Seperti Berakhir Di Sini

29 4 0
                                    

Erli mengendarai motorku super kencang. Dia ini meski casingnya feminin, tetapi kalau soal bawa motor dia bakal bisa mengalahkan Valentino Rossi atau Marquez. Sampai-sampai di depan Puskesmas kami hampir bertabrakan dengan mobil yang baru keluar dari sana.

Melihat dari situasinya, yang salah jelas kami karena si Erli membelokkan motornya seperti tanpa mengerem. Baru ketika motorku hampir beradu dengan mocong sebuah mobil, decitan rem mendadak membuatku memeluk tubuh Erli kuat. Jantungku saat itu sudah berloncatan tidak karuan.

Sopir mobilnya untungnya baik hati tidak memaki kami. Wajah Erli yang memancarkan aura bintang sepertinya berhasil menyilaukan sopir yang kutaksir berumur tiga puluhan.

"Maaf, Pak!" seruku karena Erli sang pembalap cuma nyengir kebingungan berusaha memundurkan motor yang kami kendarai.

Setelah mobil pergi aku langsung bernapas lega. Meski cuma sebentar, Erli sudah menyendal menarik gas dengan sentakan yang hampir membuatku terlontar dari boncengan. Sungguh tadi aku menyesal kenapa bukan aku saja yang membawa motornya.

Tiba di tempat parkir terlihat Pak Talim sudah ada di sana. Aku langsung meloncat turun, dan menghambur padanya. Ingin segera memastikan bahwa dia dalam keadaan baik-baik saja.

"Pak Talim mau ke mana?" tanyaku ketika memperhatikan kondisi beliau tidak kurang suatu apapun.

"Mau pulang Mbak." sahut Pak Talim dengan raut muka heran dengan kedatanganku bersama Erli.

"Alde?" tanyaku sambil menunjuk ruang IGD. "Apa mamanya sudah datang?"

"Iya, baru saja tadi keluar dijemput mamanya. Mobil hitam tadi."

"Oh, mobil yang hampir kami tabrak?" gumamku.

"Loh, kalian menabraknya?" Pak Talim gantian meneliti aku dan melihat pada Erli yang baru mendekat. Termasuk memindai kondisi sepeda motorku. "Kalian enggak pa-pa."

"Untung rem motor kamu pakem, Sha." Erli nyengir. "Kurang satu sentimeter tadi, kita pasti terpental."

"Dasar, bikin orang sport jantung aja nih, anak!" tanganku sudah terangkat akan menjitak kepala Erli. Tapi tanganku hanya menggantung di udara, menjitak udara.

"Kalian kok, pada nyusul kemari. Ada apa?" tanya Pak Talim yang tentu saja curiga dengan kedatangan kami. "Apa mau menggantikan saya menunggui Alde?" ucapnya lebih pada ingin bercanda.

Aku dan Erli saling berpandangan, kemudian memandang Pak Talim dengan menampakkan gigi secara lebar tanpa membuka mulut.

"Itu," Erli ambil suara. Tetapi sepertinya dia menelan kembali kata-katanya.

Buah pikiran paranoid kami tidak mungkin terlontar. Kali ini aku sependapat dengannya.

"Kami khawatir sama Pak Talim," ucapku tanpa mengungkap alasannya. "Syukurlah, Pak Talim masih dalam kondisi segar." Aku mengangguk-angguk pada Erli meminta persetujuan.

"Ya, benar." tanggap Erli langsung mengerti. "Yuk, kita pulang. Lagian pasiennya juga sudah pulang."

"Mari Pak," salam pamitku seperti tidak memberi kesempatan pada Pak Talim untuk bertanya lebih lanjut.

Kami berdua melangkah cepat meninggalkan Pak Talim yang motornya terparkir di sudut dalam sementara motor kami berada pada sisi terluar.

Tak lama kemudian kami telah berkonvoi pulang. Tentu Erli yang ada di depan karena dia anti menjalankan motor pelan.

Sampai di rumah kami tertawa bersama. Sungguh, kami merasa seperti dua orang konyol yang terlalu berfantasi tinggi.

"Kamu sih," tuduhku saat sudah bisa mengatasi tawa kami yang hampir guling-guling di sofa. Mengabaikan kondisi Alde yang cukup parah. Dan, aku lupa menanyakan kabar lengannya yang patah pada Pak Talim.

"Ye, kamu juga menambahkan bumbu, kan?" Erli tidak mau kalah. "Sepertinya kita cocok jadi penulis." sambung Erli setengah bersabda.

"Kamu saja!" cetusku lalu bangkit dari duduk.

"Mau ngapain?" tanya Erli yang masih duduk menggelosor di sofa.

"Salat Asar, habis itu kerja." sahutku yang sore ini kuagendakan memilah antara sampah plastik botol dengan sampah plastik berbentuk gelas. Termasuk memilah antara botol dengan tutupnya karena jenisnya juga berbeda.

Untuk mendapatkan sampah itu, aku harus rela menjadi pemulung ke area perumahan selama satu minggu. Kalau enggak mengais di tempat pembuangan sampah sebelah rumah. Tidak banyak memang hasilnya. Lagi pula satu karung sampah plastik jenis Polyethyelene Terephthalate atau PET hanya dihargai dua ribu rupiah per kilo. Padahal, botol itu sangat ringan satu karung biasanya dapat empat ribu rupiah. Kalau sampah gelas air mineral lebih murah lagi, dihargai cuma seribu per kilo.

Untuk sampah kertas aku masih belum dapat. Itu juga perlu dipikirkan caranya. Untuk penjualan aku bisa langsung menjual ke tetangga sebelah, Pak Talim tentu.

Supaya antara sampahku dengan sampah Pak Talim tidak tercampur, aku membuat benteng pertahanan berupa pagar dari botol air mineral ukuran paling besar dengan cara mengelemnya secara tegak lurus, yang mana botol barikade terbawah dari botol itu aku isi dengan pasir agar tidak goyah. Aku membangun itu hampir dua minggu. Botol hasil pulungku, terpaksa kurelakan demi membuat pagar itu atas persetujuan Pak Talim. Bahkan Pak Talim ikut menyumbang botol air mineral yang mempunyai lekuk cantik itu.

Aku masih berpikir bagaimana caranya mendapatkan sampah lebih banyak lagi tanpa berkeliling dengan hasil yang tidak sebanding.

"Heh, bengong!" tegur Erli menepuk punggungku, saat aku sedang berpikir keras mengenai usahaku ini. Tentu saat ini aku sudah dalam proses memilah sampah plastik di depan rumah. "Mikirin apa?"

"Banyak."

"Ngapain mikirin angsa?" cetus Erli meledekku. Dalam Bahasa Jawa, 'banyak' berarti angsa atau soang.

Eish, nih anak! Mode bercandaku sedang off. Jadi aku tidak menanggapinya dengan lelucon.

"Menurutmu gimana caranya biar bisa dapat rongsokan banyak, selain memulung?" tanyaku pada Erli yang masih berdiri menjulang di belakangku.

Terkadang Erli sering memiliki ide cemerlang. Tapi abaikan perkara tadi siang mengenai ide tentang permafiaan yang menyangkut Alde.

Erli mengerutkan kening seraya jari telunjuknya menuding pelipisnya saat aku mendongak untuk melihatnya, menanti cetusan gagasannya.

"Apa ya?" Erli malah balik tanya.

Aku kembali pada pekerjaanku. Dan Erli lalu berjongkok di sebelahku.

"Kalau di area rumahku, ada petugas sampah yang dibayar buat mengambil sampah. Seminggu dua kali petugas itu akan mengambil sampah di setiap rumah. Kamu mau bekerja kasar seperti itu?"

"Wah, berat juga ya." ujarku sambil membayangkan, keliling dari rumah ke rumah dan mengangkut sampah yang sudah pasti campur aduk. Budaya kita memang masih belum bisa menerapkan pemilahan sampah terutama sampah rumah tangga.

Erli mengangguk tambah meyakinkan bahwa itu pekerjaan yang berat. "Tapi kamu mungkin bisa menghubungi petugas sampah agar mau menjual sampahnya sama kamu."

"Terus uang yang buat beli?"

"Yah, kamu memang akan butuh modal untuk itu." ucap Erli seolah tanpa rasa bersalah.

"Ada nggak, yang tidak usah bayar?" tanyaku yang sebenarnya sudah tahu jawabannya.

"Ada. Memulung. Seperti profesimu sekarang." Erli nyengir lebar.

Aku memanyunkan bibir. Mendengar Erli mengatai memulung sebagai profesiku, kilasan harapan bapak-ibu yang menginginkan aku kerja kantoran sekonyong-konyong menghempaskan diriku ke mesin daur ulang. Bagaimana kalau mereka tahu anaknya cuma jadi pemulung. Aku menghembuskan napas keras.

Memang selama ini aku cuma bilang bekerja untuk Pak Talim bagian memilah sampah. Kerja sambilan yang kubilang selagi menunggu waktu perkuliahan dimulai. Lumayan untuk menambah uang jajan, dan memang sesuai kenyataan. Uang hasil memilah sampah hanya cukup untuk membeli cilok di penjual keliling.

"Tapi menurutku tidak ada yang salah dari pekerjaan memulung kok, yang penting menghasilkan uang halal dan tidak mengandung resiko ganti rugi seperti pekerjaanku." kata Erli sambil berdiri. "Mandi dulu, ah!" tanpa menunggu tanggapanku Erli sudah melangkah dengan menyisakan suara gesekan antara sandal dengan batu kerikil yang menghampar.

Vagabond TrashTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang