A Big Boy (1)

189K 1.5K 7
                                    

Keadaan rumah sudah terang benderang saat aku pulang. Seperti hari-hari biasanya, di ruang tamu sudah ada dua laki-laki yang sibuk bermain PS.

"Baru balik, Kak?" tanya Pandu, adikku, tanpa melepaskan matanya dari layar TV.

Namun, berbeda dengan Pandu yang cuek, laki-laki di sebelahnya langsung bangkit dari duduk hingga membuat Pandu menggeram kesal karena tim mereka langsung game over.

"Anjing, Bri! Jangan dilepas joystciknya, tolol!" umpat Pandu, tetapi teman laki-laki di sampingnya itu sepertinya sama sekali tidak peduli. Matanya masih setia menatapku.

"Udah pulang, Bri, jangan nurutin kemauan Pandu melulu, yang ada kamu nggak dikasih izin buat tidur," kataku.

Brian, teman Pandu yang sudah kukenal sejak mereka masih SMA itu hanya diam. Sudah hampir tiga bulan ini Brian intens bermain di rumah. Lebih tepatnya sejak Mama dan Papa memutuskan tinggal di Bali untuk menghabiskan masa tua. Aku yakin Pandu yang mengajaknya bermain semalaman karena merasa merdeka setelah Mama Papa tidak ada di rumah.

"Kak Key." Sebelum aku melangkah, Brian memanggil namaku. "Aku boleh nginep di sini beberapa malam?"

"Nginep?" ulangku.

"Iya, Kak. Bokap nyokapnya lagi ke luar negeri. Daripada sendirian di rumah, mending gue ajak dia nginep di sini. Btw gue ngasih tau ya, bukan minta izin."

Aku memutar bola mataku malas mendengar kalimat terakhir Pandu. Melarang pun, sepertinya Pandu juga tidak peduli.

"Terserah kalian aja. Kakak ngantuk, mau tidur. Jangan begadang ya, besok kalian kuliah," ujarku final sebelum benar-benar melangkah menuju kamar.

***

Paginya, aku menjalani aktivitasku seperti biasa. Sebelum berangkat kerja, aku selalu menyiapkan sarapan untukku dan si malas Pandu. Tapi, karena hari ini ada Brian, jadi aku memanggang tiga roti untuk kami.

"Biar aku bantu."

Aku tersentak mendengar suara berat di belakang tubuhku. Begitu memutar badan, sosok Brian yang menjulang sudah ada tepat di belakang tubuhku.

"Kamu ngagetin aja, Bri!"

"Maaf."

Aku tahu Brian memang tinggi, tapi aku tidak menyangka kalau dia setinggi ini. Berada di posisiku sekarang membuatku seolah tenggelam. Dia terlalu mengintimidasi.

Aku lantas menggeser tubuhku, memberikan ruang pada Brian untuk memasak telur ceplok. Meski sudah lama kenal Brian, sekitar enam tahun, tapi aku masih merasa canggung dengannya.

Mungkin karena kami memang tidak intens bertemu? Saat dia SMA, aku sudah kuliah. Jadi, kami hampir tidak punya waktu yang pas untuk saling mengenal, meskipun Brian ini sahabat sematinya Pandu.

"Mau aku antar ke kantor?" tanya Brian setelah cukup lama kami terdiam.

"Nggak perlu, aku bisa naik ojol kok."

Sepertinya Pandu yang bilang ke Brian kalau mobilku sedang di bengkel. Karena merasa nggak enak, akhirnya Brian inisiatif mengantarku ke kantor.

"Nggak apa-apa, Kak. Selama mobilnya masih bengkel, biar aku antar jemput aja."

"Tapiㅡ"

"Anggap aja sebagai rasa terima kasihku karena Kakak udah izinin aku tinggal di sini beberapa hari," potong Brian, kali ini sambil menatapku lekat.

Aku terdiam, menimbang-nimbang kalimatnya. Setelah cukup lama berpikir, aku pun mengangguk pasrah.

"Oke kalau gitu. Mobilku udah hampir selesai kok, jadi kamu tenang aja."

Woman & Desire [1st Desire Series]Where stories live. Discover now