Harapan Baru

18 4 0
                                    

Aku sedang memikirkan pertemuan dengan Edo tadi pagi. Apa aku bermimpi? Saat sudah bisa membuangnya jauh, tiba-tiba dia muncul dan mengatakan hal yang tak pernah kuduga.

Aku hampir terjebak oleh kata-katanya. Benar dulu aku sempat tergila-gila padanya hingga bertindak berlebihan memanjakan dia. Mana ada coba pacar yang mau membelikan makan untuknya. Rela membawakan tasnya. Bahkan mengerjakan semua pe-er-nya.

Kalau diingat-ingat aku dulu seperti budaknya saja. Segala hal yang dia minta selalu aku turuti dan sediakan. Bodoh!

Sudahlah lupakan dia, La!

Yang terpenting sekarang is business!

Ngomong-ngomong, lapak pengumpulan sampah kami sekarang sudah punya nama. Di Pada plang papan nama yang terpajang di luar pagar tertera tulisan Bank Sampah Edelweis.

Aku yang mengusulkan judul Bank Sampah. Biar terlihat dan terdengar keren. Pak Talim setuju, meski yang kami kelola sampah bukannya uang. Kupikir, orang-orang yang mengirim sampahnya pada kami sama saja sedang menabung sampah demi masa depan, maksudnya masa depan yang indah tanpa sampah yang berserakan. Sekaligus memberi output berupa barang-barang daur ulang yang bermanfaat.

Lalu Pak Talim yang memberi nama Bank Sampah itu Edelweis. Katanya biar terdengar indah. Kata sampah, menurut Pak Talim terkesan kotor dan menjijikkan. Tetapi dengan tambahan nama bunga di belakangnya, biar ada kesan cantik, sebagaimana bunga Edelweis itu. Selain itu kenapa mengambil nama bunga abadi, tentu agar usaha yang kami rilis bertahan lama seperti bunga yang katanya sangat dilindungi itu.

"Selamat pagi!" sapaku ramah pada seorang Ibu anggota Bank Sampah Edelweis. "Sampahnya, Bu."

"Oh ya Mba, bentar!" Ibu yang sedang menyapu halaman depan segera berlari ke dalam untuk mengambil dua ember tempat sampah yang dulu pernah aku bagikan. "Ini Mbak." sodornya. "Sendirian, Mbak? Nggak sama Pak Talim?"

"Pak Talim sedang keluar kota. Adiknya meninggal." sahutku mengabarkan. Sementara tanganku telah menumpahkan sampah ke bak motor.

"Oh begitu. Sampaikan saya turut berduka, ya Mbak." ujarnya bersamaan dengan mengambil tempat sampah yang telah kosong.

"Mari Bu," pamitku lalu menjalankan motor lagi. Karena memang tidak semua rumah memakai jasa kami pengambilan sampah dari kami.

"Hati-hati, Mbak!"

Tiba di rumah berikutnya tampak si ibu sedang asyik mengobrol dengan tetangganya. Aku dicuekin sampai sapaan ketiga membuatnya sadar akan kedatanganku. Dasar ibu-ibu. Kalau sudah saling mendongeng pasti lupa segalanya. Aneka topik pembicaraan, dari tetangga hingga artis menjadi bahan gunjingan asyik.

Bu Nita setengah berlari mengeluarkan satu buah ember sampahnya. Ember yang satu mana? Aku segera tahu kenapa Bu Nita cuma menenteng satu ember saja. Ya, tentu karena semua sampah dia campur jadi satu. Untuk mengantisipasi masalah ini, satu keranjang khusus sampah campur telah aku siapkan.

Lain kali pasti akan kuingatkan. Sekarang percuma, Bu Nita sudah kembali ke arena rumpi.

"Tempat sampahnya, Bu!" seruku sebelum berlalu.

"Ya taruh situ aja!" teriaknya acuh tak acuh kembali melanjutkan acara bergosipnya.

Ckck... Ibu-ibu tanpa pekerjaan sepertinya punya pelampiasan tersendiri untuk mengisi kejenuhan di rumah. Sayang, obrolan yang mereka ciptakan terkadang menjadi ghibah. Mau bagaimana lagi, ruang pandang mereka memang hanya sekitar rumah dan televisi. Akhirnya percakapan yang muncul ya seputar itu.

Satu kompleks tinggal satu rumah lagi yang harus aku datangi. Kompleks lain jatahnya besok. Mungkin besok Pak Talim sudah pulang, jadi aku tidak kerepotan sendirian, harus bolak-balik turun dari kemudi lari mengambil sampah, menaikkan sampah di bak belakang, bergerak lagi ke depan.

Vagabond TrashWhere stories live. Discover now