbang di antara guliran batu-batu di angkasa itu dengan papan selancar seolah sedang mengarungi ombak. Khayalan super fiksi. Efek suka menonton film science fiction luar angkasa, barangkali.

Tetapi yang sesungguhnya aku mungkin sedang mengenang tentang cita-cita semasa kanak-kanak dulu. Ketika SD, aku punya cita-cita maha tinggi. Satu cita-cita yang membuat orangtua bangga meski terdengar muskil. Yap, aku ingin menjadi astronot. Dan cita-cita itu sanggup bertahan hingga SMP.

Aku pikir waktu itu, jadi astronot pasti sangat menyenangkan. Bisa pergi keluar bumi, menikmati ruang hampa udara, bisa ketemu komet, meteor dan bintang. Satu lagi, aku nantinya bakalan bisa duduk di bulan dan gantian menatap bumi kelahiran. Atau jalan-jalan dari planet ke planet, ber-say hello dengan mahluk luar angkasa lain. Siapa tahu bisa ketemu mahluk yang ada di 'Star Wars'. Kopi darat dengan sahabat pena antariksa yang pernah kukirimi pesan berjudul 'Surat Cinta Untuk Star Trek'. Asal jangan ketemu mahluk yang ada di film 'Aliens'. Tetapi kalau ketemu sepertinya asyik. Bisa bertempur habis-habisan dengan alien itu.

Tak terasa aku telah meringis dengan gigi kuning ingin menyaingi kerlip bintang di langit. Mimpi tinggal mimpi, cita-cita cuma pemanis angan masa kecil.

Akhirnya aku terbangun ketika masuk SMA. Menyadari satu hal bahwa otakku ternyata sangat pas-pasan. Aku masuk jurusan IPS gara-gara benci pelajaran yang menyangkut matematika, fisika, dan antek-anteknya. Ah, buat pusing kepala saja. Padahal untuk jadi seorang pilot pesawat luar angkasa katanya harus orang yang pintar. Jangan jauh-jauh, pilot pesawat biasa saja harus yang berotak encer. Hh... gitu deh. Cita-citaku itu ibarat bunga pupus sebelum berkembang.

"Heh, siapa itu!" tegur sebuah suara di antara kesunyian yang mendera.

"Yaaai!" Aku super kaget sampai hampir terjungkal ke belakang. Habisnya dudukku sambil jungkat-jungkit pakai pantat. "Astagfirullah!" aku menoleh ke sumber suara yang berasal dari tangga. Spontan menyorotkan senter ke sosok yang nongol dari sana. Dan berharap itu bukan hantu.

Sosok yang segera kuyakini sebagai manusia menutupi matanya dengan tangan yang membuka ke arahku. Aku segera mematikan senter sorot, dan tetap menyalakan penerangan yang bersinar antara ada dan tiada.

Pria yang beberapa jam lalu dikeroyok oleh tiga orang tidak jelas sekilas lalu tampak sedang menahan senyum geli. Terlihat dari bias putih dari penampakan kepala. Kupikir itu gigi yang menyembul di antara mulutnya. "Sori, nggak sengaja!" katanya melangkah ke tengah atap dari cor baja di sebelah.

"Untung tidak punya penyakit jantung." Aku menepuk-nepuk pelan dada sebelah kiri. "Bisa koit aku. Lain kali kalau mau menegur orang pakai salam." rutukku. "Jangan kayak jaelangkung."

"Lagi ngapain? Kok sendirian?" tanya Alde yang duduk bersila segaris lurus dari tempatku meringkuk.

"Kamu sendiri ngapain?" tanyaku balik.

Vagabond TrashWhere stories live. Discover now