Adakah Hati Menjadi Ambigu

24 4 0
                                    

Dalam benak yang masih berkejaran tentang Senpai Ian dan Senpai Grisel, aku berkeliaran di sekitar pusat perbelanjaan demi dapat memulung gelas plastik mineral, bekas botol mineral dan juga jenis sampah plastik yang lain. Untuk mewadahi itu, agar tidak terkesan kumuh aku membeli tas karung plastik travel lipat. Warna ungu dengan motif lambang cinta pink akan terkesan unyu-unyu menjauhkan image dari isinya yang berupa sampah.

Pokoknya setelah menetapkan profesi diri sebagai pemulung, ke mana-mana aku selalu membawa tas itu. Aku memiliki dua tas karung itu. Satu model jinjing, satu lagi model gendong punggung. Biasanya itu kupakai secara bergantian. Yang habis pakai langsung kucuci lalu diangin-anginkan sampai kering. Baru dipakai lagi.

Aku memutuskan pulang setelah satu tas penuh dengan barang yang orang anggap sampah. Berjalan balik arah menuju Supermarket Moro di mana motorku masih terparkir di sana. Satu dua kali aku mendesah, terngiang pertemuan dengan Senpai Grisel dan Senpai Ian yang sungguh terlihat serasi.

Adakah terbit cemburu? Aku tidak tahu. Yang jelas di suatu tempat di dalam hatiku terasa ada lubang yang makin lama semakin melebar.

Sampai di rumah aku langsung memilah sampah yang kudapat hari ini. Tetapi sore ini aku tidak terlalu antusias mengerjakan aktivitas itu. Entah mengapa aku merasa seperti sampah-sampah ini sebelum kupungut. Terbiar merana, kadang terombang-ambing oleh keadaan. Ditendang oleh binatang, atau terbang oleh angin yang sebenarnya tidak terlalu kencang. Lalu terdampar setengah merana di sini.

Kalau situasiku. Mungkin lebih tepatnya kalau aku yang menjatuhkan diri, kemudian ditendang. Pada detik ini juga aku yang semula berjanji akan datang latihan agar bisa naik tingkat hingga mencapai Dan 1, berubah pikiran. Enggan datang, apalagi kalau harus bertemu dengan Senpai Grisel.

Tentang keberadaan Senpai Ian, itu tidak menjadi kekhawatiranku, karena memang dia bekerja di luar kota tepatnya di Jakarta sana, dan hari ini pasti dia sengaja pulang untuk bertemu dengan kekasih tercinta.

Aku lupa menanyakan apakah mereka menjalani hubungan jarak jauh. Tetapi itu mana sempat terpikir, ketika hatiku sedang teraduk-aduk antara masa lalu dan sekarang. Tentang posisiku kini yang sebagai mantan, dan dulu sebagai pacar pria yang telah menjadi tunangan orang.

"Bengong, dia!" tegur Erli saat melihat poseku sedang memegang botol mineral dan membiarkannya menggantung di udara.

"Eh, udah pulang Li." tanggapku segera melempar botol itu ke kumpulannya yang terbuang.

"Ada apa lagi?" tanyanya. "Akhir-akhir ini kamu sering terlihat galau."

"Siapa yang galau?" elakku mencibir ke arahnya. "Cuma sedang berpikir tentang sesuatu." dalihku sembari menggerakkan tangan kembali bekerja.

"Sama aja kali," balas Erli.

"Beda dong, kalau berpikir aku sudah pasti sedang merencanakan sesuatu. Otak tidak benar-benar kosong. Kalau bengong sudah pasti otak sedang tidak memikirkan apapun. Dan kenyataannya aku memang benar-benar sedang berpikir." dalihku tidak mau ketahuan sedang bimbang perkara hati.

"Bagiku sama aja, kamu terlihat kosong." ucap Erli yang masih setia menunggu cerocos sok tahuku. Dia tidak juga beranjak naik ke teras rumah. "Mikirin cowok ya, gebetan?" tebak Erli membuatku sedikit menjengit.

"Hah?" Tebakan Erli mendekati benar.

"Iya, kan?"

"Bukaaan!" elakku keras seiring kepala yang mendongak menoleh pada Erli.

"Terus apa?" Erli menghampiriku dan berjongkok sambil memandang wajahku.

"Apa ya?" Aku menggaruk alisku.

"Kok malah tanya?" Erli sudah menjitak kepalaku.

"Gini, sebenarnya, aku iri sama kamu yang bisa bekerja dan langsung bisa menghasilkan uang." ucapku mengatakan sesuatu yang lain, bukan tentang Senpai Ian. Sesuatu yang juga mengganggu pikiran.

Terdengar desahan dari Erli. "Kalau aku bisa memilih seperti kamu, aku akan memilih jadi mahasiswa saja. Berkumpul sana-sini bareng teman-teman, belajar ilmu baru ketimbang bergumul dengan uang yang banyak tapi bukan milikku. Sudah gitu, kadang harus nombok lagi." Erli menghembuskan napas dengan keras. "Kondisi keuangan orangtua membuatku harus langsung bekerja setelah selesai diploma."

Urat senyumku sontak putus. Sehingga mulutku yang masih menampakkan gigi kini telah membentuk satu seringai yang aneh. Kata-kata Erli menjadi penyebab mulutku tidak lagi bisa tersenyum dengan sewajarnya atau menanggapi segera ucapannya.

Dan kupikir Erli sedang bilang; kamu sungguh tidak mensyukuri hidupmu. Aku merasa terpasung hingga tidak bisa bergerak. Sepertinya aku telah menjadi seorang yang kufur nikmat.

"Kalau aku jadi kamu, aku nggak mau repot mengurusi sampah-sampah itu. Tinggal minta sama orangtua saja, pasti dikasih, kan?" lanjut Erli.

Letusan kata Erli kali ini aku agak kurang setuju. Orangtuaku juga tidak berlimpah uang yang setiap saat bisa langsung kumintai uang. Lagi pula aku juga bukan tipe orang yang suka berkali-kali meminta uang pada bapak atau ibu. Tetap ada rasa sungkan meski mungkin itu sudah menjadi hakku selagi menjadi tanggungan mereka.

Aku menggeleng, "Enggak Li. Kalau sedang enggak panen keuangan keluargaku juga pas-pasan." sanggahku. "Makanya aku ingin mengusahakan sesuatu, agar aku bisa mendapat uang tambahan tanpa sering meminta pada mereka."

"Ah, kurasa aku yang menjadi iri sama kamu." ucap Erli yang masih betah jongkok meski memakai sepatu hak tinggi. Padahal aku khawatir dia bakal cepat kesemutan. "Kamu bisa kuliah, tetapi juga masih ingin mencari uang. Salut!" Erli mengangkat jempolnya ke arahku.

"Kalau gitu aku enggak jadi iri sama kamu." balasku yang sudah berhasil melemaskan otot senyum. Sesuatu tentang Senpai Ian seolah menguap begitu saja.

"Baguslah," tanggap Erli. "Hidupmu jauh lebih berwarna, kan?"

Aku menelengkan kepala. Apakah benar hidupku berwarna seperti kata Erli barusan?

"Kuliah dan menghasilkan uang. Menurutku itu sulit." imbuh Erli membuatku berpikir ulang bisakah aku menjalankan keduanya nanti tanpa timpang.

"Sudah ah, aku mau mandi. Gerah!" ucapnya kemudian berdiri sambil melepas sepatu high heels setinggi lima senti. Setelah lepas dari sepatu yang kupikir pasti menyiksa kaki, langkah Erli terlihat girang. Seperti anak kecil yang terbiar di tanah yang lapang.

Saat bersamaan azan Asar terdengar. Aku menghentikan aktivitasku. Selain ingin menjalankan salat, aku juga ingin berkonsultasi hal lain pada Erli.

Tampaknya aku tetap perlu berkonsultasi tentang Senpai Ian. Tentang bagaimana cara untuk menghentikan ratapan penyesalanku kepadanya.

***

Erli mendengarkan ceritaku dengan saksama. Tangannya bersedekap sementara kedua alisnya sampai berkerut-kerut.

"Kamu sungguh wanita yang kejam." komentar Erli kemudian.

Mendengar itu aku merasa terperosok ke dalam tong sampah raksasa. Bahkan tidak yakin bisa terpilih didaur ulang.

"Dan sekarang kamu menyesali karena dulu telah memutuskan dia?" lanjut Erli ketika aku masih menatapnya setengah kosong.

Aku memiringkan kepala. Mencerna bagaimana hatiku mengindera rasa. Sesungguhnya tidak bisa dikatakan bahwa aku murni menyesal. Mungkin lebih tepat kalau aku tidak bisa menyembunyikan rasa malu, karena setelah aku menolaknya dia mendapat yang lebih baik dariku. Tetapi, entahlah.

Atau mungkin aku hanya tidak tahan dia seolah mengejekku. Meski tatapannya yang terakhir kali saat memaling padaku, terlihat sayu. Bukan tatapan memojokkan, membanggakan diri atau merasa telah menang.

"Enggak juga," jawabku sesuai dengan keadaan hatiku yang terasa abu-abu.

"Terus kenapa mesti memusingkan pertemuan kalian kemarin?"

"Kenapa ya?" aku menggerakkan daguku ke kiri dan ke kanan.

"Kamu merasa iri dengan Senpai Grisel atau malah cemburu?" tanya Erli ikutan memanggil seniorku di Kempo dengan imbuhan senpai.

Aku yang mendengarnya sedikit merasa ambigu. Seperti hatiku yang tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.

Vagabond TrashWhere stories live. Discover now