Teror Bunga

16 3 0
                                    

Empat bulan berlalu sejak kejadian penculikan waktu itu. Kalau mengingatnya terkadang badanku terasa ngilu. Terbayang bila tidak ada yang datang menyelamatkan. Tubuhku mungkin sudah bersama onggokan sampah lain dan terbiar.

Sebagaimana tempat untuk menawanku yang berada sangat dekat dengan area pembuangan sampah ilegal. Sudah jadi adat orang kita kalau melihat tanah menganggur serasa milik pribadi lalu memanfaatkan sekehendak hati. Masih mending kalau menggunakannya untuk tanam-menanam. Yang parah, ketika memakainya sebagai tempat pembuangan sampah.

Sama nasibnya dengan tanah kosong luas yang hanya terdapat satu bangunan mirip gudang yang sudah rusak itu. Tanpa adanya tulisan larangan membuang sampah di lahan tersebut, tentu menjadi sasaran empuk warga sekitar yang tidak punya lahan untuk membuang sampah. Ada tulisannya saja terkadang suka masih membuang sampah di tanah orang.

Soal kenapa aku bisa tahu tempat bekas penyekapanku waktu itu, tentu saja karena aku merasa penasaran dan ingin sekadar melakukan reka ingatan pengalaman diculik di suatu tempat yang seram.

Sungguh aku sangat berterima kasih pada Edo dan Alde yang berhasil membawaku pulang, tanpa aksi tawar-menawar yang mungkin sulit terjadi. Meski pada akhirnya Alde, atas bujukan Soraya Pasha beserta keluarga besar mamanya, merelakan semua pemberian dari ayahanda tercinta.

Tetapi kata Soraya Pasha, kalau tidak ada kejadian penculikan itu. Alde akan tetap bersikukuh mempertahankan apa yang sudah menjadi haknya. Mengabaikan keselamatan dirinya.

"Mengalah demi kebaikan semua tidak ada salahnya kan?" Suara Soraya Pasha yang merdu terngiang di telingaku. "Kamu tidak boleh bertahan dalam keegoisan bila hanya akan menyakiti orang lain. Cukup Shaula saja yang menjadi korban."

Aku bisa merasakan wajah Alde yang tenggelam. Bias kecewa sangat terlihat menyelimuti sosoknya. Namun, saat dia kemudian memandangku. Raut mukanya yang semula keras berubah melembut dengan tampilan pasrah.

Entah mengapa aku malah merasa bersalah. Gara-gara aku, Alde harus banyak kehilangan sesuatu yang menjadi haknya.

Coba aku lebih waspada tidak sembarangan percaya orang. Atau setidaknya ketika mengadakan pertemuan dengan orang asing yang mengaku menemukan semua identitasku, aku mengajak seseorang. Mungkin, penculikan waktu itu bisa dicegah.

Tetapi, suratan takdir yang telah terjadi tidak boleh disesali, kan? Barangkali ini jalan terbaik bagi Alde untuk belajar mengiklaskan. Sedangkan bagiku, intinya jangan gegabah atau sok mau tahu.

Aku menghela napas. Kembali konsentrasi pada pekerjaan tangan di depan.

"Wuih, udah tambah terampil aja nih menganyam plastiknya." tegur Erli yang tiba-tiba kepalanya menggulir di depan mataku.

Tangannya lalu menyerobot hasil pekerjaanku. Meneliti dengan saksama sambil kepalanya manggut-manggut.

"Udah lebih rapi juga." ujarnya memaling ke arahku yang semula dia tak acuhkan. "Tadinya bulatan ini sering menghilang. Sekarang sudah serempak nampak."

"Harus dong!" sambarku. "Pisau tumpul aja kalau sering diasah bakal makin tajam. Apalagi Shaula."

"Terus tas yang udah kamu buat itu mau kamu jual ke mana?" tanya Erli mengingatkan pada beberapa tas yang telah kubuat bersama Bu Talim dan kelompok Dawisnya.

Aku menggeleng sembari memanyunkan mulut. Tas dari bekas bungkus minuman yang sudah kami buat pada akhirnya tetap memiliki daya jual yang rendah. Aku sungguh merasa buntu. Antara produksi dan distribusi sangat timpang.

Iya, sekarang Bu Talim dan kelompoknya masih senang membuat tas-tas itu. Tetapi setelah semua menjadi tumpukan lagi dan mangkrak. Mereka bisa menjadi bosan dan lelah.

Vagabond TrashTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon