Memungut Manusia

90 22 7
                                    

"Tolong, tolong... ada maling... rampok... tolong!" teriakku sekeras-kerasnya sembari mundur cepat ke jalan dengan kaki tetap posisi kuda-kuda waspada. Dan itulah jurus tersaktiku.

Ketiga pria itu tampak panik. Mereka saling memberi kode agar kabur daripada tertangkap massa.

"Dasar cewek sial!" umpat si Botak penuh dendam melewatiku yang telah berdiri di tengah jalan beraspal yang sepi menantikan pertolongan.

Ketiganya bergegas menuju mobil yang terparkir melesak ke kanan dengan roda depan sebelah kanan jatuh dari bahu aspal. Sebelum masuk ke mobil Si Pria Bertopi sempat berbalik, mengancamku dengan isyarat menggorokkan tangan ke lehernya.

Tak lama setelah itu beberapa orang menghambur keluar dari halaman rumah masing-masing, tepat setelah mobil penjahat pergi menyisakan asap. Beruntung sekali mereka. Cepat tanggap sehingga selamat dari amuk warga.

Aku segera menghampiri laki-laki yang terhempas ke tumpukan sampah. Bersamaan dengan Pak Wiryo, Bapak-ibu Talim si pemilik rumah kontrakan dan beberapa tetangga yang datang mengerubuti aku dan laki-laki malang itu.

"Mbak Shaula, tidak apa-apa?" tanya Pak Talim.

"Aman, Pak. Cuma dia, nih!" ucapku yang langsung berjongkok untuk melihat kondisi orang yang dihajar tadi. Sekaligus menyembunyikan perih di mukaku.

"Temannya?" tanya Bu Talim.

"Bukan. Tadi tiba-tiba ada orang yang mengeroyok dan memukuli Mas ini. Eh, nama Mas siapa?" tanyaku sambil membantunya berdiri bersama dengan Pak Talim.

"Alde." sahutnya singkat.

"Gimana, Mas?" tanya Pak Wiryo yang mendekat dengan menyorotkan cahaya senter dari ponselnya.

"Nggak pa-pa, Pak." katanya sambil meraba sudut bibir yang bengkak, berdarah. Selain itu, mata kirinya juga terlihat lebam. Bahkan pelipisnya merembes satu cairan berwarna merah.

"Sebaiknya bersihkan dulu lukanya!" aku menunjuk muka orang yang mengenalkan diri sebagai Alde. "Berdarah, tuh!"

"Nggak usah!" tolak Alde yang berdiri setengah sempoyongan, "Makasih."

"Berdiri saja enggak tegak. Ayo!" Pak Talim menggamit tangan Alde, menyeretnya keluar dari tempat pembuangan sampah.

Orang-orang yang mengerumuninya memberi jalan. Lalu melangkah mengikuti Pak Talim dan si pria malang. Aku menyusul paling belakang. Tiba di pintu gerbang Alde terlihat menolak masuk.

"Luka-lukanya diobati dulu. Mari!" Bu Talim memaksa. "Atau setidaknya minum dulu."

Alde terlihat berpikir menimbang.

"Saya sebagai RT juga perlu tahu ada kejadian apa di lingkungan saya." Pak Fendi ketua RT ambil suara.

"Baik," sahut Alde membiarkan tubuhnya melaju bersama Pak Talim.

Beberapa orang memilih kembali ke rumah, kecuali Pak Fendi dan Pak Wiryo tetangga terdekat Pak Talim. Bu Talim tergopoh-gopoh membukakan pintu rumah yang tepat bersebelahan dengan kontrakanku. Ada celah yang menghubungkan antara rumah Pak Talim dengan rumah yang dikontrakkannya itu. Celah itu menjadi garasi motor dan pijakan anak tangga menuju tempat jemuran.

Pak RT Fendi yang duduk tepat depan Alde langsung mengintrogasinya. Dari tanya soal peristiwa tadi sampai dengan menanyakan tempat tinggal. Jatahku kebagian merawat luka Alde. Agak canggung, sih! Tiba-tiba Bu Talim menyodori rivanol dan kain kasa, menunjuk mukaku dan Alde. Kebetulan memang tempat dudukku menyiku dengan tempat duduk Alde di sofa terluar. Sementara aku, meski duduk terpisah dengan kursi yang berbeda, tetapi lebih menjangkau pria yang menderita luka-luka itu. Ruang tamu yang sempit menjadi penyebab Bu Talim susah menjangkaunya karena terhalang posisi dudukku.

"Aouuu!" erangnya kesakitan.

"Aduh, maaf!" Aku menghentikan perawatan lukanya karena tidak tega.

"Kalau boleh tahu siapa orang-orang yang mengeroyok Nak Alde tadi?" tanya Pak Wiryo.

"Mereka membawa saya dari Jakarta."

"Maksudnya?" Pak Fendi minta penjelasan sambil memeriksa KTP Alde. "Rumah Alde, di Beji? Orang Purwokerto, kan?"

Penasaran aku mencomot tepatnya menyerobot KTP Alde yang baru saja tergeletak di meja tamu dan hampir diambil oleh si empunya. Seketika mataku membelalak setelah membaca nama lengkapnya.

Apa dia bintang jatuh yang kuharapkan tadi? Tetapi pria ini datang dengan dipukuli dan sama sekali tidak tampan. Wajahnya mirip petinju yang mengalami kekalahan telak. Berarti dia memang bukan datang dari bintang meski namanya Aldebaran Soraya Ragiawan.

Aku mendesah meletakkan KTP Alde.

"Benar," Alde menyahuti pertanyaan Pak Fendi sambil mengambil KTP-nya yang tadi kuletakkan di meja kembali.

"Kok bisa?" Pak Fendi agak tidak percaya.

"Ceritanya panjang. Yang jelas mereka memaksa saya pulang dengan cara seperti tadi." senyum tipis Alde terlihat ganjil.

"Kamu diculik?" tanyaku.

"Penculikan?" Bu Talim memandang Alde, lalu ke arahku, ke suaminya lalu berpindah pada Pak Fendi.

"Mereka menginginkan apa dari Nak Alde?" tanya Pak Wiryo.

Alde hanya menggeleng.

"Harus dilaporkan ke polisi itu." kata Pak Fendi

"Sori!" aku menyodorkan handuk kecil yang sudah dicelup ke air hangat. Satu piranti yang tiba-tiba Bu Talim sediakan. "Luka memarnya." aku menunjuk mukanya pakai handuk.

"Ohh!" tanggapnya menerima handuk hangat lalu mengompreskan pada bagian yang dia rasa sakit. "Enggak usah, Pak. Saya tidak mau punya urusan panjang dengan polisi." tolak Alde.

"Benar. Lagian seringnya cuma berakhir sebagai laporan saja." ucap Pak Fendi. "Atau mau ke IGD?"

"Saya baik-baik saja," ucap Alde yang mukanya lumayan tidak bisa dibedakan mana hidung, mana mulut dan mata. Kini semuanya terlihat bengkak. "Saya mau pulang saja."

"Mau saya antar?" tawar Pak Fendi.

"Tidak usah, saya bisa pesan ojol." Alde mencari ponselnya di saku celana. Tetapi kelihatannya benda yang dicarinya itu tidak ada. Dia lalu meraba saku yang lain.

"Jatuh kali, di sana!" tunjukku pada tempat pembuangan sampah. "Atau malah diambil mereka?"

Alde mendengkus pasrah.

"Gimana kalau menginap dulu di rumah saya. Besok pagi bisa langsung pulang. Dari pada malam-malam begini pulang dan membuat cemas orang rumah?" Pak Talim yang sedari tadi diam angkat bicara.

"Benar itu," sahut Bu Talim menyetujui perkataan suaminya. "Kebetulan kami ada kamar kosong."

Mulut Alde terkatup rapat. Dia terlihat menimbang dengan wajah yang menyiratkan lelah. Sejurus kemudian ada bias cemas terdampar di matanya.

"Baju Nak Alde juga sangat kotor, nanti bisa berganti dengan kaos suami saya." Bu Talim masih berusaha menawarkan kebaikan.

"Ya, sebaiknya memang begitu. Besok kalau mau bisa ke puskesmas terdekat dulu." saran Pak Fendi.

"Kalau tidak merepotkan?" kata-kata Alde terdengar mengambang. Dia berubah pikiran yang semula ingin ngotot pulang.

"Sama sekali tidak." jawab Pak Talim cepat.

"Tapi saya harus mencari HP saya," ucap Alde sudah bangkit dari duduk.

Selanjutnya kami yang menghadiri sidang kecil itu, kecuali Bu Talim sudah membantu Alde mencari ponselnya yang kemungkinan jatuh di tumpukan sampah. Aku bahkan mencoba menelepon untuk mencari sumber suara sebagai petunjuk ponsel berada. Tetapi, tempat pembuangan sampah yang luasnya empat puluh lima meter persegi itu, sunyi.

Alde memutuskan menghentikan pencarian. Dia mengira ponselnya terjatuh di mobil penculik. Kemudian satu persatu orang-orang yang membantu Alde pulang ke rumah. Termasuk diriku.

Aku menatap langit yang masih cerah. "Hujan meteornya aman, nih," gumamku lalu bergegas naik ke atap lagi. 

Vagabond TrashWhere stories live. Discover now