Yang Terkenang

41 9 0
                                    

Dua bulan setelah Triple Konjungsi Bulan, Mars, Aldebaran.

Kemudian di sinilah aku berada lagi. Di atas atap tempat jemuran mencari rasi Gemini yang menjadi tempat matahari terbit di bulan ini. Tentu saja setelah mengalami kegalauan antara mencari pekerjaan yang benar atau memulai bisnis dengan modal dengkul, alias memulung sampah untuk dijual. Dan setelah melihat triple konjungsi Bulan, Mars, Aldebaran.

Aku mengembangkan imajinasi lagi. Mencari dua kepala si kembar Pollux dan Castor. Dua bintang yang paling terang pada rasi Gemini. Dari sini gambaran Gemini akan terlihat terbalik, dengan sisi kepala yang berada di bawah. Tetapi sebelum itu, aku menandai Orion dulu. Rasi yang paling mencolok dan sering muncul kecuali saat Scorpius ada. Rasi bintang yang di Indonesia terkenal dengan bintang Waluku atau Bajak yang menjadi pertanda kapan petani mulai menanam padi.

Agak ke bawah mengarah tenggara, Cancer menampakkan dua capitnya mengarah ke bumi. Cancer itu zodiac dari Rili teman kosku sebelum aku pindah ke kontrakan Pak Talim. Suatu move on setelah melalui serangkaian pemikiran panjang, juga terkait dengan pekerjaanku nanti.

Melihat Cancer mengingatkan aku pada Rili dan teman-teman kos Pinkville. Saat aku mengatakan akan pindah Rili dan Vita mewakili yang lain langsung melakukan upacara pelepasan mahkota sekaligus penobatan kepala suku baru. Kepala suku lama jelas aku. Sementara yang baru nanti itu menjadi hakku untuk memilihnya. Terkesan tidak demokratis, sih, tetapi memang seperti peraturan di Pinkville.

Waktu itu aku sedang membereskan kamar ketika Rili, Nisa dan Vita muncul di ambang pintu.

"Pindah beneran?" tanya Rili.

Aku menoleh sumber suara. "Yoi! Ntar kalian jangan pada kangen sama aku ya." kataku masih sibuk mengepak barang.

"Pe-denya. Nggak, deh!" lontar Rili.

Aku tertawa, "Jangan gitu, ntar pada ngikut pindah lagi,"

"Nggak, nggak!" protes Vita dan Rili sengit.

"Kalau Kak Shaula pergi berarti harus ada penobatan kepala suku baru." kata Nisa mengingatkan satu hal. Gadis berkerudung ini mempunyai aura yang lebih lembut dibandingkan Rili dan Vita. Aku sering menyebut kedua anak itu sebagai cecunguk pembuat onar.

"Benar!" Vita menyalak. Seorang gadis dengan potongan rambut sebahu nan ceriwis.

"Kamu Li, yang gantiin aku." tunjukku tanpa berpikir panjang.

"Aku? Nggak, makasih."

"Harus! Kamu yang paling tua di sini." kataku sambil melipat baju lalu memasukan ke travel bag.

"Demokratis dong, jangan berdasarkan umur." kata Rili menolak keras.

"Halah, berlebihan amat." komentar Vita. "Aku setuju, Kak Rili yang jadi kepala suku Pinkville."

Nisa mengangguk-angguk seperti anak anjing yang manis.

"Tuh, kan pada setuju." kataku lalu mencari sesuatu di antara barang-barang yang berantakan.

"Nyari apaan Kak?" tanya Nisa.

"Tongkat."

"Tongkat apaan?" tanya Nisa.

"Tongkat untuk penobatan,"

Nisa ikutan mencari atau tepatnya menggeledah seluruh isi lemari dan laci. Nisa mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Sementara Vita sudah mengacak-acak tumpukan bajuku. Rili yang tidak setuju dengan penobatan hanya duduk bermain dengan ponselnya.

"Vit, itu sudah dirapikan!" tegurku.

"Sori," katanya mengangkat tangan. "Tapi ini, kan yang kamu cari?" kata Vita dengan santai. Dia menemukan tongkat yang kumaksud di antara tumpukan baju. Sebilah potongan kayu kecil dengan diameter dua sentimeter dan panjang kurang lebih tiga puluh sentimeter yang terbelit pita warna merah muda.

Vagabond TrashTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang