Maid (1)

97.2K 799 11
                                    

Aku menutup mulutku rapat-rapat menggunakan tangan, berusaha mati-matian menahan desahanku saat liang senggamaku dihantam penis besar dan panjang dari belakang. Saking kuatnya hantaman kejantanan tersebut, tubuhku bahkan nyaris terdorong jauh ke depan jika tanganku tidak buru-buru meraih dinding untuk menahan berat badanku sendiri.

"Pak ...."

"Tahan desahanmu!"

Aku menggeleng. Masalahnya, ini terlalu nikmat. Air mataku hampir leleh merasakan kenikmatan yang begitu menyiksa ini. Aku ingin sekali menjerit dan mendesah lantang sambil merapalkan namanya. Namun, kalau aku melakukannya, aku sama saja bunuh diri.

Hunjaman benda panjang di belakang tubuhku terasa semakin brutal. Tak tinggal diam, bisa kurasakan sepasang tangan besar menangkup gunung kembarku yang memantul lalu meremasnya kasar dan penuh nafsu.

Tak butuh waktu lama, gelombang orgasme datang memukul tubuhku, membuat perut bawah dan vaginaku berkedut kencang. Aku terus kelojotan tak berdaya sampai pria di belakangku menusuk penisnya dalam-dalam dan ikut menyemburkan cairan cinta ke dalam rahimku.

Napas kami memburu kencang. Tangannya yang masih meremas dadaku membuatku refleks menegakkan tubuh hingga punggung telanjangku menempel erat dengan dada bidangnya.

"Aku suka susumu, Mir. Nggak gede, nggak kecil, pas di tanganku. Enak buat diremes."

Pujiannya membuatku melambung. Aku pun melingkarkan tangan kananku ke punggungnya lalu sedikit memiringkan tubuhku agar bisa menyodorkan dadaku yang putingnya sudah mencuat sempurna kepadanya.

"Mereka punya Bapak," kataku.

Sedetik kemudian, aku bisa merasakan sebuah benda basah menjilat, melumat, dan menyedot dadaku rakus. Pria di belakangku ini terus mencumbu dadaku menggunakan mulut dan tangan, membuat nafsuku kembali naik ke ubun-ubun hingga pinggulku ikut bergerak lagi menggoda penisnya yang masih terbenam di liang senggamaku.

Gayung bersambut. Tanpa melepas kuluman di susuku, dia menggerakkan pinggulnya berlawanan arah denganku, membuat kejantanannya kembali menghantam titik kenikmatan yang sama.

Aku lagi-lagi mati-matian menahan desah. Senikmat apa pun permainan ini, aku harus menahan diri. Aku tidak boleh membangunkan Bu Vanka yang sudah terlelap di kamarnya.

Aku tidak boleh membuat istri Pak Revan, pria yang sedang menggagahiku ini bangun dan memergoki suaminya sedang bercinta gila-gilaan dengan pembantunya sendiri.

***

Aku tidak ingat persis sejak kapan hubungan gelapku dan Pak Revan dimulai. Yang jelas, setelah tiga bulan bekerja di rumah Pak Revan, kami menjadi semakin dekat.

Bu Vanka jarang sekali ada di rumah karena pekerjaan yang mengharuskannya pergi ke berbagai negara untuk keperluan bisnis. Sedangkan Pak Revan sendiri punya perusahaan advertising pribadi yang sudah dia rintis jauh sebelum menikah, jadi dia punya waktu yang lebih fleksibel daripada Bu Vanka.

Alhasil, Pak Revan nggak punya teman bicara selain aku. Setelah bekerja, Pak Revan akan mengajakku ngobrol di ruang tamu. Terkadang dia hanya menceritakan hari-harinya di kantor, sementara aku akan mendengarkannya dengan saksama.

Aku tahu, Pak Revan cuma mau didengar. Dia ini butuh teman curhat yang bisa mendengar semua ceritanya.

Well, mendengar Pak Revan bicara bukan suatu hal yang sulit kulakukan. Karena selain obrolan kami nyambung, kuakui Pak Revan sangat amat tampan. Usianya masih tiga puluhan awal, tubuhnya tegap, kulitnya agak sawo matang. Dari segi penampilan, dia jelas berada di atas rata-rata. Jadi, menatap Pak Revan sama saja dengan cuci mata. Aku nggak akan bosan.

Dan ya, lambat laun hubungan tersebut berkembang menuju hubungan yang tidak semestinya terjalin di antara majikan dan pembantu.

Hari itu, seperti biasa, sepulang dari kantor, Pak Revan menyapaku dan mulai mengajakku ke ruang tengah untuk ngobrol. Tak ada yang istimewa dari obrolan kami, masih sama seperti hari-hari biasanya.

Sampai tiba-tiba Pak Revan mulai curhat tentang hal lain yang tidak pernah dia ceritakan sebelumnya.

"Aku nggak tahu kapan Vanka bakal balik. Kayaknya dia agak lama menetap di Singapura."

Pak Revan tergelak getir karena kalimatnya sendiri.

"Aku sama Vanka baru setahun lebih nikah, tapi rasanya udah hambar aja, Mir. Selama setahun itu, kayaknya baru beberapa kali Vanka tinggal di rumah ini. Itu pun sebentar, paling lama cuma seminggu. Habis itu, dia pergi lagi buat urusan kantor."

Pak Revan menghela napas panjang sebelum tergelak lagi, tapi kali ini sambil menatapku lekat.

"Sorry, jadi curhat masalah lain."

Jujur saja, senyum getir yang Pak Revan tampilkan, selain membuatku miris dan iba, juga membuatku mulai menaruh perasaan padanya.

Maksudku ... Pak Revan memang sangat memesona. Dan sialnya, pengakuannya tadi justru membuatku simpati padanya. Membuatku ... ingin bertindak di luar batas.

"Bapak pasti kesepian," sahutku. Pak Revan lantas tertawa pelan.

"Sebelumnya emang iya, tapi setelah ngobrol sama kamu, aku jadi nggak kesepian lagi," jawabnya, membuat dadaku tiba-tiba saja berdesir.

Apa kehadiranku memiliki peran sebesar itu di hidupnya? Apa aku sepenting itu di hidupnya?

"Kalau gitu, saya bisa jadi teman cerita Bapak di mana saja. Termasuk di ranjang."

Kalimat itu meluncur begitu saja tanpa aku duga. Meski diriku sempat terkejut, aku sama sekali nggak menyesalinya. Persetan orang lain menyebutku jalang, tak tahu diri, atau bahkan pelakor. Aku sama sekali nggak peduli.

"Mirna ... apa maksud kamu?" tanya Pak Revan. Matanya membola, sepertinya dia terkejut bukan main.

Aku tak menjawab. Sebagai gantinya, aku justru berpindah tempat duduk agar bisa lebih dekat dengan Pak Revan. Setelah itu, aku terus mempersempit jarak di antara kami hingga tubuh Pak Revan terpojok di ujung sofa.

"Saya yakin Bapak tahu maksud saya," bisikku sensual. Mataku turun menuju kejantanan Pak Revan yang masih dibalut celana training. "Punya Bapak pasti udah lama nggak dimanjain. Ya, kan?"

Jakun Pak Revan naik turun mendengar pertanyaanku, tanda bahwa dia sedang gugup. Aku lantas tergelak sebelum kembali mengurai jarak di antara kami.

"Bapak nggak harus jawab sekarang. Pikirin baik-baik dulu. Saya tau tawaran saya bisa bikin Bapak jadi suami tukang selingkuh. Jadi, kalau Bapak masih ingin mempertahankan harga diri, tolak aja tawaran saja."

Setelah merapalkan kalimat itu, aku pun bangkit dari dudukku, meninggalkan Pak Revan yang masih membeku di kursinya.

Aku melangkah santai menuju kamarku yang terletak di belakang rumah, berpisah dengan rumah utama. Saat tanganku melayang di udara, berniat meraih kenop pintu, sebuah tangan lain sudah lebih dulu menahanku hingga tubuhku berbalik.

"Kamu gila, Mirna!"

Aku menyeringai kecil. "Saya taㅡ"

"Setelah mengajak aku bermain api, kamu justru ninggalin aku kayak tadi!" potongnya berapi-api.

Aku hampir membuka mulut, tapi bibir Pak Revan sudah lebih dulu menyambar bibirku hingga tubuhku hampir oleng karena aksinya.

Pak Revan mulai menyesap dan menyedot lidahku brutal, membuatku semakin terbuai dengan permainan yang dia tawarkan. Rongga mulutnya yang hangat tak pelak membuatku semakin lupa diri.

Pak Revan mengurai pagutan bibir kami meski jarak wajahku dan wajahnya tak lebih dari satu jengkal. Napas kami memburu. Aku bisa melihat bibirnya basah dipenuhi air liur kami.

"Persetan dengan semuanya. Kamu harus tanggung jawab, Mirna!"

Woman & Desire [1st Desire Series]Where stories live. Discover now