Remuk Yang Menyenangkan

17 5 0
                                    

Seharian ini aku sungguh merasa resah. Bahkan saat kuliah pun materi yang sedang dosen dongengkan sama sekali tidak masuk ke otak. Rencana ingin membuat proposal kerja sama dengan Soraya Pasha juga akhirnya seperti terjegal batu karang.

Apalagi badanku mulai terasa gatal-gatal. Aku pernah bilang kan, kala rasa penasaran melanda akut, badanku seperti digeramangi ribuan semut.

Sebab musabab kenapa aku menderita penasaran, itu karena Mas Pras yang kemarin aku datangi mengatakan hal yang mengejutkan di luar dugaan. Aku seperti baru saja kena prank.

Mas Pras tanpa rasa bersalah, mengatakan kalau dia hanya disuruh oleh bos-nya. Bos yang jati dirinya tidak ingin diketahui.

"Maaf, saya tidak bisa ngomong siapa orangnya Mbak. Dia bilang ingin segera datang kalau sudah waktunya." ucap Mas Pras setelah aku mendesak sedemikian rupa tetapi sama sekali tidak keluar informasi dari mulutnya.

Loyal sekali Mas Pras itu. Memangnya dia dibayar berapa untuk melakukan tugas pesan bunga sekaligus merahasiakan identitas si pengirim bunga.

Parahnya tebakkanku tentang jati diri Mas Pras ternyata salah. Kupikir dia satpam di rumah Alde. Ternyata bukan. Sepertinya aku salah mengenali orang.

Tidak hanya itu. Setelah kami pulang, tiba-tiba datang pesan dari Mas Pras yang mengatakan bahwa bosnya mau datang ke rumahku besok sore. Yang berarti sore hari ini.

Itulah yang membuatku menjadi gundah gulana, resah dan gelisah menebak-nebak siapa gerangan orang yang sudah mengirimiku bunga lily. Apakah orang itu seorang yang baik, punya niat yang benar, serta tidak memiliki maksud tersembunyi sama seperti ucapan yang menyertai kehadiran buket bunga?

Hal lain yang membuatku bertambah cemas, adalah karena Erli hari ini masuk shift siang. Yang berarti aku harus menghadapi orang itu sendirian. Terus terang aku lebih baik menghadapi penjahat sekalian, daripada bertemu dengan orang yang statusnya abu-abu.

Entah mengapa hari ini waktu berputar sangat cepat. Tiba-tiba saja sudah jam setengah tiga. Dadaku setiap detiknya makin berdebar. Apakah aku perlu meminta Bu Talim supaya menemani. Barangkali keberadaan Pak Talim yang sama-sama pejantan lebih menenangkan.

Aku melongok keluar, mengawasi rumah Pak Talim yang lengang meski pintu depan terbuka. Sangat berharap salah satu dari pasangan suami istri itu keluar lalu duduk-duduk di luar, melakukan pekerjaan memilah sampah atau mengerjakan aktivitas yang lain.

Mataku segera kualihkan pada tumpukan sampah di area depan rumah kontrakkanku. Ada tumpukan sampah yang belum terpilah rapi. Merasa tidak nyaman melihat pemandangan itu, kakiku telah melangkah turun menyambut pekerjaan yang terbengkelai selama dua hari ini.

"Ayo, kita bereskan!" dengusku lalu menyambar jengkok atau kuanggap demikian, karena jengkokku itu berupa rongsokan printer jenis laser.

Selanjutnya aku mulai bekerja membuka tutup botol bekas mineral untuk dipisah dari badannya. Meski kecil dan seperti tidak berguna, nyatanya tutup botol bekas air mineral punya nilai jual sendiri. Malah lebih mahal ketimbang botolnya.

Oh ya, makin jauh aku menjalani pekerjaan sebagai pemulung. Makin aku tahu harga sampah yang mahal. Maka dari itu, saat ini aku lebih fokus pada memungut botol bekas.

Untuk plastik bekas minuman, aku hanya akan mencari yang kondisinya masih rapi. Atau dari anggota bank sampah yang telah kami kondisikan terkait bentuk guntingan agar seragam.

Tak salah kiranya aku segera bergerak melakukan sesuatu yang berdaya guna daripada bergalau ria. Kegiatan memisah antara botol dengan tutupnya ternyata cukup menyenangkan. Dapat menghalau rusuh yang ada di kepala. Seperti sedang menyalurkan emosi negatif melalui jemari tangan saat meremukkan badan botol yang malang.

Proses memipihkan botol dalam suara yang gemeresak, bagiku seperti selesai mengejan membuang kotoran. Terbit kelegaan tidak terkata.

Hatiku yang semula menyerupai botol plastik yang telah kuremuk penuh carut marut berubah sebening air nan tenang. Gambaran hatiku yang semula kusut seolah termigrasi pada beberapa botol yang telah terkumpul di samping kiri.

Tampaknya aku harus berterima kasih pada para pembuang sampah yang membiarkan bekas botol minuman terbuang tetap utuh, sehingga memberiku hiburan tersendiri seperti sekarang ini. Padahal kaidah yang elok, sebelum membuang botol bekas seharusnya meremukkan terlebih dahulu. Hal itu untuk menghindari penggunaan ulang botol bekas sekali pakai oleh orang yang tidak bertanggungjawab.

Memang akibat penggunaan botol bekas dengan simbol angka satu yang biasanya tertera di bawah botol terjadi secara tidak langsung. Tetapi bila terus menerus menggunakan botol bekas, orang bersangkutan beresiko mempunyai penyakit paru-paru dan jantung.

Azan Asar segera terdengar. Aku meregangkan tubuh ke kiri dan kanan. Menjulurkan kepala ke arah pintu gerbang dan segera mendapati seorang pria masuk dari sana. Orang yang kukenal dengan membawa tanda tanya besar.

"Kenapa dia yang datang?" bisikku meski kemudian aku justru merasa senang.

Ya, tentu saja. Alde bisa menjadi tamengku saat Om Bull nanti datang.

Aku segera meloncat berdiri dan menyambutnya dengan riang.

"Ada apa?" tanya Alde keheranan, mungkin juga menjadi curiga atas senyum yang kusunggingkan terlalu lebar.

"Sudah lama ya, kita nggak ketemu. Apakah semuanya baik-baik aja?" tanyaku berbasa-basi sejenak. Otakku lalu berputar mengenai rencanaku yang ingin mengajukan kerja sama dengan mamanya.

"Semua terselesaikan dengan indah." sahut Alde. "Perjanjian berpayung hukum cukup melindungi aku juga asetku."

"Oh," aku manggut-manggut. "Ah ya, mari silakan masuk!" Ajakku berjalan menuju teras rumah.

"Gimana kabar mamamu?" tanyaku saat Alde telah duduk di kursi teras berbentuk risban. Kursi kayu memanjang serta lebih lebar dari kursi pada umumnya. Sementara aku mengambil duduk di penampang teras, merapat tiang besi.

"Alhamdulillah baik," jawab Alde sambil memandangku yang tiba-tiba merasa canggung. "Dia sempat menanyakan kamu?"

Aku meringis tambah kikuk. Aneh sekali rasanya tiba-tiba berbincang berdua dengan Alde dalam suasana yang damai. Biasanya kalau kami bertemu pasti situasinya penuh debar mencekam. Entah, Alde sedang babak belur. Atau malah sedang dikejar-kejar orang.

"Salam aja, kalau begitu." sahutku sambil berusaha tetap bersikap biasa.

"Ya, nanti aku sampaikan." tanggap Alde dengan mengutas senyum. "Jadi maksud kedatanganku kali ini—."

"Tunggu sebentar!" aku tahu sangat tidak sopan memotong perkataan orang. Tetapi aku ingin segera memanfaatkan momen sebelum Om Bull datang. Kupikir kami harus segera melakukan percakapan yang berarti dari sekadar basa-basi atau omong kosong.

"Eh, ada apa?" Alde terkejut dengan gerakan berdiriku yang sekonyong-konyong, serta pemotongan kata di tengah jalan.

"Ada yang mau aku perlihatkan sama kamu. Tunggu ya, jangan ke mana-mana." ucapku seolah Alde bakal kabur selagi menunggu.

Sekilas aku melihat anggukan kepala Alde, sebelum tubuhku menyelinap ke balik pintu dan menghilang dari pandangannya.

Dengan setengah berlari aku masuk ke kamar. Tas yang tergeletak di meja segera kusambar. Perasaanku serta merta membuncah. Aku ingin tahu pendapat Alde terlebih dahulu sebelum ide tas tersebut sampai pada Soraya Pasha.

"Jreng!" aku melompat keluar seperti asisten pesulap yang baru muncul setelah menghilang.

Akan tetapi tubuhku mendadak menjadi kaku begitu melihat Alde tidak lagi duduk sendiri. Ada seorang pria lagi. Seorang pria yang familiar dalam kehidupanku yang dulu.

Dan yang lebih mencengangkan, pria itu dengan segera menyerahkan setangkai bunga mawar dengan gerakan yang sanggup melelehkan seluruh sendiku, seharusnya. Meski yang kurasakan sekarang justru perasaan ketika aku gagal menjadi atlet kempo untuk pra PON.

Vagabond TrashWhere stories live. Discover now