D U A P U L U H L I M A

Start from the beginning
                                    

"Kenapa aku harus jijik?"

Jemari pria itu kembali mengusap bulir bening yang mulai keluar dari pelupuk mata Gaia.

"Karena aku ko—"

"Aku nggak peduli Gea. Selama itu kamu, aku nggak peduli. Kamu ya kamu, nggak ada istilah kotor dan yang lainnya. Selama itu kamu, aku akan terima. Kamu masih punya aku. Jangan ngomong kayak gitu lagi. Aku juga ikut sakit sayang."

Tangis Gaia semakin pecah mendengar perkataan manis kekasihnya. Daren tersenyum hangat. Pria itu merentangkan tangan, memberi kode agar Gaia segera masuk ke dalam dekapannya. Tak menunggu lama, Gaia tanpa ragu masuk dalam pelukan kekasihnya.

Daren mengecup pelan pucuk kepala Gaia, membiarkan perempuannya membenamkan diri di dada bidang miliknya. Daren tidak tahan lagi, laki-laki itu akhirnya menangis dalam diam. Seolah ikut merasakan penderitaan yang ditanggung buminya.

Tanpa mereka sadari, Geo sudah melihat interaksi keduanya sejak sebelum putrinya berpelukan. Geo yang berniat untuk memberitahu bahwa waktu untuk Daren sudah habis. Tapi melihat putrinya yang mulai tenang dalam rengkuhan Daren membuatnya urung. Geo berbalik untuk memberikan waktu lebih.

"Gea," panggil Daren pelan ketika sudah tidak ada lagi pergerakan gadisnya.

Deru napas Gaia teratur, matanya yang bengkak sudah terpejam. Entah karena kelelahan menangis atau karena rasa nyaman yang diberikan Daren, yang jelas perempuan itu sudah tertidur dengan pulas. Di pelukan seorang tempramental seperti Daren.

Daren merebahkan tubuh Gaia dengan hati-hati. Lengannya ditarik perlahan namun segera dicengkeram kuat oleh Gaia. Kekasihnya itu meracau tidak jelas. "Jangan pergi Daren. Jangan pergi."

Sebenarnya ia mau-mau saja untuk tinggal sejenak. Tapi Daren waktu berkunjungnya sudah habis. Lebih dari 5 menit malah.

"Kamu yang minta ya ini," gumam Daren sembari ikut merebahkan diri di samping Gaia.

Yang dilakukan Daren hanya menatap wajah kekasihnya, sibuk menelisik pahatan Tuhan yang sudah lama tak ia lihat. Daren menumpu kepalanya dengan lengan kiri, sedangkan tangan kanannya masih digenggam Gaia.

Menatap wajah Gaia yang tertidur nyenyak membuat beban dipundak seakan luruh begitu saja. Sejenak Daren seakan lupa akan masalah kedepan yang akan terjadi. Daren tersenyum tipis.

Atensinya teralih pada dering ponsel. Daren bangkit untuk mengangkat telpon menggunakan tangan kiri. Di sana sudah tertera nama Geo, sang penelepon.

"Hal—"

"Jangan kelamaan. Buruan keluar."

Tut

Daren mendengus malas. Tapi tetap saja ia menurut dan segera bangkit meski Gaia meracau tidak jelas menyebutkan namanya.

"Besok aku ke sini lagi," ucap Daren pelan sebelum akhirnya mengecup singkat hidung mancung kekasihnya.

✧✧✧

Setelah pulang dari kediaman Gaia dan memastikan semua baik-baik saja, Daren segera pulang menuju mansion keluarganya. Di sana terdapat kolam ikan besar yang dikelilingi bunga warna-warni. Daren tidak suka melihatnya, ia tidak suka warna-warna itu. Membuat mata sakit saja.

"Udah selesai?" tanya Skala tanpa mengalihkan pandang dari macbook-nya.

"Udah."

Daren hendak beranjak menuju kamar namun urung karena teringat ada yang harus dibicarakan dengan ayahnya.

"Aku mau pulang ke rumah," kata Daren.

Darenio [ON GOING]Where stories live. Discover now