55) Namanya Juga Belajar

770 49 2
                                    

"Lama amat bucin ya lo?" tutur Jaya merasa kesal menunggu Azizan. Mereka sedang di lapangan. Mengadakan lari pagi bersama. Sedangkan yang lain sedang berhalangan hadir.

Padahal Hikam saja belum datang. Jaya saja yang kurang sabar.

"Gue minta maaf ya?" Omong-omong di sini ada yang penasaran mungkin kenapa Azizan berbicaranya seperti itu. Bukannya Azizan pandai berbahasa Arab? Tapi, ketika bareng teman-temannya, rekan kerjanya dan lain-lain. Tidak menyebut namanya sendiri dengan ana tapi biasanya menggunakan saya, gue, aku begitu juga dengan penggunaan bahasa Arab yang lain.

Azizan menyesuaikan dengan siapa Azizan berbicara seraya mengaplikasikan ilmu dan meyakini keberhasilan seseorang dalam menggunakan ilmu agama tidak hanya tergantung pada seberapa banyak ilmu yang mereka miliki, tetapi juga bagaimana mereka menghormati dan merendahkan diri saat berinteraksi dengan orang lain. Seorang yang berilmu sejati tidak hanya menunjukkan keahlian dalam ilmu agama, tetapi juga menunjukkan sikap rendah hati dalam menerapkan ilmu yang dimilikinya.

Selain itu Azizan tidak mau berbesar hati kalau ia pandai dalam bahasa Arab jika hanya untuk dipuji manusia. Bukan seperti itu gunanya ilmu. Percuma punya ilmu kalau untuk disombongkan bukannya diamalkan.

Jika dengan Hikam, Jaya, Ekram menggunakan kata gue. Karena mereka juga berasal jadi Jakarta sebelum memutuskan belajar ilmu di pesantren milik keluarga Azizan. Karena sudah terbiasa itu Azizan menyesuaikan bahasa
mereka.

Tapi, sewaktu mereka belajar bersama-sama di pesantren mereka suka menggunakan bahasa Arab.

Cuman terkadang mereka suka bolak-balik antara Jakarta dan Bandung. Mungkin semakin terbiasa dengan daerah asalnya. Walaupun kadang campuran dengan bahasa Sunda.

***

Setelah menghadiri majelis ilmu yang sangat bermanfaat bersama suaminya, Alzena merasa frustrasi karena dia tidak dapat menemukan catatan kajian pentingnya. Alzena merasa sedih karena itu adalah catatan kajian penting yang telah menjadi fokus perhatiannya selama beberapa hari terakhir.

"Gimana aku bisa hilangin catatan penting ini? Udah habisin banyak waktu buat nyari," keluh Alzena pada Azizan.

Azizan kemudian mencoba untuk menenangkan istrinya. "Tenang Sayang, kita cari bareng-bareng. Siapa tahu, aku mungkin bisa bantu kamu nemuin catatannya."

Kemudian, Alzena dan Azizan mencari secara bersama-sama di setiap sudut rumah. Mereka membuka kotak-kotak penyimpanan, memeriksa lemari buku, dan mengecek kembali semua tempat yang pernah dikunjungi Alzena sebelum kehilangan catatannya.

Setelah beberapa lama mencari, mereka tidak menemukan catatan kajian penting tersebut. Azizan mulai merasa sedih karena melihat istrinya yang merasa kecewa dan tidak puas. Dia kemudian memutuskan untuk membawa Alzena pergi ke toko buku dan membeli catatan kajian baru, dan mengatasi rasa kecewa Alzena.

"Makasih udah bantu aku cari buku baru," ucap Alzena senang.

"Sama-sama. Aku bahagia nemuin buku baru buat kamu," jawab Azizan dengan ramah.

Akhirnya Alzena dan Azizan meninggalkan toko buku dengan buku yang baru, sambil merasa lega karena masalah sudah teratasi.

Di saat Alzena berjalan di atas kerikil di jalur ke rumahnya, tiba-tiba dia merasa kakinya tergelincir. Dia jatuh dan terduduk di tanah, kakinya terkilir dan dia merasa kesakitan.

"Aduh! Sakit banget astaghfirullah!" gumam Alzena sambil meringis.

Azizan yang mendengar suara gemetar dari kejauhan segera berlari ke arah suara tersebut. Dia melihat Alzena terduduk di tanah, dengan kakinya yang terkilir.

KEPASTIAN DENGAN GUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang