Maid (2)

82.4K 737 15
                                    

Masih sambil melumat bibirku brutal, Pak Revan mendorongku tak sabaran memasuki kamarku yang jauh dari kata mewah. Sebagai pembantu, aku memang harus puas tidur di kamar sempit yang letaknya jauh dari jangkauan mata siapa pun di rumah besar ini.

Namun, meski begitu, aku yakin aku pasti bisa menghangatkan dan memuaskan Pak Revan di kamar sempit ini.

Bibir Pak Revan terus mencumbu bibirku, sesekali membelitkan lidah hingga saliva kami bertukar. Caranya menyesap lidahku membuat nafsuku semakin naik menuju ubun-ubun.

Di sela-sela ciuman panas kami, aku bisa merasakan sepasang tangan menyusup masuk ke kaos tipisku. Tak lama kemudian, kain itu sudah terlepas dari tubuhku dan jatuh ke lantai begitu saja, disusul bra-ku yang juga ikut tergeletak tak berdaya di atas ubin.

Pak Revan mengurai ciuman kami, tatapannya turun menuju dadaku yang terekspos tanpa celah di depan matanya. Dia menatap payudaraku lekat-lekat, tanpa berkedip sedikit pun.

"Kenapa, Pak? Punya saya nggak sebagus punya Bu Vanka, ya?" Aku merengut. "Maaf kalau saya ngecewain Bapak."

Aku membungkuk, berniat memungut bra dan bajuku. Namun, Pak Revan dengan cepat menahan tanganku hingga aku kembali menegakkan badan.

"Kamu cantik, Mirna. Ralat. Kamu seksi. Vanka nggak ada apa-apanya dibanding kamu."

Seringai tipisku kontan muncul begitu saja tanpa bisa aku kontrol.

"Serius, Pak?"

"Serius, Mirna. Punyamu ... aku suka. Suka banget."

Lagi, aku tersenyum penuh kemenangan. Aku lantas meraih kedua tangan Pak Revan lalu meletakkannya di atas kedua gunung kembarku yang putingnya sudah mencuat sempurna.

"Kalau gitu remes, Pak, jangan dianggurin."

Aku bisa mendengar erangan kasar Pak Revan setelah mendengar kalimatku yang seduktif. Tak berselang lama, giliran aku yang mendesah saat ibu jarinya memilin putingku dengan penuh nafsu.

"Masukin, Pak," pintaku sambil memejamkan mata, keenakan.

"Ke mana?"

"Mulut Bapak."

Remasan Pak Revan di atas dadaku terasa semakin kuat. Pria itu memainkan susuku dengan lembut dan gemas, seperi meremas squishy. Sesaat kemudian, aku bisa merasakan sebuah lidah menjilat dan mengulum putingku sambil sesekali menyedotnya kasar.

"Pak ... mulut Bapak enak banget," pujiku sambil membusungkan dada kuat-kuat dan menjambak pelan rambut Pak Revan, berusaha menahan Pak Revan agar semakin dalam mencumbu dadaku.

"Susumu juga enak, Mirna. Aku mau nyusu tiap hari kayak gini," pujinya balik tanpa menghentikan kulumannya.

Pak Revan semakin rakus mencium payudaraku, sampai akhirnya tubuhku terempas di atas ranjang. Aku telentang tak berdaya dengan mulut Pak Revan masih sibuk menyesap dadaku kasar.

Aku melenguh dan mendesah. Saat Pak Revan melepas kuluman bibirnya dan bangkit dari ranjang, mataku refleks terbuka.

Dari bawah sini, Pak Revan terlihat sangat gagah dan menjulang. Tanpa melepas tatapannya dari mataku, Pak Revan melepas semua kain yang membalut tubuhnya hingga kejantanannya yang sudah tegak itu menyembul menantangku, seolah minta dipuaskan.

"Bu Vanka pasti nyesel anggurin punya Bapak yang gede ini terlalu lama," ujarku.

"Vanka nggak pernah mau blowjob. Dia nggak suka," balas Pak Revan, membuatku seketika membola tak percaya.

"Bu Vanka rugi banget," kataku sambil bangkit dari ranjang lalu bersimpuh di depan kejantanan Pak Revan yang terlihat sangat menggiurkan dari jarak sedekat ini. "Kalau gitu, saya aja yang lakuin buat Bapak."

Erangan kasar Pak Revan seketika terdengar memenuhi kamar saat miliknya itu tenggelam di dalam mulutku. Aku terus memaju-mundurkan wajahku, berusaha menampung semua inci kejantanannya hingga tenggelam begitu dalam di rongga mulutku.

"Shit, Mir! Mulutmu juga enak banget!"

Pak Revan mendesah kasar, sementara tangannya meraih sejumput rambutku dan menaikkannya ke atas agar dirinya bisa dengan bebas menatapku yang sedang mengoral miliknya.

"Aku belum pernah lihat pemandangan kayak gini. Vanka nggak pernah ... fuck!"

Aku melepas kulumanku lalu mengocok kejantanannya cepat. Tak lama kemudian, cairan cintanya menyembur membasahi wajah dan payudaraku.

Setelah puas mencumbu milik Pak Revan, aku lantas bangkit lalu melepas seluruh kain terakhir yang membalut tubuhku hingga kini aku sama telanjangnya dengan Pak Revan.

Tanpa melepas tatapannya, aku lalu merebahkan diri di tepi ranjang. Sebagian kakiku yang menjuntai ke lantai aku angkat hingga liang senggamaku terpampang jelas di depan matanya.

"Sini, Pak," panggilku seduktif.

Tanpa menunggu lebih lama, Pak Revan langsung meraih kedua kakiku lalu dia angkat tinggi-tinggi dan menyampirkannya di kedua bahu berototnya. Beberapa saat setelahnya, aku bisa merasakan penisnya menerobos masuk ke dalam lubang vaginaku dengan sekali entak, membuatku refleks mendesah kencang.

Kasar dan tidak sabaran. Tapi aku suka.

"Aku bakal bikin kamu keenakan sampai nggak bisa jalan. Ini hukuman karena kamu udah goda aku!"

Aku tergelak kecil mendengar ancamannya. "Saya akan terima dengan senang hatㅡahh!"

Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, milik Pak Revan sudah lebih dulu menghunjam liang senggamaku kuat-kuat hingga membuatku menjerit kesetanan. Dia terus memompa kejantanannya penuh nafsu hingga bunyi penyatuan kami terdengar saling bersahut-sahutan dengan desahanku yang tak bisa kubendung lagi.

"Pak ...."

Pak Revan menampar dadaku yang memantul kencang. Setelah itu, dia meraih kedua susuku lalu meremasnya kasar hingga membuatku semakin mengerang tak keruan.

"Enak mana ... saya sama Bu Vanka?" tanyaku sembari menatap wajah Pak Revan yang sudah merah padam diselimuti nafsu.

"Kamu. Kalian nggak pantas buat dibandingin," jawabnya tanpa menghentikan hunjamannya di bawah sana. Sebaliknya, kejantanannya terasa semakin kuat menghantam milikku hingga menyentuh titik terdalam di lubang kenikmatanku.

Aku refleks menjerit. Ini terlalu enak. Pak Revan dan permainannya terlalu nikmat.

Peluh membanjiri tubuhku saat permainan kami terasa semakin intens. Tak lama berselang, pelepasanku datang, membuat perut bagian bawahku berkedut kencang. Pak Revan pun segera menyusul setelah penisnya menyodok vaginaku kuat-kuat dengan sekali entak.

Napas kami memburu kencang, wajah kami sama-sama memerah diselimuti nafsu. Pak Revan lantas menunduk lalu kembali memagut bibirku dengan lembut. Mata kami bertemu setelahnya, membuatku semakin sadar kalau Pak Revan benar-benar sangat menawan.

"Aku ... mau lebih sering menghabiskan waktu berdua kayak gini sama kamu. Boleh?" tanyanya penuh harap.

Aku tersenyum senang. Penuh kemenangan. Mendengar Pak Revan memohon dan terbuai dengan permainanku membuatku besar kepala. Apa sekarang aku menang dari Bu Vanka?

"Tentu, Pak. Dengan senang hati," jawabku.

Bibir kami kembali memagut. Aku yang kembali dibuat terbuai pun segera mengubah posisi kami hingga Pak Revan telentang di bawah kuasaku.

"Bapak sama Bu Vanka pasti nggak pernah coba posisi ini, kan?" tebakku yang dibalas anggukan oleh Pak Revan.

"Vanka terlalu pasif. Sejujurnya, aku rasa dia nggak terlalu suka seks."

Lagi-lagi aku dibuat kaget. Entah apa yang ada di pikiran Bu Vanka hingga dia menyia-nyiakan suami sepanas Pak Revan hanya demi pekerjaannya itu.

"Kalau gitu, biar saya kasih tau rasanya bercinta dengan posisi ini," kataku sambil memasukkan miliknya ke dalam liang senggamaku, membuat kami sama-sama melenguh penuh nikmat.

"Siap-siap ya, Pak. Saya bakal buat Bapak puas malem ini."

***

Woman & Desire [1st Desire Series]Where stories live. Discover now