My Daddy's Friend (1)

477K 3.1K 27
                                    

"Tumben masak banyak, Ma? Presiden mau dateng?"

Aku yang baru saja pulang dari kampus terheran-heran melihat Mama memasak begitu banyak hidangan di dapur. Bukan apa-apa, Mama ini jarang sekali masak. Setahun bisa dihitung dengan jari.

"Bukan presiden, tapi tamu yang lebih penting."

Aku sontak mengernyit. "Siapa?"

"Nanti kamu juga bakal tahu."

Jawaban Mama benar-benar membuatku penasaran. Papa dan Mama bukan tipe social butterfly yang punya banyak circle, sehingga rumah kami ini jarang sekali kedatangan tamu. Jadi, melihat Mama super excited membuatku kepo setengah mati.

"Habis ini bantu Mama beresin kamar tamu ya," ujar Mama lagi, kali ini berhasil membuatku semakin melotot.

"Maksudnya kamar di sebelahku? Yang nyambung pakai connecting door?" Mama mengangguk santai. "Tamunya nginep?"

"Iya. Dua bulan."

"Dua bulan?!" pekikku tak percaya. Apa-apaan ini? "Dadakan banget sih, Ma? Itu sih bukan bertamu, tapi numpang! Lagian siapaㅡ"

Belum sempat aku selesai protes, suara deru mobil yang baru saja memasuki pekarangan rumah sudah lebih dulu menginterupsiku. Mama yang sudah kelabakan jadi semakin heboh sendiri karena masakannya belum sepenuhnya selesai dibuat.

"Ayo, sambut tamu kita dulu!" ajak Mama sambil menarik tanganku menuju pintu rumah. Aku yang tak sempat protes hanya bisa mengikuti langkah cepatnya.

Begitu tiba di depan pintu, aku bisa melihat Papa keluar dari mobil. Tidak sendiri, ada seorang pria mengekor di belakang tubuhnya.

Siapa dia?

"Devan! Astaga, kamu apa kabar?"

Mama memekik kegirangan sampai tanpa sadar mengempas tanganku yang sedari tadi dia genggam. Mama buru-buru menghampiri pria yang dia panggil Devan itu sebelum memeluknya erat.

"Maaf sekali baru kabari kemarin. Tiba-tiba apartemen yang mau saya sewa ada renovasi, jadi saya harus nunggu dua bulanan."

"Ah kamu ini sungkan banget. Harusnya tinggal di sini aja, nggak perlu sewa-sewa apartemen. Ya, kan, Pa?"

Aku sontak mengernyit melihat mamaku yang kelewat welcome pada laki-laki ini. Lagian dia siapa sih? Teman Papa? Teman yang mana? Mukanya terlalu muda untuk jadi teman Papa yang sudah setengah abad itu.

Lama tenggelam dengan pikiranku sendiri, tanpa sadar mataku dan mata pria itu bertemu. Senyumnya masih merekah, seolah kami memang sudah saling kenal.

"Ini Revanya?"

Wait ... what? Dia tahu namaku? Bahkan nama depanku? Teman-temanku saja memanggilku Rere, bukan Revanya.

"Iya, dia Rere. Udah besar, sekarang udah jadi mahasiswa. Mahasiswa abadi maksudnya," jawab Mama kelewat jujur. Aku hanya bisa memutar bola mata malas.

"Iya, sudah besar. Dulu terakhir ketemu di Australia, dia masih SD," ujar si Devan-Devan itu.

Tunggu deh. Kita pernah ketemu di Australia? Waktu aku masih SD?

"Re, anterin Om Devan ke kamarnya gih. Sekalian bantu beresin kamarnya, ya."

"Tapi, Paㅡ"

Suaraku terputus saat Papa melayangkan tatapan tajam padaku. Kalau sudah begini, aku mana bisa menolak. Bisa-bisa uang sakuku sebulan dipotong karena membangkang.

***

"Om, kita beneran pernah ketemu?"

Setelah lama terdiam sambil membereskan kamar tamu, akhirnya aku buka suara. Om Devan yang sedang sibuk memindahkan baju dari koper ke lemari itu menatapku lekat.

Woman & Desire [1st Desire Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang