My Enemy (1)

71.6K 1.1K 18
                                    

Aku nggak pernah benci pada seseorang. Bagiku, nggak ada orang terlahir jahat di dunia ini. Nggak ada.

Sampai aku ketemu si cecunguk bernama Ezra.

Selama hampir sepuluh tahun mengenal, nggak ada satu pun hari di mana kami berakhir dengan damai. Ezra ini pindah di dekat rumahku sepuluh tahun lalu, saat kami masih SMP. Kami bahkan satu sekolah dan universitas. Bisa dibilang, hampir setiap hari aku bertemu si Ezra.

Namun, sialnya, Ezra di rumah dengan Ezra di luar rumah benar-benar beda 180 derajat. Di depan orangtuaku, Ezra jadi sosok malaikat, anak baik, dan penurut. Tapi, saat di luar rumah—lebih-lebih saat hanya berdua denganku, Ezra jadi tukang bully yang isengnya bukan main.

Aku bahkan masih ingat pernah dibuat menangis karena salah satu sepatuku dilempar begitu saja di atas pohon. Saat itu kami masih SMA. Aku yang punya agenda pulang bareng Kak Hisyam—gebetanku waktu itu—jadi gagal kencan gara-gara ulah Ezra.

Lalu, pernah satu kali Ezra mendatangi pacarku saat kami kuliah. Dia bilang, aku ini tukang ngompol. Dia terus menjelekkanku sampai pacarku minta putus karena ilfeel. Meski sudah mengklarifikasi kalau itu bohong, pada akhirnya aku dan pacarku—well, mantan—putus gara-gara si Ezra.

Jujur saja, sampai sekarang aku nggak tahu kenapa dia bertindak segila itu. Aku pernah balas dendam dengan menyebarkan perangai jahatnya, tapi fans-nya di luar sana seakan menutup mata dan nggak percaya.

Sejak saat itu, aku malas meladeni Ezra. Lagi pula, sebentar lagi aku akan lulus kuliah. Aku sudah memantapkan diri untuk cari kerja di luar kota supaya bisa bebas dari Ezra si bajingan itu.

"Mon, kamu beneran mau ke Bali sendiri? Mama mintain tolong Ezra ya buat nemenin kamu?"

Aku nyaris melotot mendengar kalimat Mama. "Ma, aku ke Bali buat penelitian skripsi, bukan buat liburan. Lagian Ezra sibuk sama urusan kampus."

Bisa gila aku kalau berdua ke Bali dengan Ezra. Aku bahkan nggak bisa bayangin apa aja yang akan dia lakukan untuk merundungku.

"Tapi—"

"Pokoknya aku mau sendiri. Nggak, aku bisa sendiri. Jadi Mama nggak perlu khawatir. Oke?"

Mama hampir buka suara lagi, tapi aku buru-buru pergi menuju kamar. Serius, daripada sama Ezra, mending aku ke Bali bareng Leak sekalian.

***

Besoknya, Mama dan Papa mengantarku ke bandara. Namun, baru saja sampai di depan pintu keberangkatan, aku sudah dibuat kaget oleh sosok Ezra yang sudah menungguku sambil melambaikan tangannya dengan antusias.

What the hell, Mama beneran panggil bocah ini ke sini?!

"Makasih ya, Ezra, udah mau bantuin Tante jaga Mona selama di Bali."

"Ah, Tante. Nggak usah sungkan, Mona kan udah kayak adikku sendiri," timpal Ezra sambil merangkul bahuku. Aku refleks melotot lalu mengempas tubuhnya menjauh.

"Ma, aku kan udah bilang kalau aku bisa sendiri—"

"Papa yang minta ke Ezra langsung buat ikut kamu. Lagian mamamu bener kok. Kamu cewek, sendirian di ke mana-mana nggak aman," potong Papa cepat.

Aku refleks mendesah kasar. Aku benar-benar nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selama satu minggu berada di Bali. Bocah ini pasti mem-bully-ku habis-habisan di sana.

Penerbangan sudah semakin dekat. Aku yang nggak punya pilihan lagi akhirnya cuma bisa pasrah. Toh, sekalipun menolak, Ezra udah bawa tiket pesawat sendiri. Jadi dia pasti tetap akan pergi.

Di sepanjang perjalanan, Ezra udah mulai melancarkan aksi tengilnya dengan terus mengajakku bicara. Kadang dia mengomentari bajuku, kadang membicarakan hal nggak penting seputar organisasinya. Aku yang muak akhirnya menutup mulutnya menggunakan telapak tanganku.

"Gue akan sangat berterima kasih kalau lo bisa diem, setidaknya sampai kita landing di Bali."

Setelah melepaskan tanganku, Ezra lantas menampilkan cengiran tanpa dosa yang membuatku semakin kesal padanya.

Ah, sudahlah. Lebih baik tidur daripada mengurus si Ezra menyebalkan ini.

***

Aku memang sengaja memesan sebuah hotel di Kuta selama tinggal di Bali. Kukira semua akan berjalan aman, sampai aku sadar kalau apartemen ini cuma punya satu ranjang berukuran queen.

"Lo udah pesen kamar, kan?" tanyaku ke Ezra. Dia menggeleng.

"Tidur berdua kan bisa? Lagian udah kemaleman mau pesen kamar lagi."

Aku sontak melotot. "Lo gila?!"

"Kenapa? Lo takut nafsu sama gue?"

"What? Gue? Nafsu sama lo?" Aku tergelak mendengar kalimatku sendiri. "Oke, fine. Kita tidur berdua di sini!"

Aku langsung membuka pintu lebar-lebar, seolah mempersilakan Ezra untuk masuk. Melangkah santai, bocah itu memasuki kamar hotel yang sudah kusewa lalu merebahkan dirinya sendiri di atas kasur.

"Eh enak aja! Lo tidur di bawah!" kataku sambil menariknya agar segera turun dari ranjang.

Tubuhnya yang segede kerbau membuatku mau nggak mau harus mengerahkan seluruh energi agar bisa mengusirnya dari ranjang. Namun, bukannya dia yang jatuh, yang terjadi justru sebaliknya. Dia menarikku kuat hingga aku jatuh tepat di atas tubuh besarnya.

Aku meneguk saliva susah payah. Sejak kapan Ezra kelihatan tampan dari jarak sedekat ini?

"Kenapa? Udah mulai nafsu sama gue?" tanyanya santai, membuatku refleks bangkit dari tubuh dan ranjangnya sambil terus mencoba menstabilkan debaran jantungku yang hampir menggila.

"Bukannya kebalik? Lo kali yang nafsu sama gue."

Ezra tergelak lalu duduk di atas ranjang sembari
Menatapku santai. "Nggak bakal, Mona. Mau lo telanjang di depan gue pun, gue nggak bakal nafsu sama lo."

"Oh ya?" tantangku. Aku tidak tahu pasti dari mana keberanian itu tiba-tiba muncul. Yang jelas, tanganku sudah bergerak menuju ujung kausku sendiri lalu meremasnya pelan. "Let's see."

Meski jantungku menggila, dengan santai aku mulai melucuti kausku sendiri. Tak hanya itu, aku bahkan ikut menurunkan celana jeans-ku hingga hanya menyisakan bra dan underware.

Ezra menatapku lekat, matanya membulat. Saat tanganku bergerak menuju punggung untuk melepas bra, Ezra sudah lebih dulu meraih selimut lalu melilitnya di tubuhku hingga aku berubah seperti sate lilit.

"Lo gila?!"

"Kenapa? Gue belum telanjang, udah ngaceng lo?"

"Fuck!" desis Ezra sambil menjauh beberapa langkah dari tubuhku. "Jangan ngelakuin hal gila kayak gini di depan cowok lain."

"Berarti di depan lo boleh dong?"

Ezra menatapku tak percaya. Mungkin dia kaget melihatku mau meladeni kalimatnya hingga bertindak sejauh ini. Namun, persetan. Aku nggak mau kalah di depan matanya.

"Let's prove it. Apa lo beneran nggak nafsu walaupun gue telanjang di depan lo? Kalau gue menang, kamar ini punya gue. Lo harus pindah dari sini."

***

Woman & Desire [1st Desire Series]Where stories live. Discover now