Sampah dan Kisah

17 3 0
                                    

Alde memandang aliran air yang mengalir segan. Untunglah di atas sini bau air sungai tidak terlalu menyengat. Alde juga tampaknya bisa mentoleransi bau bacin yang tadi sangat menyodok hidung. Barangkali mulai terbiasa dan mau berteman dengannya.

Meski dari mukanya aku tahu dia terlihat muak melihat sungai kecil atau selokan di depan, tetapi Alde sepertinya enggan berdiri. Cukup mengherankan. Apakah dia berencana menceritakan tentang orang-orang tadi?

Aku berusaha bersabar menunggu. Sembari itu, aku masuk kembali ke sungai. Memungut beberapa gelimpang sampah lalu mengumpulkannya ke tepian sungai.

Tidak ada tanda-tanda Alde mau bicara. Baiklah, mumpung momennya tepat aku ingin menyampaikan satu hal yang maha penting.

"Kamu tidak suka dengan bau selokan ini, kan?" ujarku yang baru keluar dari gorong-gorong dengan buah tangan sampah.

Saat aku mendongak ke arahnya, dia membalas menatapku. Dengan cepat aku memutar bola mataku ke bawah, mencari masih adakah puing sampah yang bisa kupungut. Dan, tentu saja banyak.

"Manusia hanya bisa mengeluh. Kamu bahkan mengeluhkan bau selokan ini." aku mendesah meletakkan sampah botol dan plastik di atas rerumputan. "Padahal kita sendiri juga biang bau itu. Setelah kita mengotori lalu mencacinya, seolah fenomena pencemaran yang terjadi di lingkungan karena alam sendiri yang berulah. Padahal 99% manusia penyebabnya." orasiku sukses. Hampir saja aku bertepuk tangan sendiri.

"Oh ya," lanjutku. "Kamu termasuk yang 99% itu. Kamu bahkan terang-terangan berusaha mengotori lingkungan." aku masih berdiri tegak seperti penegak hukum yang mendapati si pelanggar peraturan.

Alde mengerutkan keningnya. Menatapku dengan wajah yang seolah tidak mengerti maksud dari ucapanku.

"Ya, aku bahkan bagian sampah itu sendiri." tanggap Alde berganti membuatku mengernyit.

"Bukan, kamu pernah membuang botol bekas air mineral di jalan. Masa lupa. Kupikir kebiasaan macam itu, kebiasaan buruk macam itu akan selalu terngiang." ucapku sambil sedikit memelototinya.

"Ah ya," Alde mengangguk tanggung. "Lalu kenapa kamu memungut sampah-sampah kotor itu?" tanya Alde.

"Apa ya?" aku meringis lalu segera mengalihkan pandangan pada beberapa sampah yang masih berkeliaran. Sembari mencari jawaban yang tepat.

Tidak mungkin aku bilang, karena aku peduli lingkungan. Sok aktivis lingkungan amat. Padahal orientasiku mengumpulkan sampah jelas demi segepok uang. Dan, lihat saja. Dengan segera mataku menangkap seonggok barang yang kuanggap akan sangat berharga. Satu kantung plastik yang agak besar dan hampir terbenam lumpur kuangkat dengan seringai lebar.

"Karena mereka meski kotor begini kalau dibersihkan, juga bisa berguna nantinya." Akhirnya aku menemukan jawaban yang kuanggap tepat.

Ya, tentu saja. Kantung plastik yang kutemukan ini, nantinya bisa kupakai untuk mewadahi tumpukan sampah yang berhasil kukumpulkan. Setelah itu, sampah plastik ini pun bisa didaur ulang menjadi barang, atau bahan pembuat suatu benda yang tentunya akan bermanfaat.

"Setelah aku cerita apa kamu juga masih mau memungutku? Dan menganggapku sebagai barang yang memiliki harga?" tanya Alde kembali mengajukan pertanyaan yang sulit kujawab.

"Eh?" Lengkungan senyum yang kutampilkan terasa ganjil dan berkedut. Maksudnya apa? Mendadak aku seperti orang linglung. Aku melangkah dengan limbung menghampiri gunung sampah buatanku.

"Aku dan mamaku tak ubahnya seperti sampah itu." tunjuk Alde pada tumpukan sampah yang mulai kumasukan dalam kantung plastik yang kondisinya berlubang-lubang tetapi masih bisa menampung kumpulan sampah lain.

Vagabond TrashWhere stories live. Discover now