Sebenarnya Apa Yang Terjadi?

19 3 0
                                    

Ketika mataku membuka kembali keadaan sekitar telah menjadi remang-remang. Aku terduduk rapi di kursi. Kedua tanganku terikat ke belakang demikian juga dengan kedua kakiku terikat pada kaki kursi.

Di sekitarku hanya terlihat tembok abu-abu dengan beberapa bagian memiliki warna lebih gelap. Saat mata kuarahkan ke atas, hampir sebagian langit-langitnya telah berjatuhan. Bahkan bekas puingnya masih berserakan di lantai.

Luas ruangan tempatku berada saat ini kutaksir kurang lebih dua ratus meter persegi. Mungkin dulunya bangunan ini merupakan sebuah gudang yang kini telah ditinggalkan. Terlihat dari adanya satu pintu masuk tanpa jendela. Hanya ventilasi kaca di atas yang kondisinya pecah di beberapa bagian. Dari ventilasi itu, sumber cahaya masuk ke dalam ruangan yang makin lama makin terasa menyeramkan.

Aku segera celingukan dengan cepat. Sungguh aku sangat takut bila ada sosok lain yang ternyata sedang menemaniku. Mata kupejamkan dengan harapan ini hanya mimpi. Namun, ketika terdengar derit pintu dibuka. Satu-satunya pintu yang tepat lurus di depanku, seseorang tampak berjalan ke arahku.

Mendengar derak langkahnya kuyakin dia manusia. Entah mengapa aku menjadi lega. Setidaknya itu orang betulan. Bukan penampakan yang tidak diharapkan.

Seorang pria yang tingginya kurang lebih 170-an sentimeter menatapku tajam. Rambut bagian atasnya tegak seperti kulit durian. Di tangannya membawa satu kotak kecil yang kutebak makanan. Berharap demikian, mengingat perut yang sedang bertabuh layaknya genderang perang.

Aku hanya bisa mengerang. Mulutku turut dibebat kain yang berakhir sebagai tadah air liur.

"Jangan berisik!" ucapnya sambil meletakkan kotak kecil berwarna putih di pangkuanku. "Makan itu!" perintahnya lagi.

Dia langsung saja berlalu tanpa melepaskan ikatan di tangan atau mulutku. Apa-apaan coba? Bagaimana aku mau makan dengan tangan dan mulut terikat?

Terpaksa aku mengerang lebih keras agar mendapatkan perhatian pria berkepala durian itu sebelum keluar dari pintu.

Pria itu menoleh padaku. "Ada apa? Dibilang jangan berisik."

Aku menjulur-julurkan dagu ke arah nasi kotak sebagai isyarat. Aku juga menggerakkan bahu kanan untuk menunjukkan bahwa tanganku masih terikat di belakang.

"Ah ya, lupa." ujar pria yang ternyata dari dekat memiliki kumis tipis. "Tapi kamu jangan macam-macam."

Aku mengangguk mantap dua kali, dengan erangan yang menyatakan; OK.

Tanpa banyak kata, pria berkepala durian melepaskan ikatan tanganku. Tetapi hanya tangan kanan yang dia buka ikatannya. Tangan kiri dia ikat lagi ke sandaran kursi. Selanjutnya giliran bungkam mulutku yang dia buka.

"Nah, kalau gini saya bisa makan, kan, Om." kataku sambil mengambil napas bebas.

Dia melihatku tanpa berkata-kata. Gerak selanjutnya dia sudah melangkah pergi lagi. Aku turut tidak mengacuhkannya. Tuntutan perut yang meraung-raung membuatku lebih memilih untuk makan dulu baru berpikir kemudian mengenai; apa yang sedang terjadi? Kenapa aku bisa di sini juga dan bagaimana caranya aku nanti akan meloloskan diri.

Selesai makan aku justru merasa frustasi. Pria tadi tidak memberiku minum. Ini sama saja mau membunuhku dengan cepat. Seingatku orang tanpa makan bisa tetap hidup setidaknya hingga satu minggu bahkan sebulan. Tetapi bila tanpa minum sama sekali, tubuh hanya akan bertahan selama tiga hari.

"Paman!" teriakku kemudian. "Minumnya belum ada!"

Sunyi.

Yang terdengar hanya gema suara sendiri. Aku menjadi merinding lagi. Tengak-tengok ke sekeliling sambil berdoa semoga tidak ada yang menggangguku.

Dalam tangan bergetar aku berusaha melepaskan tali yang mengikat kaki. Dan bukan pekerjaan yang mudah melakukan sesuatu dengan hanya menggunakan satu tangan. Pada detik itu aku merasa bersyukur karena diberi kelengkapan anggota tubuh.

Pokoknya sama sekali tidak bisa membayangkan kalau cuma punya satu tangan dan bersusah-susah seperti sekarang berusaha melepaskan tali yang mengikat kaki. Orang-orang dengan kekurangan semacam itu pastilah orang pilihan yang luar biasa.

Aku tengah berkonsentrasi penuh mencari cara melepas ikatan pada kaki hingga tidak sadar ada yang sedang memperhatikanku dengan jarak yang sangat dekat. Nyaris saja aku pingsan begitu menyadarinya. Penampakan botak, gendut, memakai baju serba putih berdiri bersedekap memelototiku.

Spontan aku membaca ayat kursi sambil memejamkan mata.

"Kamu pikir aku tuyul. Sembarangan!" Suara itu membuatku membuka mata untuk melihat dengan saksama.

"Bapak beneran orang?" tanyaku.

"Nih, minumnya." kata pria dengan tubuh gendut itu, seraya menyodorkan botol air mineral.

Berhubung aku sangat haus, aku langsung menyambar botol yang terulur ke arahku. Dan, pria gendut ini menurutku lebih pengertian dibandingkan dengan pria berambut durian tadi. Buktinya dia telah membukakan tutup botol airnya sehingga aku tidak perlu kerepotan saat mau meminumnya.

"Makasih, Pak." ucapku bersungguh-sungguh. Botol telah berpindah tangan.

Pria itu meletakkan botol di lantai kemudian melepaskan tali yang mengikat kakiku. Tetapi sebagai gantinya dia menambahkan borgol ke kakiku.

Sebenarnya bisa saja aku melancarkan serangan saat pria itu berjongkok di depanku. Tangan kananku yang bebas bisa melakukan serangan mematikan ke arah tengkuknya. Kenapa dia lengah. Apa karena dia menganggapku gadis yang lemah?

Seharusnya dia mengunci tanganku dulu sebelum mengekang kakiku. Untungnya aku tidak berniat melarikan diri untuk saat ini.

Aku justru penasaran kenapa sampai disekap oleh orang yang tidak kukenal ini. Cukup mengherankan, mengingat diriku yang notabene bukan anak orang kaya. Memangnya mereka mau minta tebusan apa pada orang tuaku?

"Pak, Bapak yakin enggak salah culik orang?" tanyaku pada pria gendut yang sudah beranjak dan mencengkeram tangan kananku yang bebas.

"Nggak salah." sahutnya singkat.

"Tapi orangtua saya hanya petani biasa lho. Nggak punya banyak uang." kataku meyakinkan dirinya.

"Yah, kalau orangtuamu tidak mampu, mungkin ada orang lain yang sanggup menebusmu." ucapnya sambil menghela napas.

"Siapa?"

"Udah jangan banyak tanya." jawabnya lalu membekap lagi mulutku.

"Paak..." erangku berontak memanggilnya. Maksudku aku tidak mau kalau mulutku ikut dibekam. Setidaknya aku ingin mengobrol lebih banyak dengannya, mengenai alasan aku berada di sini.

Atau melakukan negosiasi, memohon jangan meninggalkan aku di ruangan ini sendirian. Tetapi pria gendut yang kuanggap lebih ramah ini sama sekali tidak bernafsu meladeni kecamuk berbagai pertanyaan yang menggumpal di benakku.

"Kami tidak akan menyakitimu. Kalau pertukarannya selesai, kamu bebas."

"Aaak..." erangku lagi yang terdengar seperti jeritan buruk gagak. Sempat terpikir haruskah aku terus mengeak seperti itu agar sekumpulan burung gagak datang menyerbu kemari dan membebaskanku.

Pupus sudah. Pintu yang semula terbuka memberi hawa segar telah tertutup kembali. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Berpeluk ketakutan lagi.

Mulutku kemudian telah komat-kamit membaca doa yang katanya bisa untuk menghalau hantu. Rasanya sungguh ingin menangis. Sudah begitu, mendadak aku ingin pipis. Lengkaplah penderitaanku sekarang.

Lalu, ketika sedang dirundung ketakutan yang sangat. Sebuah bayangan tampak bergerak-gerak di sisi sebelah kanan. Suara yang seperti rintihan samar menyergap indera pendengaran. Jantungku yang sudah berpacu kencang, bertambah debarnya sehingga rasanya mau meloncat keluar.

Pada titik kritis tersebut tiba-tiba ada yang menyapu kakiku. Dan, entah mendapat kekuatan darimana aku telah berlari dengan cara melompat-lompat, mengangkat kursi menabrakkan diri ke pintu berharap bisa mendobraknya. 

Vagabond TrashOù les histoires vivent. Découvrez maintenant