Pria Bertopi

10 3 0
                                    

Aku terbangun dan merasa sedang tercebur ke air dan tidak bisa berenang. Megap-megap sesaat bersamaan dengan mata yang berusaha membuka lebar. Wajahku terasa basah. Mulutku otomatis membuka mencari udara sebanyak-banyaknya untuk membantu pernapasan dari hidung yang saat itu terasa terbatas.

Ketika telah sadar benar, tubuhku dalam posisi meringkuk dan masih terikat pada kursi. Hanya mulutku sudah tidak lagi dibebat kain. Dan perasaan tenggelam barusan hadir karena ada orang yang mengguyur wajahku dengan air.

"Udah siuman dia." kata seorang pria.

Mataku memaling ke arah suara. Si botak yang bicara. Si Rambut Durian, saat mataku memindainya tampak menutup botol mineral yang tadi pasti habis dia siramkan ke wajahku.

"Ngapain sih, dia ini pakai menabrakkan diri ke pintu." Si Rambut Durian yang suaranya cempreng terdengar kesal.

"Ayo, kita bantu bangun dulu dia." kata Si Botak yang memiliki suara lebih berat.

"Merepotkan aja." balas Si Rambut Durian.

Keduanya lalu mengangkatku yang tersuruk bersama kursi. Selanjutnya mereka menyeretku menjauh dari pintu. Tidak tepat di tengah lagi seperti semula. Mungkin, beban yang tercipta antara aku dan kursi terlalu berat, sehingga mereka meletakkan aku pada jarak ke pintu secukupnya.

Kepalaku terasa pening. Bersamaan dengan itu aku mencoba mengingat apa yang tadi terjadi.

Memoriku hanya menangkap saat aku berlari kencang mengarah ke pintu lalu terbentur keras dan jatuh. Rupanya tidak hanya kepalaku yang tidak nyaman. Tubuhku juga terasa linu semua.

Kemudian awal mula aku berlari menuju pintu mengalir dalam ingatan. Segera aku tengok kiri-kanan. Apa hantunya sudah pergi? Tetapi tidak menutup kemungkinan dia akan datang menggangguku lagi.

Kenapa coba, hantu itu tidak menakuti dua orang yang sudah menculikku ini? Biar kapok tidak berbuat jahat kembali.

"Pak, di sini ada hantu." bisikku ragu sekaligus gemetar. Tepat saat keduanya hendak melangkah pergi meninggalkan aku sendiri.

Mereka harus tahu, agar ikut takut sama seperti aku, lalu membawaku keluar dari tempat ini. Namun, hal yang lebih mengkhawatirkan terbersit. Bagaimana jika ternyata sudah ada konspirasi antara hantu penghuni tempat ini dan penculikku? Sebuah kesepakatan untuk menakut-nakutku sampai pingsan.

"Siapa bilang?" tanya si Botak lebih mirip sentakan. Dia menoleh padaku, demikian pula si Rambut Durian yang secara tidak terduga menghentikan langkahnya.

"Tadi ada bayangan hitam yang datang, lalu menghempas kaki saya." ucapku dengan harapan positif, mengabaikan bagian konspirasi.

Merujuk pada dugaan pertama, dengan menganggap dua orang yang perawakan bertolak belakang itu merasa takut, lalu tidak lagi menyekapku di tempat menyeramkan ini.

"Kamu terlalu mengada-ada. Di sini paling adanya tikus sama wirok." sahut Si Rambut Durian seolah menawarkan ketakutanku dari hantu beralih ke hewan pengerat yang bagi sebagian orang mungkin menakutkan. Atau lebih tepatnya merasa geli dan jijik.

"Tapi, Om."

"Bungkam lagi saja mulutnya." kata si Rambut Durian pada si Botak. "Biar nggak berisik."

"Jangan, Om!" pintaku memelas.

"Udah nurut saja, pertukaran tebusan tinggal delapan jam lagi. Kamu tidur saja yang tenang." kata si Botak sambil mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

"Saya di sekap di luar pintu saja ya? Bareng bapak-bapak, biar aman." aku mencoba melakukan tawar menawar. "Atau..." Belum lagi aku selesai bicara, si Botak sudah menutup mulutku. Kali ini memakai lakban.

Aku cuma pasrah, meronta juga percuma. Membuang energi sia-sia. Coba aku ditempatkan di ruangan yang tidak seram. Pasti aku bisa berpikir bagaimana caranya untuk melarikan diri. Tetapi orang-orang yang menculikku ini sepertinya tahu kalau aku takut sama hantu, hingga sengaja mengurungku di sini. Mungkinkah demikian?

Entahlah, yang jelas setelah mereka keluar dari ruangan lagi. Aku kembali membaca berbagai doa yang kubisa. Bahkan doa mau makan juga aku rapalkan dengan harapan para hantu yang mau menggangguku ketakutan karena mengira akan kumakan.

Bagian terakhir analisisku itu hanya untuk menghibur diri. Lalu aku pun mencoba sedikit mengalihkan pikiran, mencari pembenaran yang menyergapku tadi hanyalah tikus nakal yang keberadaannya mungkin terganggu dengan adanya aku.

Mataku masih terpejam ketika mendengar suara mencurigakan. Kali ini arahnya dari luar ruangan. Suara seperti pekikan sukses membuat bulu kudukku meremang. Apakah para hantu sedang menakuti-takuti dua penculik di luar?

Tak lama berselang, suara pintu terdengar dibuka kasar. Aku ikut membuka mata. Sosok lain muncul dengan napas terdengar terengah-engah seperti habis dikejar sesuatu. Perawakannya berbeda dari dua orang yang menyekapku.

Nah, benar kan dugaanku tentang dia sedang dikejar sesuatu. Di belakangnya muncul seseorang yang menyerang dengan ganas. Aku memperingatkan orang bertopi dengan erangan. Tidak peduli dia kawan atau lawan. Menurutku sangat tidak bijak menyerang orang dari belakang. Seperti tikus pengecut.

Untunglah pria bertopi itu menyadari peringatanku dan berhasil menghindari pukulan dari belakang. Kalau aku sedang tidak diikat pasti aku sudah bertepuk tangan.

Adu jotos terjadi. Pria bertopi serta mengenakan masker bermotif tengkorak, sekilas terlihat saat ada cahaya yang menerpanya, mati-matian membela diri agar tidak terdesak.

Aku yang semula hampir menangis ketakutan, kini merasa benderang. Ternyata ada orang yang tahu aku diculik dan kini berusaha menyelamatkan aku.

Coba posisiku tidak terikat. Aku pasti sudah membantu menghabisi orang yang telah menyekapku.

Pertarungan sengit masih berlangsung. Mereka berdua terlihat sangat kuat. Tidak langsung ambruk ketika serangan demi serangan datang silih berganti. Maksudnya keduanya memiliki daya tubuh yang bagus terhadap pukulan. Beda denganku yang sudah pasti langsung ambruk kalau sampai kena dua pukulan.

Meski yah, secara teknik serangan, keduanya tampak tidak terarah. Setiap pukulan yang berloncatan terkesan acak.

Cahaya lampu yang menyorot terang dari luar sedikit banyak membantu penglihatanku atas perkelahian di depan. Seperti sedang menonton film aksi dengan suguhan pertarungan antar geng yang membabi buta.

Akhirnya ada satu momen di mana aku pikir bisa membantu pria bertopi. Siapa pun dia, entah apa tujuannya, kuanggap dia adalah penolongku.

Saat si Rambut Durian membelakangiku lumayan dekat. Aku mengambil ancang-ancang hendak menyeruduk tubuhnya agar tersuruk ke depan.

Sebenarnya aku tidak yakin berhasil, mengingat energiku serasa tinggal separuh. Efek dari reaksi berlebihan akan rasa takut hingga menghantam pintu. Tetapi mencoba tidak ada salahnya, kan?

Maka pada hitungan kelima setelah memantapkan jiwa terlebih raga. Aku segera menggebrakkan tubuh ke arah si Rambut Durian. Akan tetapi, perkiraanku meleset. Tumbukan yang kusangka setidaknya bisa membuat si Rambut Durian tersendal sama sekali tidak menggoyahkan tubuhnya.

Mungkin Si Rambut Durian hanya merasa ada orang yang menyenggolnya. Sementara aku sudah jatuh tersungkur bersama kursi dan tidak bisa bangun lagi.

Meski demikian, senggolanku tadi cukup membuat kewaspadaan si Rambut Durian lengah. Karena tidak lama setelah aku terjatuh, si Rambut Durian terpelanting tidak jauh dariku. Saat aku menoleh ke arahnya, si Pria Bertopi telah melancarkan tendangan bertubi-tubi.

Melihat kejadian yang menurutku brutal itu, timbul rasa iba. Bagaimanapun si Rambut Durian tidak berhak mendapat penghakiman semena-mena semacam itu. Aku pun mengerang-erang berupaya mengalihkan perhatian pria bertopi.

Syukurlah, usahaku itu berhasil. Pria bertopi memandang ke arahku. Dia lalu melihat lagi pada si Rambut Durian, seperti sedang mengukur ketidakberdayaan laki-laki yang telah menyekapku.

Gerak selanjutnya, pria bertopi melangkah menghampiriku. Seketika itu juga jantungku merasa berdebar. Siapa orang yang datang dan menghajar para penculik ini. Polisi, seorang teman atau justru musuh yang lain.

Kalau ternyata musuh, siapa? 

Vagabond TrashWhere stories live. Discover now